Iceburn

100 9 2
                                    

Tiupan hawa dingin dari AC di atas Elva tidak mengganggu gadis itu menekuni buku di depannya. Berada di bagian paling pinggir rak buku, dekat jendela besar, sambil berdiri membuatnya jauh dari pengunjung perpustakaan yang lain. Beberapa gemaman terdengar melalui sela-sela rak buku yang menguarkan aroma khas kertas-kertas lama maupun baru. Elva sangat senang menghirupnya, merasa merekalah parfum paling sempurna di dunia.

Elva meletakkan buku yang barusan dia ambil kembali ke rak di depannya. Dia melempar pandangan dari kanan ke kiri, atas ke bawah, menyortir punggung sampul mana pun yang menarik perhatiannya. Topik di rak tersebut nggak terlalu berat-hanya buku-buku kumpulan resep makanan dan pengetahuan dasar memasak. Elva merasa perlu mempelajari mereka, minimal bisa membuat salah satu masakannya, agar salah satu target hidupnya bisa tercapai.

Dia mengembuskan napas. Tangannya terjulur ke salah satu buku yang ada di deret kedua dari atas, di bagian paling pinggir. Dia menarik buku itu cepat-cepat, dan lagi-lagi, cover bukunya mengingatkan Elva pada kegiatan terkutuk yang sangat dia benci.

Elva membuka-buka halaman buku itu, membaca cepat bahan dan cara pembuatannya. Matanya selalu menangkap kata "panaskan", "masukkan ke oven", "goreng", "tiris"-apa pun yang berhubungan dengan kompor dan api.

Dia tidak suka memasak.

Dia benci api.

Melirik jam tangan, Elva mengerutkan kening dan menutup bukunya. Lima belas menit lagi, upacara dimulai. Suara gemaman yang tadi berasal dari murid-murid di bagian inti perpustakaan, tempat meja dan kursi disediakan, sudah menghilang. Mungkin hanya dia yang tinggal di sini sendirian, selain penjaga perpustakaan, tentu. Dia mengembalikan bukunya dengan serampangan lalu menyusuri koridor kecil di antara rak-rak buku menuju pintu perpustakaan.

Saat itulah, Elva merasakan permukaan kulit tangannya memerah. Suhu di sekelilingnya meningkat drastis. Lehernya mulai mengucurkan keringat. Sebelum dia kehabisan napas, dia cepat-cepat membisikkan, "Erra Vella."

Begitu Elva mengembuskan napas, hawa dingin menyelimuti dirinya. Satu nama muncul dalam benaknya. Sambil menggeram, dia melangkah keluar perpustakaan. Mengabaikan penjaga perpustakaan yang mengedip sekali sambil memandangnya heran.

***

Hansel mengusap dahinya. Terik Matahari membakar kulitnya sejak tadi, namun dia belum mengucapkan Erra sejak terakhir kali mengubah sudut deklinasi bintang terkutuk itu. Teman-temannya sudah kepanasan, mulai membagi isi botol minuman yang mereka sembunyikan di saku celana diam-diam. Pembawa upacara di podium masih sibuk berkoar-koar. Beruntung guru-gurunya juga ikut meranggas. Kering serupa pohon di musim kemarau.

Dengan sudut sekecil yang dia terima, Hansel tetap bisa berkonsentrasi. Tubuhnya sedikit mengeluarkan keringat, sengaja mengaturnya menjadi 25 derajat agar teman-temannya nggak curiga. Dia sendiri belum tahu, apakah perbuatannya berdampak buruk pada orang-orang di sekitarnya.

Belum sampai sedetik, awan kelabu muncul di atas lapangan. Hansel menengadah, mengira-ngira dari mana awan itu bergerak. Suara-suara kelegaan bercampur gerutuan mulai melingkupinya. Ada yang bingung mencari tempat berteduh, ada yang berniat hujan-hujan saking kepanasannya.

Hansel celingukan, mencari sumber satu-satunya yang paling bisa dituduh menjadi penyebab gumpalan kumuh itu. Tubuhnya seketika merinding, seolah kekuatan tak kasatmata sedang mengirim hawa dingin sampai ke tulang terdalam di tubuhnya. Dia menelan ludah, kemudian berkonsentrasi untuk mengubah sudut deklinasi Matahari yang dia terima seperti semula. Gawatnya, saat dia merasa hangat, rintik-rintik air mulai meluncur jatuh, dalam hitungan detik sudah membasahi seragam, topi, dan sepatunya.

Pandangan Hansel bertemu dengan Elva yang berdiri di pinggir lapangan, tepat di koridor kelas sepuluh, seolah baru sampai di lapangan. Hansel awalnya yakin, Elva-lah yang menyebabkan hujan ini. Namun, melihat raut terkejut di wajah gadis itu, dia jadi sangsi.

IceburnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang