Prolog

9.7K 553 72
                                    

Malam ini mungkin adalah malam paling indah yang pernah Arin alami. Senyum manis di bibirnya tidak bisa dihapuskan sedikit pun sejak sore tadi.

"Senyum-senyum aja, Rin," celetuk laki-laki yang duduk di samping Arin, masih menyetir mobil dengan serius.

Arin menoleh, pipinya memerah saat berkata, sesuatu yang sungguh melenceng dari celetuk laki-laki tadi, "Arin buat puisi untuk Davin, lho."

Davin tersenyum, menyadari kebiasaan Arin yang menjadi salah satu alasannya menyukai perempuan berkulit putih pucat itu. Begitu Davin mengangguk, Arin memulai.

Kedatanganmu layak rinai hujan,
Tanpa tanda dan penuh arti
Mencintaimu layak matahari pada bulan,
Kurela tenggelam agar kau menerangi malam

Davin tertawa pelan. "Lucu banget sih, Rin. Makin suka, deh."

Mendengar pujian tersebut, hidung Arin kontan kembang kempis. Selama nyaris satu tahun memiliki hubungan spesial dengan Davin, perasaan suka Arin kepada laki-laki itu tidak pernah berkurang—malah bertumbuh subur.

"Davin," panggil Arin dengan mata berbinar-binar karena terkena pantulan lampu jalanan.

Davin menampakkan senyum kecil sambil menoleh sebentar. "Iya?"

"Kamu ganteng," ujar Arin tanpa tedeng aling-aling.

Seperti Davin yang biasanya, dia tertawa. Bukan tawa meledek yang biasa Arin dapat dari kedua kakak kembarnya bila Arin membacakan puisinya. Namun tawa menenangkan yang membuat Arin ingin bergelung di bahu Davin dan tertidur entah sampai kapan.

"Kamu cantik," puji Davin, "Aku beruntung punya kamu, Rin."

Aku yang beruntung, Vin, batin Arin dengan hati berbunga-bunga.

Awal bertemu hingga sekarang, Davin-nya tetaplah Davin yang sama. Perhatian, dewasa, dapat diandalkan, dan setia. Arin tidak akan menukarkan Davin pada apapun, atau siapapun.

Karena tanpa Davin, Arin sendiri. Dirinya tidak suka sendiri, apalagi ditinggalkan.

"Rin, udah sampai nih," ucap Davin, sukses membuyarkan lamunan Arin.

"Oh, iya," gumam Arin, lalu kembali tersenyum berbunga-bunga. "Makasih, Vin. Aku seneng banget malam ini."

Davin membalas senyum Arin dengan senyum maskulinnya yang sangat Arin sukai. "Aku kali yang harusnya terima kasih karena kamu bikin malam ini menyenangkan."

Sebelum Arin sempat mengucapkan apapun, kepala Davin mendekati kepalanya, lalu mengecup singkat pipi Arin—yang langsung memerah.

"Davin," panggil Arin setelah berhasil menormalkan detak jantungnya yang tidak karuan, "jangan pergi."

"Nggak bakal," ujar Davin meyakinkan sembari menepuk puncak kepala Arin. "Tidur sana. Udah malem loh."

Sore ini memang mereka pergi ke danau yang disebut-sebut Davin sangat bagus pemandangannya. Terbukti, Arin berhasil mengantungi foto-foto polaroidnya bersama Davin. Namun waktu terus berjalan, mereka harus pulang dan berpisah.

Ah, masih bisa ketemu besok, ucap Arin sambil menampakkan cengiran polosnya pada Davin.

Arin meloncat keluar dari mobil Davin, lalu menoleh ke arah laki-laki itu lewat kaca mobil yang diturunkan.

"Davin, nyetirnya hati-hati," ucap Arin hangat.

"Iya," balas Davin menenangkan.

"Jangan ngantuk!"

"Iya, Arin."

"Arin sayang Davin," cengir Arin.

Davin membalas cengiran Arin lebih lebar, "Davin lebih sayang Arin, dong."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 10, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SwitchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang