|Chapter 4|
-Together forever, never apart. Sometimes in distance, but never in heart-
"Berkembang dengan baik. Lihat," tunjuk Reina ke monitor USG. Alina langsung menghembuskan napas lega. Masih terngiang ucapan sang dokter bangkotan di benaknya, yang membuat syaraf panik Alina naik ke tingkat tertinggi.
Al langsung menanggapi rengekan panik Alina dengan menjemput Alina di bandara dan mengantarkannya ke pintu poli kandungan RS Almedika Jaya. Meskipun setelahnya Al harus kembali berlari ke ruang operasi dan meninggalkan Alina menunggu giliran sendirian di sana.
Reina, dokter kandungan yang masih muda, cekatan dan dapat meredakan kepanikan Alina yang luar biasa seketika dengan ucapannya barusan. Kentara sekali perbedaan pelayanan yang Alina dapatkan di sini dengan yang dia terima sebelumnya. Bukan hanya personal dokternya, tapi juga peralatan penunjang dan obat-obatan terbaik yang bisa dia dapatkan. Bahkan pilihan dokter pun tersedia di banyak di sini. That's why Alina still like Jakarta although the traffic jam kill the sanity inside.
Informasi dari Reina bisa sedikit mengobati rasa mengenaskan yang Alina rasakan begitu memasuki ruang tunggu antrian berobat di Poli Kandungan RS AlMedika. Bagaimana tidak, hampir setiap ibu muda dengan ukuran besar perut yang berbeda-beda didampingi oleh suaminya. Ada yang mengelus pelan menenangkan si bayi yang menendang, ada yang mengajak bicara perut si ibu muda walaupun terdengar monolog dan dibalas dengan tendangan pula, ada pula suami yang ikut berkeringat pucat sambil menggenggam tangan istri yang seringkali meringis kesakitan.
Alina tahu, dia bersyukur atas karunia seorang Revan junior yang sedang bertumbuh di dalam tubuhnya. Tapi dia pun tak bisa mengingkari, bahwa dia sangat iri melihat pemandangan di depannya.
Karena itu, jadwal pemeriksaan selanjutnya akan menyesuaikan cuti Revan saja, batinnya. Meskipun pada kenyataan akhirnya, saat kehamilan Gaza pun, yang kerap mendampinginya adalah Maika, Al maupun Agil yang susah payah meluangkan waktu di sela-sela jadwal operasi mereka.
-oo0oo-
"Udah landing?"
"Ponselku aktif sayang, jelas sudah dalam terminal dong. Kamu dimana?"
"Baru keluar dari parkiran nih."
"Oke, aku ngantri bagasi dulu bentar ya."
"Sip."
Empat tahun berlalu, hubungan long distance married mereka yang mungkin bagi beberapa orang terlihat sangat sempurna dan tanpa cobaan berarti. Hanya mereka dan beberapa orang terdekat yang tahu. Namun satu hal yang bisa Alina pastikan tidak berubah, jantungnya terus berdebar kencang setiap kali menjemput Revan ke bandara dan bertemu untuk pertama kali setelah beberapa minggu terpisah.
Jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama itu menyenangkan. Termasuk bisa melunturkan kekesalan sebagai kamuflase dari rindu yang menggunung yang biasanya terekspresi dengan satu tindakan khas Alina: ngambek berkepanjangan, gak jelas apa maunya dan baru mendingan jika diberi perhatian ekstra.
Alina tersenyum dan melambaikan tangannya ke kejauhan. Sosok Revan yang beberapa saat lalu hanya bisa diinderanya melalui suara sekarang bisa dilihat dan dirasakan secara nyata.
Revan langsung memindahkan kotak oleh-oleh ke tangan kiri dan menggunakan tangan kanannya untuk merangkul Alina, mengecup sebentar pelipis kirinya kemudian berjalan bersisian lagi seperti biasa. Revan pun ikut senang. Tak salah lagi, ini adalah rasa yang selalu Revan rindukan. Rasa 'pulang'.
Jarak memang sadis, memisahkan dua orang yang saling mencintai. Tapi jarak juga kadang membuat 'rasa' sebuah pertemuan jauh lebih berarti.
"Van, look at my outfit," kata Alina memutar badan dari sisi sebelah kanan Revan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loveliest Misfortune [Completed]
Ficção Geral[Sebagian bab di-private. Follow untuk membaca] Long Distance Relationshit! Siapapun pasti setuju bahwa LDR yang kemudian berkembang menjadi LDM--with M means Married--adalah salah satu bentuk hubungan paling tidak ideal dan membutuhkan perjuangan...