03. Flashback

417 12 0
                                    

"Kau tahu, aku masih bingung dengan masa depanku padahal aku punya banyak orang yang menyayangiku. Aku punya ayah angkat di Sumatra, dia bilang dia bisa membiayai ku kuliah jika aku pergi kesana. Ayah angkatku di Pontianak juga begitu, kemarin aku lomba kaligrafi. Jika menang, ia akan mengirimkan hadiah kepadaku. Ia juga ingin aku tinggal bersamanya. Aku tidak tahu harus bagaimana." ujar Arman, sahabat lama Nurul ketika di MTs.

Mereka sedang berbincang-bincang di bawah naungan langit malam. Tak perlu khawatir, mereka berada di lapangan sekolah mereka dulu.  Malam ini guru-guru Mts sedang menyelenggarakan pelantikan calon panitia pramuka yang baru, beberapa orang alumni di minta untuk datang membantu pelantikan tersebut.

Termasuk Nurul dan Arman serta beberapa teman lainnya.
"Kau masih kelas X Aliyah. Masih ada waktu dua tahun lagi untuk memikirkannya." Nurul duduk di lapangan mengikuti Arman yang terlebih dulu duduk tapi tetap ada jarak diantara mereka.

Mereka tidak merasa gelisah duduk di lapangan, karena sebelumnya telah dibersihkan oleh penjaga sekolah.

"Tidak bolehkah aku merancang masa depanku?" Arman menoleh ke wajah Nurul. Sinar bulan yang tidak terlalu terang membuat wajah Nurul tidak terlalu terlihat dengan jelas apalagi ia mengenakan kerudung.

"Boleh. Aku tidak melarang. Aku hanya memberi kamu saran." ujar Nurul dingin. Mereka memang seperti itu, selalu berbeda pendapat dan sama-sama keras kepala. Tapi hal itu semakin membuat mereka dekat dalam persahabatan.

Akhirnya mereka sama-sama terdiam. Diam sambil menjelajah alam pikiran mereka masing-masing.

"Aah, kenapa kita seperti ini. Lebih baik kita membahas yang lain saja." ujar Arman memecahkan keheningan. Nurul hanya menggangguk.

"Oh ya. Kau tahu, aku punya teman perempuan di Aliyah, sekolah baruku. Tapi dia berbeda dari perempuan lain. Ia sangat mengutamakan sekali kehormatan dirinya. Bila aku mendekatinya, ia langsung saja pergi. Ia tidak ingin berdekatan dengan yang bukan mahramnya. Akhlaknya luar biasa."
Cerita itu membuat Nurul menoleh, ia tertarik dengan cerita yang di sajikan Arman. Segera ia meminta Arman melanjutkan ceritanya.

Bukannya melanjutkan cerita tersebut, Arman malah mengganti ceritanya dengan yang lain.

"Aku bersahabat dengan salah satu perempuan di kelasku. Ia mirip sekali dengan Tari. Dari badannya, tingginya, gaya bicaranya. Semuanya sama dengan Tari."

Deg.. Hati Nurul tiba-tiba berdebar. Perasaan Nurul kembali hadir. Perasaan yang telah lama ia pendam dalam-dalam agar tidak kembali menguak ke permukaan.

Ternyata perasaan itu mulai mengambang kembali. Sakit hati? Ya, Nurul merasa sakit hati jika mendengar Arman menyebutkan nama Tari. Ternyata sampai saat ini Arman masih menyimpan perasaan spesial pada Tari.

"Aahh. Flasback lagi. Ayo Nurul lupakan. Itu masa lalu, untuk apa di ungkit-ungkit lagi." pikir Nurul.

Nurul yang dulunya menyukai Arman secara diam-diam akhirnya menyerahkan perasaannya sepenuh hati kepada Tari. Membiarkan rasa itu terkikis pelan-pelan namun pasti, seperti air yang mampu mengikis kerasnya batu. 

Nurul sejenak terdiam. Memandang langit malam mungkin lebih baik untuk saat ini. Karena tidak setiap malam ia bisa menatap langit dan melihat sinar bulan.

"Kalian tidak haus?" tiba-tiba Fina datang membawa dua cangkir teh ditangannya. Ia mengulurkan secangkir air teh kepada Nurul. Nurul meraih cangkir itu dan menyeruputnya perlahan. Secangkir teh yang lain diletakkan disamping tangan kanan Arman.

Rasa hangat teh langsung mengalir ke tenggorokan Nurul dan tubuhnya. Mengusir dingin yang mengikat erat tubuhnya sejak tadi. Rasanya begitu nikmat apalagi di minum malam hari bersama sahabat-sahabatnya.

Cinta Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang