Dia tidak lagi sama.
Dia bukan mata yang aku tatap dahulu.
Dia bukan lagi Sinar Sore yang kukenal.Sudah seminggu aku tidak berbicara dengannya. Bertahun-tahun dalam hitunganku. Tetapi, aneh rasanya mengetahui bahwa aku menjadi canggung saat di dekatnya.
Kami lebih banyak diam, saling berpikir keras apa pertanyaan yang dilontarkan untuk memulai percakapan.
Kami sesekali mengajukan pertanyaan yang dijawab dengan ya atau tidak. Dilanjut dengan keheningan di antara kami berdua.
Dan aku sudah siap menerima konsekuensi bahwa.... Semua orang berubah.
Sinar Sore, ada yang merindukanmu saat ini. Ada yang meracau dalam tidur, terganggu oleh kehadiranmu dalam mimpinya. Ada yang takut untuk kehilanganmu. Aku, aku, aku. Beri aku sekali lagi masa itu.
Apa yang membuatnya muak denganku? Sebegitu parah sampai aku tak mendapat penjelasan apa pun?
Apakah ada kelakuanku yang membuatnya marah? Apakah kehadiranku tidak lagi menyenangkan untuknya?
Tanganku gemetar meraih botol berisi alkohol di atas meja. Menaruh ujungnya di antara kedua bibirku. Menyesapnya sedikit. Dan kembali mengajukan pertanyaan untukku sendiri.
Apakah ada orang lain yang menempati posisiku saat ini?
Jemariku terlepas, membiarkan gelas kecil itu jatuh. Hancur menjadi serpihan kaca di sekitar meja.
Hanya dengan mabuk, ia bisa hadir dalam pikiranku. Membawa kembali pelukan-pelukan hangatnya. Membawa kembali keceriaan yang sempat sirna. Aku tak henti-henti menenggak gelas demi gelas malam ini.
Karena, hanya dengan ini ia kembali. Hanya dengan mabuk aku dapat bertemu lagi dengan ia yang dulu.
Kepalaku tertunduk layu. Aku menangis. Setelah menahan semuanya, aku lemah. Bibirku berdarah, karena sedari tadi kugigit untuk menahan tangis.
Kuambil lagi botol whisky yang tersisa setengah itu, menenggaknya kasar. Membuat sebagian isinya malah tumpah membasahi bajuku. Setidaknya aku mendapatkan jawaban.
Ada orang lain yang kini menggantikan posisiku. Ada orang yang membuatnya bahagia, yang membuatnya nyaman. Ada orang yang ia butuhkan selain aku.
Hari ini, aku melihatnya tertawa, seperti yang kami lakukan dahulu.
***
Ini hari keempat aku bolos sekolah. Tentu saja orang tuaku tidak mengetahuinya. Setiap pagi, rutinitas sekolah selalu aku lakukan akhir-akhir ini. Mandi, memakai seragam, makan, dan berpamitan dengan ibuku.
Namun lain cerita saat aku keluar dari rumah. Aku tidak benar-benar berangkat sekolah. Langkah kakiku mulai terbiasa menuju pos kecil di ujung jalan. Bersembunyi, tentu saja. Menyalakan rokok, dan menunggu mobil orang tuaku lewat. Itu artinya, tidak ada siapa pun di rumah.
Seperti biasa, mobil orang tuaku lewat sesuai perhitungan. 7:20 pagi.
Senyum kecil tersungging di wajahku. Aku kembali ke rumah.Entah memang aku yang bermata elang, atau mereka yang sengaja. Aku sudah tahu di mana mereka menyembunyikan kunci cadangan.
Di atas pipa air di samping rumah.Tolol. Aku bisa melihat mereka menaruhnya di situ dari jendela kamarku.
Saat berhasil masuk tiba-tiba, mataku memandang ke arah cermin di ruang tamu. Cermin besar, yang memantulkan bayanganku dari kaki sampai kepala. Aneh adalah hal yang pertama aku pikirkan saat memandang ke arah cermin itu.
Rambut diikat urak-urakan, baju seragam yang kotor karena memanjat pipa, dan lintingan rokok di ujung bibirku.
Aku kembali teringat, Sinar Sore sering melarangku untuk merokok. Apalagi meminum alkohol. Ia bisa berceloteh dua puluh halaman tak henti-henti.
Aku rindu saat ia melarangku.
HAHAHAHAHAHAHAHAHAHHAA
MANA SAYANG? KAU AKAN MELARANGKU SEKARANG?
OMONG KOSONG!
KAU TIDAK LAGI PEDULI DENGAN AKU BUKAN?
KAMU BOHONG, KAMU PEMBOHONG BESAR SINAR SORE!Lutuku gemetar, aku terjatuh duduk. Menangis tersedu-sed
KAMU SEDANG MEMBACA
Mabuk
Short StorySenyum kecil tersirat di bibirku. Tanganku gemetar memegangi botol kaca. Bau alkohol menyeruak dari mulutku. Aku mencoba memejamkan mata, membiarkan diriku larut dalam halusinasi sendiri. Membiarkan lenganmu mendekapku hangat. Aku ingin terus seper...