part 2

106 3 0
                                    

"Kamu masih muda, Zaki. Apa hidup kamu sudah sepahit itu?"
Fani dengan serius menanggapi cerita Zaki.


"Kamu salah menerka umurku." Hanya begitu jawaban Zaki. Memancing Fani untuk bertanya.


"Memangnya usia kamu berapa?" Zaki tersenyum puas. Dugaannya benar karena Fani memang menanyakan usianya.


"23 tahun." Jawabnya ringan. Fani yang tercengang.


"Aku kira kamu malah lebih tua. Zaki, kamu baru memasuki gerbang kehidupan sesungguhnya. Percayalah, masih banyak hal-hal yang lebih berat di tengah-tengah perjalanan nanti." Fani tidak percaya pemuda 23 tahun berhasil memesonanya malam ini.


"Seperti?"


"Kalau kamu bertanya tentang kehidupan aku, perlu berhari-hari menceritakannya." Fani mengangkat tangannya, dan menyeruput jus-nya hingga habis.


"Aku bersedia mendengar hingga kamu lelah bercerita." Ujar Zaki yakin.


"Orang-orang bilang perempuan itu harusnya hanya menunggu. Sekian tahun aku nunggu orang yang tepat, hingga sekarang, di usiaku 38 tahun, orang-orang memanggilku perawan tua. Aku coba membuka diriku sedikit demi sedikit, tetapi kebanyakan hanya mempermainkan aku, memanfaatkan aku, mungkin karena aku nggak sesuai seperti yang mereka harapkan.
Aku yang mengecewakan mereka. Aku yang mengecewakan orangtua mereka karena aku wanita yang nggak laku, tua dan nggak sadar diri mendekati putra mereka yang tampan dan sukses.
Hal yang paling memalukan tadi, kamu tahu kenapa? Lelaki yang sudah berjanji akan melamarku, meniggalkanku demi gadis seksi dan muda. Itu salahku, Zaki.
Aku sudah tua, masa suburku sudah lama lewat. Mungkin nggak terbayangkan olehnya berumah tangga dengan nenek-nenek." Fani kembali terisak.


"Fani!" Zaki menyentuh tangan Fani di atas meja. "Kamu nggak tua!" Ujarnya tegas. Fani tertawa sinis.


"Itu sama sekali nggak menghibur, Zaki." Zaki menggenggam tangan Fani, membuat Fani terkejut.


"Mereka yang nyakitin kamu, benar-benar tertutup matanya nggak bisa melihat kecantikan kamu, keindahan kamu, keteduhan kamu. Aku jujur, bukan mau menghibur kamu. Aku bahkan nggak heran kenapa mereka nggak sadar keindahan kamu, karena kamu sendiri nggak menyadarinya, Fan. Apapun nggak bisa menutupi keindahan itu, kecuali kamu sendiri. Usia? Itu hanya angka. Nggak akan merubah siapa kamu."


Dengan penuh kesungguhan, kata-kata Zaki berhasil menyentuh lubuk hati Fani yang terdalam. Fani tidak pernah merasa disanjung begitu seumur hidupnya. Fani membalas genggaman tangan Zaki, seolah mengungkapkan betapa berartinya ucapan itu baginya.


"Kamu percaya cinta pada pandangan pertama?" Zaki bertanya, dan Fani menggeleng. Tangan mereka masih saling bertautan. "Aku juga nggak percaya. Dulu. Tapi sekarang aku yakin itu ada."


Fani tiba-tiba bingung dengan perasaannya sendiri. Dia merasa disanjung dan dipermainkan. Bagaimana mungkin pemuda 23 tahun bisa mengatakan bahwa dia jatuh cinta padanya. Bahkan pria yang hampir seumur dengannya baru saja mencampakkannya.


"Zaki, ini nggak lucu. Aku bukan remaja yang mencari cinta monyet. Aku wanita berumur yang hampir berusia kepala empat. Hal yang serius saja begitu menyakitkan. Jangan ajak aku bermain dalam situasi kamu." Fani melepaskan genggaman tangannya. Berdiri dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. "Aku harus pulang."


"Saat ada orang berumur menyatakan cinta, apa kamu menganggap hal itu serius? Apa akhirnya membahagiakan kamu?" Zaki ikut berdiri tepat di hadapan Fani. "Kali ini, jika masih ada air mata lagi, itu akan menjadi kesalahan aku. Aku nggak akan berhenti menyalahkan diri aku. Jika ada kekecewaan, akulah yang mengecewakan kamu. Tapi jika memang harus ada yang ditinggalkan, kamu yang meninggalkan aku karena kamu telah menemukan pria yang lebih layak bersama kamu."


Zaki mengusap lembut air mata Fani, kemudian menggapai tangannya. "Kita sama-sama menembus waktu. Remajakan hidup kamu, aku dewasakan pikiranku." Zaki mendekati wajah Fani hingga akhirnya bibir mereka bertemu. Fani yang tidak berdaya menahan pesona Zaki, membalas lembut ciuman itu. Hanya ada mereka di cafe itu.


Fani mendapatkan hari-hari yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Menjalani kehidupan bersama Zaki, 180 derajat telah merubah keadaan hati Fani. Dia merasa telah jatuh cinta pada Zaki. Bahkan ia merasa malu karena kadang tingkahnya seperti remaja yang kasmaran.


Siang ini mereka janjian untuk bertemu. Zaki sudah berada di parkiran dengan mobilnya, menunggu Fani keluar dari kantor. Saat melihat mobil Zaki, Fani tersenyum senang. Ia tahu akan mengalami hal yang menyenangkan jika bersama Zaki.


"Kita mau ke mana?" Tanya Fani langsung ketika masuk mobil.


"Pakai seatbelt, kamu nikmatin aja perjalanan ini." Zaki menyalakan mobil dan mereka berangkat menuju ke sebuah tempat, salah satu tempat favorit Zaki.


Setelah menempuh perjalanan kira-kira 2 jam, akhirnya mereka tiba di tempat yang dituju. Berada di pelosok pedesaan yang asri dan sepi, berdiri sebuah bangunan tua yang indah dan megah. Gedung bekas penjajahan Belanda, masyarakat menyebutnya Gedung Vesture. Zaki menggandeng tangan Fani berjalan mendekati gedung itu.


"Kamu banyak tau tempat-tempat sunyi." Ujar Fani, tanpa bisa menutupi raut wajahnya yang terpesona oleh bangunan yang ada di hadapannya.


"Bangunan ini indah. Usia pun nggak bisa menelan keindahannya." Zaki menarik Fani ke pelukannya. "Bahkan orang-orang rela menempuh jalan yang jauh, demi melihat karya indah ini, dan ternyata semua pengorbanan itu pantas dan terbayar." Zaki mengecup rambut Fani.


"Kamu itu seperti mixer. Ngacak-ngacak hati aku." Fani melihat dalam-dalam mata Zaki. Ia masih susah untuk percaya bisa berada dalam pelukan lelaki muda dan tampan ini.


Hari ini, Zaki kembali menjemput Fani di kantor. Begitu banyak pegawai di kantornya mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Fani diam saja dan tidak banyak merespon.


"Kamu udah terlalu putus asa ya, Fan? Sampai-sampai macarin laki-laki yang harusnya seumur sama anak kamu." Begitu salah satu komentar mereka. Fani hanya tersenyum, dengan ramah merespon.


"Selagi Tuhan memberi aku kesempatan untuk merasa bahagia, kenapa aku sia-siakan? Dia bukan pacar orang, bukan suami orang, bukan teroris, jadi apa aku melakukan kesalahan?" Ia pergi dan menemui Zaki yang dengan setia menunggunya di parkiran.


"Aku mau merayakan 6 bulan hari bahagia kita." Begitu kata Zaki ketika Fani bertanya kenapa membawanya ke mall.


"Tapi di sana banyak orang." Fani mencoba menerangkan bahwa dia sedikit keberatan.


"Nggak ada salahnya. Kita kan nggak mau ganggu orang. Jangan pedulikan orang yang nggak ada sangkut pautnya dengan hidup kita." Zaki berusaha menenangkan Fani, ia genggam erat tangan Fani. Hingga mereka tiba di Mall.


Ternyata apa yang dibayangkan Fani benar. Semua orang memperhatikan mereka. Ada yang memberi tatapan sirik, ada yang mencibir, ada yang melihat dengan tampang prihatin. Sebenarnya Fani tidak kuat lagi, namun karena Zaki terlihat tidak peduli dengan mereka dan seolah tanpa beban terus merangkul Fani, Fani pun serasa mendapat kekuatan.


Zaki membawa Fani ke sebuah resto masakan Cina. Tempat yang sangat ramai dan semakin membuat Fani was-was. Ia sempat berpikir bagaimana jika ada keluarganya di sini dan bagaimana ia harus menjelaskan. Tapi syukurlah karena Zaki memesan tempat privasi, di dalam sebuah ruangan yang hanya ada dua buah meja. Karena meja yang satunya tidak ada orang, berarti hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu.

Menembus WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang