2

67 14 3
                                    

"Jika kamu mencintaiku hanya untuk pelarian, artinya kamu kejam. Namun jika setelah kutau hal itu tapi aku tetap mencintaimu. Artinya aku bodoh."

*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Author POV

Kini Verl sedang duduk dengan Bendi di meja cafe. Ia tak mempedulikan ancaman Findy. Ia lebih memilih cintanya daripada dirinya sendiri. Verl tersenyum manis sementara Bendi menjadi kikuk. Sejak tadi Verl membujuk Bendi agar segera mengatakan apa tujuannya mengajak Verl kemari. Namun Bendi tampak persis seperti orang gagu.

"Biasa aja dong, gue kan sahabat lu, masa sama gue aja nyembunyiin sesuatu," ujar Verl dengan senyum simpul.

"Iya deh iya, tapi kita makan aja dulu yaa," saran Bendi.

"Ok deh."

Verl terlihat sangat penasaran dengan perihal apa yang akan sahabatnya ini katakan. Pasalnya, Bendi tak pernah mengajaknya bicara seserius ini. Apalagi harus 4 mata. Biasanya Bendi langsung berbicara saja pada Verl.

Begitupun Bendi, ia nampak ragu untuk mengungkapkan perasaannya. Tangannya mengepal-kepalkan tissu di hadapannya. Ia tampak tak siap, namun harus mengatakannya.

***

"Ben," ucap Verl membuka percakapan.

"Iya. Oh ya, mmm tadi gue mau bilang, lebih tepatnya mau nanya. Lu temenan kan sama Berlin?" tanya Bendi dengan sangat hati-hati.

"Oh, dari tadi cuman mau nanya itu? Iya, gue kenal, dia sahabat gue," ujar Verl santai.

"Nggak cuman itu. Sebenarnya--tapi lu jangan marah atau apa ya," pinta Bendi dengan sangat berharap.

"Haha ya enggak lah. Kenapa sih?" tanyanya penasaran. Verl mulai merasa ada yang mengganjal, namun ia tak menyadari letak keganjalan itu.

"Sebenernya, gue udah lama suka sama dia. Menurut lu gimana?" tanya Bendi.

"Dia? Siapa dia?" tanya Verl dengan terkejut.

"Berlin," ucapnya singkat, padat, dan jelas.

"Ohhh Berlin, bagus kok. Dia anaknya baik," ujar Verl.

Ia berusaha menahan mati-matian air matanya yang menggenang di pelupuk matanya. Berusaha tegar dan ikut senang. Namun tak bisa ia pungkiri, air matanya jatuh begitu saja.

Verl mengusap secepat mungkin agar Bendi tak melihat. Namun, tetap saja Bendi melihat itu. Bendi yang melihat Verl menangis, hatinya serasa sakit juga dibuatnya. Semakin Verl menyeka air matanya, semakin banyak pula yang berjatuhan. Seolah-olah kecanduan.

"Verl? Lo kenapa? Kenapa nangis? Verl?!" tanya Bendi penuh dengan kekhawatiran.

Verl POV

Apa? Dia bilang apa? Dia menyukai sahabatku? Dia menyukai Berlin? Astaga dia mencintainya? Apa aku tidak salah dengar? Iya aku berkata apa adanya. Itu memang benar. Lagipula Berlin cantik. Tidak salah jika sahabatku, Bendi mencintainya.

Seketika ruangan di otakku hampa, hatiku hancur, dan seakan-akan aku adalah gadis bodoh yang berharap lebih pada malaikat tak bersayap didepanku. Air mataku sudah tidak bisa kupendam.

Kenapa ini terjadi? Kenapa? Aku salah apa? Iya ini salahku. Aku sudah terlalu menganggap dia mencintaiku. Aku terlalu geer dengan ucapan-ucapannya. Padahal itu semua bukan untukku.

Aku tak menyesal masuk kedalam kehidupannya. Apapun keputusanku aku juga harus menerima resikonya. Mana mungkin sahabatku mencintaiku. Tidak mungkin. Ini semua hanya angan-anganku bisa memilikinya. Aku benar-benar berharap bahwa ini sebuah mimpi. Tapi apa? Ini memanglah kenyataan. Aku tidak bisa lari dari kenyataan.

CoF [1] Just A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang