Chapter 1 : One Rainy Day

1.8K 20 1
                                    

(Picture of Addison^)

~Addison's POV~

Hari itu café padat oleh pelanggan. Semua meja ditempati berbagai kalangan, simpelnya karena cuaca sedang mendung disertai gerimis. Para pejalan kaki yang tidak ingin kehujanan terpaksa harus berteduh di café ini.

Mereka yang memasuki café mau tidak mau harus memesan setidaknya segelas minuman kami agar boleh duduk. Akibatnya, aku yang bekerja sebagai pelayan kesibukan menerima pesanan.

"Satu hot sweet tea dan dua ice milk cappucino, itu saja bu?" Ulangku pada pelanggan yang baru saja datang.

Seorang ibu dan dua gadis sebayaku menempati meja kosong terakhir. Selain gaya rambut dan baju kedua remaja itu, mereka terlihat identikal. Kembar.

"Iy-"

"Aku mau whip cream di atas minumanku," salah satu gadis itu memotong ibunya. Matanya terpaku ke menu, tidak memberikan kontak mata.

Rude.

"Ya, dan topping kepingan oreo di atasnya," tambah kembarannya. Rambutnya panjang berponi, berbeda dengan kembarannya yang berambut pendek.

Bayangkan Hannah Montana dan Tris di film Insurgent. Ya, karakter yang benar-benar berbeda. Tapi selain rambutnya, sikapnya tidak jauh beda.

"Oke, ada lagi?" Tanyaku.

"Esnya jangan terlalu banyak,"

"Jangan terlalu manis juga, aku dengar diabetes susah diobati." Mereka bergantian berbicara. Kali ini mereka melihat ke arahku, ke arah badanku lebih tepatnya. Mata mereka bergerak dari kaki ke atas hingga bertemu mataku. Salah satu berbisik di telinga yang lain dan keduanya tertawa.

Apa mereka menertawakan cara aku berpakaian?

Sekilas aku alihkan mataku ke pakaian yang aku pakai. Celana chino berwarna coklat muda, kemeja putih polos, dan sepasang sepatu convers kesayanganku. Kemeja putihku rapi tertanam dalam celana. Tali sepatu conversku juga sudah ku ikat. Tidak ada yang salah.

Setidaknya di mataku.

Tidak seperti aku, mereka mengenakan dress bermerek yang aku yakin harganya selangit. Memikirkan nominal angkanya saja aku merinding. Dress mereka memang terlihat bagus, tapi tidak nyaman.

Aku lebih suka berpenampilan simpel selama aku merasa nyaman.

Mereka masih menatapku. Bukan tatapan yang menyambut, tapi seolah jijik pada aku.

Bitches. Mereka pikir mereka siapa? Hanya karena memakai dress, mereka bertingkah sombong. Kasihan ibunya, hidupnya pasti disulitkan oleh mereka.

Aku, bagaimanapun harus menjadi pelayan yang baik dan hanya bisa menempel senyuman di wajahku dan menulis persis pesanan mereka.

"Satu hot sweet tea dan dua ice milk cappucino dengan whip cream dan oreo topping, medium ice dan sugar, tentunya karena diabetes susah diobati. Apa semua pesanannya sudah benar?" Ulangku lagi, sekedar formalitas pelayan café.

"Jangan pakai lama," kata si kembar yang berambut pendek.

"Abaikan bagian terakhir itu," ibu itu akhirnya bicara. "Dan ya, itu semua pesanan kami, terima kasih."

"Ditunggu ya bu."

Aku mengambil lembaran menu dari meja mereka, tersenyum sesudahnya. Ibu itu membalasnya sedangkan si kembar asik bermain handphone.

Well, setidaknya ibunya ramah.

Aku meninggalkan meja tadi, berniat menuju ke dapur untuk menyetor pesanan, tapi..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teach Me, Kiss MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang