How We Meet?

35 4 0
                                    


Cahaya putih sang surya dari ufuk timur, yang mulai malu-malu menembus gorden kamar seorang gadis berusia 17 tahun itu, tak mampu membangunkannya dari alam mimpi. Sampai kemudian dering ponselnya yang terletak di atas meja samping ranjang gadis itu, baru berhasil membuatnya menggeliat bangun. Masih dengan memejamkan kedua matanya Arumi, biasa gadis itu dipanggil menjawab panggilan tersebut dengan sebuah erangan khas orang bangun tidur.

“cepat bangun dan mandi atau mama samperin ke kostan?” ancam sang mama yang sudah hapal dengan kebiasaan putri tunggalnya itu.

“iya mama. Arumi udah bangun kok! Mama baik-baik dech sama papa di Papua! Bikin dedek baru juga gak papa! Bye mah. Mmuuaacchh!”

PLIP! Tanpa menunggu persetujuan dari sang mama, Arumi memutuskan panggilannya. Dasar anak kurang ajar! Pasti itu yang ada di pikiran orang tua kebanyakan melihat ulah gadis satu ini. Tapi tak taukah? Di balik kekurang-ajaran Arumi, dia punya tekad yang besar. Dia tidak inigin lagi bergantung pada kedua orang tuanya seperti dulu. Dia ingin mandiri dan lebih bertanggung jawab atas pilihannya.

Cukup sekali Arumi rasakan pengkhianatan dari teman-temannya yang sudah ia anggap baik yang ternyata hanya memanfaatkan kekayaan Arumi dari kedua orang tuanya. Dan sekarang, dengan kehidupan baru, lingkungan baru, sekolahan baru, dan orang-orang yang akan menerimanya tanpa memandang materi.

Setelah benar-benar bangun, Arumi segera menyambar handuknya. Cukup dengan 15 menit ia berkelut dengan air dan sabun. Kemudian dengan cekatan memakai seragam atasan hem putih polos berdasi kupu-kupu motiv kotak-kotak, dan rok diatas lutut dengan lipatan kecil-kecil senada dengan dasinya. Tidak lupa juga kaos kaki putih panjangnya yang hampir mengenai lutut memperlihatkan kerampingan betisnya. Lalu Arumi memoles wajah putih mulusnya dengan bedak tipis dan juga lipsglosh pink yang menambah kesan natural. Arumi segera menyambar tas ransel kecilnya di punggung setelah selesai semuanya. Dan meninggalkan kamarnya yang masih berantakan.

TIN TIN! Suara klakson sebuah motor ninja yang ditumpangi oleh seorang laki-laki, datang mendekati Arumi. Sudah sejak 10 menit yang lalu Arumi berdiri di depan pagar kost-annya.

“sorry nunggu! Hehe” sapa cowok itu setelah membuka kaca helmnya sambil memamerkan cengiran. Dia tau Arumi akan mengomelinya.

“kebiasaan! Mana helmnya!” dengan tampang juteknya, Arumi mendekati Dino. Untunglah hanya itu reaksi Arumi atas keterlambatannya, batin Dino. Sontak saja memunculkan senyuman lega dari ujung bibir Dino.

“ini cantik!” Dino mengulurkan helmnya pada Arumi. Sontak Arumi memukul lengan Dino dengan helm yang sudah dipegangnya. Dan Dino malah terkekeh mendapat reaksi kesal Arumi.

Kemudian Arumi berlonjak naik di belakang Dino “sudah, cepat jalan!” perintahnya.

“pegangan, buk! Ntar jatuh, saya yang disalahin?!” kali ini ganti Dino yang ngasih perintah.

“bawel nich mas ojeknya!” balas Arumi tapi ,menuruti perintah Dino dengan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Dino.

“sialan, cakep-cakep gini dibilang ojek! Ok, kita berangkat!” seru Dino kemudian melajukan motornya. Arumi hanya bisa memutar kedua bola matanya mendengar kenarsisan Dino.

Dalam perjalanan ke sekolah mereka, Arumi diam menyandarkan kepalanya pada punggung lebar Dino. Rasa nyaman dan hangat yang Arumi rasakan membawanya dalam bayangan akan sosok laki-laki ini di masa lalu.

Arumi tahu, Dino lah yang selalu ada untuknya. Pertemuan mereka sejak SMP dan sempat terpisah setahun  karena kepindahannya ke Jakarta Pusat. Sampai kemudian, mereka dipertemukan lagi dalam satu sekolahan yang sama. Memang bukan sebuah kebetulan. Arumi sendirilah yang meminta untuk kembali bersekolah dengan Dino. Karena dengan adanya Dino, Arumi merasa aman.

Hug Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang