Seorang wanita berusia 38 tahun tengah meringkuk dan menangis di depan sebuah gedung bioskop.
Wanita tersebut memang mencuri perhatian orang-orang yang lalu lalang, namun tidak ada yang berani bertindak, Wanita putus asa. Begitu gumam beberapa dari mereka. Hingga setelah setengah jam terduduk menangis di sana, sebuah tangan terulur. Wanita itu hanya bisa menatap tangan itu, tidak berani menyambutnya."Sini aku bantu berdiri," tangan itu menarik tubuh mungil wanita itu berdiri.
Meski matanya sembab akibat menangis, namun wanita itu masih bisa dengan jelas melihat sosok yang ada di hadapannya sekarang. Seorang laki-laki, tampan, gagah, putih, tinggi dan sangat muda, kontras dengan usia wanita."Terima kasih." Ujar wanita pelan sambil tertunduk. Dia merasa malu karena telah memerhatikan lelaki itu terlalu lama hingga lupa mengucapkan terima kasih.
"Aku rasa filmnya nggak begitu sedih. Malah serem." Begitu komentar laki-laki itu. Wanita hanya tersenyum sambil menghapus air matanya. Tangisnya mulai mereda. "Aku Zaki." Laki-laki mengulurkan tangannya kembali."Fani." Jawab wanita singkat menyambut uluran tangan Zaki, pemuda tampan itu. "Aku harus pulang. Udah cukup rasanya membuat hal memalukan di sini."
"Lah, menangis kan hak semua orang. Nggak perlu malu." Dengan ramah Zaki merespon sekedarnya.
"Terima kasih. Aku beneran harus pulang." Saat Fani memutar tubuhnya, panggilan Zaki menghentikannya dan membuatnya berbalik lagi.
"Pergi minum, yuk!" Ajaknya. Fani tersenyum tipis.
"Maaf, aku nggak minum." Jawabnya sopan. Zaki malah tertawa.
"Maksud aku bukan minum-minum. Ke cafe, nge-jus, atau coke. Daripada kamu balik ke rumah sekarang, masuk ke kamar dan melanjutkan acara nangis kamu. Dan nggak mungkin juga kamu kerja malam ini kan? Ayo!" tanpa bisa menolak, Zaki sudah berjalan di depan Fani. Dengan langkah masih berat Fani mengikuti dari belakang.Ada benarnya juga yang dikatakan Zaki. Saat tiba di rumah aku pasti akan menangis lagi, bahkan mungkin sampai pagi. Fani bergumam sendiri dalam hati membenarkan perkataan pemuda yang baru saja dikenalnya itu.
Cafe Xian The Low, di sanalah mereka duduk di meja yang ada di sudut, dekat jendela yang langsung mengarah ke danau buatan yang indah.
"Aku tertarik ke cafe ini bukan karena view-nya, tapi karena namanya. Aneh nggak sih, Xian The Low, kasian deh lo. Kayanya emang tempat orang-orang galau deh." Zaki menceritakan kesannya pada kafe yang ia ketahui lima bulan yang lalu.
"Sepertinya nggak banyak orang galau di kota ini." gumam Fani pelan, namun Zaki mendengarnya dan segera melihat sekeliling mereka. Hanya ada dua pasang orang lagi di sana selain mereka."Yah, memang beginilah cafe ini. Nggak pernah ramai sejak pertama kali aku ke sini. Mereka nggak punya menu khusus yang membuat orang terkesan dan pengen datang lagi. Kalau-kalau akhirnya cafe ini bangkrut dan harus dijual, aku rela jual mobil aku dan beli cafe ini. Aku nggak rela orang-orang galau nggak punya tempat lagi."
Fani tergelak mendengar celotehan Zaki. Zaki tersenyum bangga bisa membuat wanita ini akhirnya tertawa.
"Secara nggak langsung kamu mengatakan kalau kamu pemuda yang lagi galau." Fani menggeleng tidak percaya sambil meneguk jusnya.
"Kok kamu bisa menarik kesimpulan gitu?" Zaki berusaha menahan hasratnya untuk terus berceloteh. Ia ingin sekali mendengar wanita ini yang bercerita. Melepaskan beban.
"Menurut cerita kamu, kamu pasti udah sering ke sini. Memantau keadaan cafe ini. Bahkan kamu mengenal cafe ini dan rela menjual harta berharga kamu demi cafe ini. Kamu memperlakukan cafe ini seperti pacar kamu."
Fani berkomentar cukup panjang, membuat Zaki semakin bergairah memancingnya untuk bercerita."Kadang kita jatuh cinta pada hal yang bukan seharusnya. Apa salah aku cinta sama tempat ini?" Zaki kembali bertanya pendapat Fani dan membuat wanita yang mulai ceria itu berbicara.
"Em," Fani menggelengkan kepalanya menyatakan tidak. "bukan hanya cinta pada hal yang bukan seharusnya, bahkan kadang aku benci sama keadaan yang aku ciptakan sendiri. Aku benci dengan semua hal-hal yang orang-orang aku cintai lakukan padaku. Mungkin karena aku tidak sanggup membenci subjeknya. Aku seperti objek yang membeci prediketnya, tanpa berani menyentuh subjek." Fani menyeruput minumannya kembali. Dia menatap kosong ke arah danau. Ada kehampaan di sana.
"Kamu dikecewakan?" Zaki memberanikan diri menyinggung masalah Fani. Wanita itu menggeleng.
"Aku yang mengecewakan." Mata Fani berkaca-kaca.
"Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku menangis seperti orang bodoh tadi."
Fani menatap Zaki cukup lama, kemudian tertunduk, airmatanya jatuh.
"Dan aku melakukannya lagi." Ucapnya terisak.
"Menangis bukan hal yang bodoh, Fani. Daripada terbakar di dalam, lebih baik kamu biarkan emosi itu meluap ke luar. Aku sering menangis."
Mendengar ucapan Zaki, kepala Fani langsung tegak. Ia menghapus airmatanya, dan menatap penuh Tanya pada Zaki.
"Dulu. Sebenarnya aku tidak suka membuka kartuku sendiri. Tapi demi menghibur kamu, ataupun tidak," Fani tersenyum,
"ternyata iya menghibur kamu,"
Zakipun tersenyum,
"aku ke sini sejak kehilangan seseorang yang aku cintai. Setiap malam, bahkan kemarin, aku masih menangis di meja ini. Mengutuk dan menyalahkan diriku sendiri. Namun aku sadar Tuhan punya banyak cara menyatukan dua manusia. Hanya hari ini malah aku yang menyaksikan wanita berlinang air mata."
Fani tersenyum malu. "Sunyi. Karena itu aku tertarik ke sini. Tidak akan ada yang melihat aku menangis.""Mau lanjut ceritanya?
Bersambung di hari berikutnya ya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menembus Waktu
RomanceBukan dunia namanya jika tidak dipenuhi oleh hal-hal yang membingungkan. Hampir semua diciptakan selalu memiliki hal yang berseberangan. Ada cinta, ada benci. Ada senang, ada sedih. Ada tua, ada muda. Ada pertemuan dan ada perpisahan. Perpaduan komp...