Part final

92 5 2
                                    

"Aku harus ke luar kota selama dua hari. Mungkin tiga. Jangan kangen aku, ya?" ujar Zaki seraya menyuap makanannya. Mereka berdua duduk berhadapan. Fani hanya tersenyum. Sudah biasa Zaki pergi ke luar kota.


"Kalau aku kangen gimana?"


"Pejamkan mata kamu, ingat kenangan-kenangan indah kita." Zaki menyuapi makanan pada Fani.


"Kalau aku malah tambah kangen gimana?" Zaki terdiam sejenak. Kemudian bangkit dari duduknya, dan duduk kembali tepat di sebelah Fani.


"Mana hape kamu?" Fani memberi handphonenya pada Zaki. "Senyuuummm." Zaki memotret dirinya dan Fani yang ia rangkul. "Kalau kamu tambah kangen, lihat foto ini. Lihat betapa bahagianya kita." Fani mengangguk dan mengecup pipi Zaki.


Saat selesai makan dan keluar dari privasi room, seorang gadis dan lelaki mendekati Zaki dan Fani. Meski terlihat terkejut, Zaki berusaha untuk tersenyum ramah.


"Hai Zak, udah lama kita nggak ketemu." Zaki menyalami kedua temannya.


"Tante kamu, ya?" Tanya si gadis. Raut wajah Fani langsung berubah. Ia hanya tertunduk malu. Namun, Zaki dengan cepat merangkulnya.


"Bukan, dia pacar aku." Kedua teman Zaki tidak dapat menyembunyikan keterkejutan mereka. Namun tanpa komando, mereka menjauh.


Fani melepaskan rangkulan Zaki dengan kesal. Ia berjalan cepat mendahului Zaki. Zaki mengejar.


"Kamu kenapa?" Tanya Zaki. Mereka beridiri di sudut mall yang tidak terlalu banyak orang.


"Kamu nggak tahu rasanya dianggap sebagai orang yang nggak pantas di sisi kamu." Jawab Fani kesal.


"Siapa yang menganggap begitu?" Tanya Zaki sabar.


"Semua orang! Semua tatapan mereka bicara begitu!" Emosi Fani pecah. Ia menangis.


"Yang menjalankan hubungan ini kita, Fan. Jadi yang berhak merasa apa aku atau kamu pantas saling memiliki, hanya kita berdua." Zaki memegang bahu Fani, dan menariknya ke pelukan.


Fani mengajak bertemu Zaki di cafe Xian The Low setelah tiga hari tidak bertemu karena Zaki keluar kota. Mereka tidak pernah lagi ke sana sejak pertama kali. Zaki mengira Fani mengajaknya bertemu di tempat itu karena ingin mengenang kenangan mereka bertemu.


"Aku dijodohkan." Begitu kalimat pertama yang keluar dari mulut Fani. Ia menunduk, tidak berani menatap ke arah Zaki.


"Sudah ketemu sama orangnya?" setelah beberapa menit diam, Zaki bertanya. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaan sedihnya.


"Kemarin." Jawab Fani singkat.


"Baik?"


"Baik."


"Sudah kerja? Usia?" Zaki terus bertanya, menatap lekat pada Fani yang hanya tertunduk.


"Pengusaha, duda 42 tahun." Suara Fani mulai bergetar.


"Tanggalnya sudah ditetapkan?" Zaki terus menghujamnya dengan pertanyaan. Dan Fani terus terang menjawab.


"Lamaran bulan depan."


"Kalau memang dia baik, dan kamu merasa tidak ada yang salah, kamu akan bahagia dengan dia."


Begitu komentar tulus dari Zaki. Tapi kuping Fani panas mendengarnya. Bagaimana mungkin lelaki yang mengaku sangat mencitainya berkomentar begitu, seolah dia sudah tidak ada perasaan lagi.


"Kenapa kamu bilang gitu? Harusnya kamu kecewa! Mencegah aku!" Fani dengan matanya yang berkaca-kaca menatap Zaki penuh kekecewaan.


"Aku nggak berhak mencegah kebahagiaan kamu, meskipun aku kecewa." Ujar Zaki pelan dan tulus.


"Hah! Tahu darimana kamu kalau aku akan bahagia? Kamu tahu siapa yang aku cinta!"


"Kalau dengan aku, kamu nggak akan tahu akhirnya bagaimana." Ucap Zaki dingin. Fani menggeleng kecewa.


"Kalau kamu tahu akhirnya nggak akan jelas, kenapa kamu mengajak aku memulai hubungan ini?"


"Untuk buat kamu bahagia."


"Hanya untuk batas waktu tertentu?" Tanya Fani terluka.


"Nggak!" Jawab Zaki tegas. "Kamu akan lebih bahagia nantinya. Itu janji aku, di sini, 6 bulan yang lalu. Sampai kamu menemukan seseorang yang layak untuk kamu." Mendengar kalimat terakhir Zaki, Fani berdiri dan berlari meninggalkannya.


Selepas perginya Fani, Zaki masih duduk di meja sudut cafe, memandang ke arah danau, meneteskan air matanya yang telah lama hilang itu.


6 bulan berlalu.


Fani sudah menikah dan tengah hamil. Zaki tahu kehidupan Fani bahagia dan baik-baik saja. Dia tidak pernah sehari pun luput dari kabar tentang Fani, dari siapapun, dari manapun. Seperti hari-hari biasanya, sejak Fani meninggalkannya, Zaki duduk di meja cafe Xian The Low yang kini telah menjadi miliknya itu. Hal yang mengagetkannya, seorang wanita cantik yang tengah hamil 3 bulan, menghampirinya di meja itu. Fani. Di wajahnya berseri-seri rona kebahagiaan.


"Kamu bahagia?" Tanya Zaki. Fani mengangguk. Zaki tidak bisa berbohong bahwa dia sangat senang Fani datang menemuinya.


"Kalau nggak ketemu kamu, aku nggak akan pernah tahu arti bahagia itu. Terima kasih telah mengajarkan aku banyak hal, Zaki. Telah mengajakku menembus waktu. Membuatku percaya pada diriku lagi. Kamu perlu tahu, kamu adalah kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. Aku percaya, kamu akan segera menemukan kebahagiaan kamu." Ujar Fani dengan senyuman penuh ketulusan.


"Aku sudah menemukan kebahagiaan itu, Fani. Melihat kamu bahagia adalah kebahagiaan terbesarku." Fani terharu dan meneteskan air mata. Zaki mengecup lembut punggung tangannya. Fani meninggalkan cafe itu dengan senyum lebar di wajahnya.


Aku bahagia, Fani. Karena sesungguhnya, lelaki yang kamu nikahi itu adalah diriku yang menembus waktu.

Ingat, Tuhan memiliki banyak cara untuk menyatukan 2 umat manusia.

Menembus WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang