I looked her in the eye
Whispered in her ear
"I shall not lead my soul in to the war"
Words full of lies
Because here I am
Covered with blood from my sin
I am the man who breaks the vow
Paris, 1943
La Ville Lumière, Kota Cahaya, nama itu tidak lagi sesuai untuk Paris. Terlebih setelah pasukan Jerman di bawah pimpinan Hitler berhasil menaklukkan seluruh Perancis pada tahun 1940, kemudian melakukan penangkapan massal atas penduduk Yahudi dan mengirimkan mereka menuju kamp konsentrasi. Kini, kota Paris menjadi terlalu besar untuk penduduk Paris yang tersisa.
Musim semi di bulan Mei, pukul 8 malam. Sinar matahari masih terasa hangat meski sinarnya sedikit meredup. Tetapi semua toko, apartemen, restoran dan hotel di sepanjang Rue de Vignon tampak lengang dan gelap. Semenjak pendudukan Jerman, semua pemilik toko memilih untuk menutup tokonya lebih awal. Meski setiap harinya penduduk kota Paris bersikap seolah-olah kehidupan mereka masih berjalan normal. Tapi masih ada kekhawatiran.
Sebuah kesalahan kecil atau tindakan yang mencurigakan dapat membuat hidup mereka berakhir di penjara Gestapo, organisasi rahasia Jerman yang bertugas memata-matai penduduk dan melenyapkan lawan-lawan pemerintah. Dan setiap siksaan akan membuat siapapun berharap untuk mati.
Kota besar yang begitu lengang. Hening. Bahkan kesenyapan telah membungkam suara angin. Tidak ada satu orangpun yang terlihat berjalan menikmati malam di kota Paris di musim semi. Tapi kemudian terdengar suara sepatu boot militer warna hitam yang beradu dengan jalanan berpaving berwarna abu-abu.
Seorang pria muda. Tinggi. Sekitar 185 cm dan berat 80 kg. Usianya belum mencapai 30 tahun. Dia mengenakan seragam militer warna biru tua dan topi baret berwarna senada. Pemuda itu tampak berjalan seorang diri menyusuri trotoar di sepanjang Rue de Vignon. Hanya suara derap langkahnya yang terdengar menggema di jalanan sepi itu, seolah dia satu-satunya orang yang berada di kota itu.
Kedua bola matanya berwarna hijau terang, seterang permata jamrud yang menghiasi perhiasan para ratu abad pertengahan. Dan iris berwarna hijau yang berada diantara limbus dan pupil yang berwarna hitam itu memancarkan kemisteriusan yang akan membuat setiap wanita yang melihat ke dalam iris itu akan melupakan harga dirinya.
Kemudian wanita-wanita itu akan berlomba untuk membelai setiap helai rambut pendeknya yang berwarna seperti jerami, cokelat tua pada akar rambutnya dan semakin ke ujung rambut, warnanya semakin terang.
Dan jemari-jemari yang lapar itu akan terus menjelajah hingga ke hidungnya yang tinggi dan lurus. Kemudian jatuh di atas bibirnya yang sensual. Bagian atas bibir itu lebih tipis dari bibir bagian bawahnya hingga kesan sensualnya tampak begitu jelas.
Kemudian di atas bibir sensual itu, para wanita yang seolah terkena sihir itu akan berbisik, memanggil pemuda itu dengan sebutan Mon Prince. Dan wanita-wanita itu akan melakukan apapun hanya untuk berada di dalam pelukan sang pangeran.
Tapi ada satu hal yang menjadi kekurangan sang pangeran. Wajah dan kedua pancaran matanya tampak begitu dingin. Seolah semua sifat manusiawinya telah hilang, melebur terbawa angin yang berhembus seiring dengan sinar matahari yang makin meredup. Wajah pangeran itu seketika berubah, menjadi wajah seorang pembunuh berdarah dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN
Historical FictionTidak ada yang tahu siapa Emilie. Orang hanya tahu jika Emilie adalah gadis bertubuh kurus dan pendiam, yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang janda pemilik toko sabun bernama Nyonya Madeleine. Pada musim gugur 1945, putra tungga...