Aku adalah SEPI
Kamis, 1 Agustus 2013
Hai Sepi,
Ketika kamu membaca ini kuharap kau tak sendiri membacanya. Pagi ini aku berangkat menuju Jakarta. Ibu Kota Metropolitan kembali menjadi tujuanku untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Kau pasti tahu apakah itu. Aku melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Masa liburku segera usai dan aku sedih ketika harus mengakhirinya. Sudah enam tahun lamanya aku melakukan masa pendidikanku di Kota Pelajar, tetapi kali ini aku sendiri yang memutuskan untuk pindah kota dan Ibu sangat menyetujuinya, meskipun Ayah bersikeras agar aku tidak meninggalkan Yogyakarta. Aku merasa sudah saatnya aku mengambil keputusan dan aku harus siap terima konsekuensinya.
Aku menulisnya sudah setahun yang lalu. Sebuah buku diari kecil berwarna coklat tua pemberian Ayah di ulang tahunku pada tahun 2012. Saat itu usiaku baru saja menginjak 17 tahun. Tak ada yang spesial pada saat itu. Hanya ucapan selamat dari Ayah dan Eyangku. Ibuku tinggal di Jakarta dan aku jarang menemuinya semenjak orang tuaku bercerai. Tak pernah ada yang istimewa selama 6 tahun tinggal bersama Ayah. Aku melalui hari-hari sebagai pelajar yang tidak terlalu pintar dan juga tidak terlalu teladan. Aku juga tak bergaul dengan baik. Mereka bilang aku individualisme dan aku mengiyakan. Memang benar, aku jauh lebih nyaman ketika sendiri sehingga aku sulit untuk beradaptasi dengan lingkunganku. Eyang putriku tak pernah mempertanyakan mengapa aku tak pernah membawa teman sekolahku main kerumah. Bahkan, Ayah tak pernah mau mengetahui prestasiku disekolah. Aku sudah pasti jenuh menjalaninya, jika aku harus 4 tahun lagi bertahan disana. Sebab itu, aku memilih tinggal bersama Ibu di Jakarta dan kuliah disana. Rasanya memang tidak tega meninggalkan Ayah sendirian setelah Eyang putri meninggal dua tahun lalu. Tapi jika aku bertahan disana, aku sama saja seperti seekor burung yang dipasung di sangkarnya. Aku mencari kebebasanku. Kebebasan yang membuat aku mampu mengepakan sayap dan aku dapat terbang kemanapun yang aku mau.
***
Dua jam sudah Rania menunggu di stasiun kereta Pasar Senen, Jakarta Pusat. Ia masih asyik dengan buku digenggamannya. Sebuah buku karya seorang penulis bernama H. Jujus Jahja yang berjudul Peranakan Idealis dan diterbitkan pada tahun 2002. Ia mengaku jatuh cinta pada sebuah buku sejak seorang sahabat di Yogyakarta memberikan buku tersebut kepadanya. Kumpulan kisah nyata dan heroik tersusun rapih mulai dari seorang tokoh etnis Tionghoa bernama Lie Eng Hok hingga Teguh Karya. Seketika, ada setitik angan kecil yang ia lihat dalam ruang harapannya. Seperti sebuah mimpi yang akan ia wujudkan. Menjadi seorang penulis buku dan seniman seperti Ayah merupakan bagian dari cita-citanya terdahulu. Seiring berjalannya waktu Rania semakin larut dalam buah karya yang ia coba bukukan. Khayalan demi khayalan itu semakin dalam dan enggan beranjak. Ia tak sadar bahwa telah melamunkan diri cukup lama, hingga seseorang berhasil menyadarkannya,
"Sudah menunggu lama?" Tanya seorang wanita dihadapannya. Rania mencari sumber suara itu.
"Ibu!!!" Ia setengah berteriak dan memeluk Ibu dengan erat.
"Rania sudah menunggu lama?" Tanya Ibu sekali lagi.
"Iya, Rania sudah nunggu 2 jam, tapi Ibu belum datang."
Ibu mendapatkan Rania membawa buku ditangannya, "Wah, ada buku baru nih. Dari siapa itu?" Tanya Ibu sambil mengajak Rania menuju parkiran mobil.
"Aku dapat dari seorang teman di Jogja. Katanya untuk kenang-kenangan, Bu."
Rania bercerita panjang lebar. Ibu menatap dengan lekat dan senyum mengembang diujung bibirnya. Tiba diparkiran, Rania masih terus menceritakan tentang buku pemberian sahabatnya. Ibu merasa senang karena Rania menjadi anak yang suka bertukar pikiran.
Saat mobil melaju menuju rumah, Rania berceloteh tentang buku dan sahabatnya.
***
Selulerku berdering, tertera nama Ayah disana. Aku memencet tombol hijau dan suara berat menyapa dari seberang sana.
"Kamu sudah sampai rumah?"
"Sudah, ada apa Ayah?" aku berjalan menuju teras rumah.
"Tidak apa-apa. Yasudah, Ayah istirahat dulu. Jaga diri baik-baik ya. Jangan merepotkan Ibu."
Aku membalas dengan berdeham dan Klik. Telepon terputus saat itu aja. Kadang aku merasa bersalah, hidup diantara dua jiwa yang kini bersebrangan. Sampai usiaku seperti saat ini, aku tak mengerti mengapa Ibu dan Ayah berpisah.
Tiba dirumah Ibu aku seperti kembali menjadi diriku sendiri. Aku masih dapat mencium aroma ruang dan kasur tempat tidurku. Dahulu aku hanya bisa merasakannya setahun sekali. Terkadang, hanya saat-saat liburan sekolah. Tapi kini, aku bisa merasakan kapanpun yang aku mau. Kamar ini terlalu mewah bagiku, berbeda dengan kamarku sewaktu di Jogja. Semua serba tradisional. Ditiap sudutnya menggunakan kayu dan rotan. Jika disini, aku bisa mengenal ubin yang bersih, sedangkan di Jogja aku harus mengenal tanah liat setiap kali aku berjalan. Pernah aku terbesit bahwa mungkin Ayahku dulu miskin sehingga Ibu enggan hidup dengannya lama-lama. Sehingga, Ibu memilih pergi ke Ibu Kota dan meninggalkan Ayah disana. Kasur disini empuk sekali. Rasanya aku ingin segera tertidur dan melupakan masalahku. Tentang Ayah dan Ibuku. Tentang ego mereka masing-masing.
TOOK... TOOK... TOOK..
Belum sempurna aku terpejam suara itu membuyarkan tidurku.
"Masuk"sahutku dari dalam.
"Non, Nyonya memanggil ke bawah. Disuruh makan dulu."
Aku mengiyakan dan bergegas menuju meja makan.
Rumah Ibu memiliki 3 lantai. Lantai pertama ada ruang tamu dan meja makan. Lantai dua ada kamarku dan kamar ibu. Tapi ada satu lantai lagi yang engga boleh aku datangi. Lantai itu berada di dasar rumah ini. Lokasinya ke bawah tanah. Entah mengapa, Ibu tak pernah mengijinkan siapapun mendatangi lantai dasar itu. Aku saja tak diperbolehkan, apalagi assistant rumah tangga.
Aku tersenyum dan Ibu membalas senyumanku.
"Ayo makan dulu, nanti baru istirahat. Capek kan' perjalanan dari Jogja ke Jakarta?" Kata Ibu sambil mengambil nasi di piring untukku.
"Aku mau ini, Bu." Aku menunjuk tempe orek dan ikan asin.
"Kamu ngga mau cumi saus tiram?" Ibu mengernyitkan dahi.
Aku menggeleng dan tetap pada pilihanku.
"Yaudah, Rania makan yang banyak ya. Setelah makan langsung istirahat."
Aku menganggukan kepala dan melahap makananku.
Ibu mulai membuka obrolan tentang kepindahanku ke Jakarta.
"Kamu bilang apa sama Ayah kalau kamu kesini?"
Aku berdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Ibu.
"Aku mau kuliah disini. Kan kemarin sudah sekolah disana, aku pingin balik lagi kesini. Aku kangen suasana disini." Jelasku santai.
"Ayah tidak tanya lain-lain?"
Aku agak bingung dengan pertanyaan Ibu, "maksudnya lain-lain itu apa, Bu?"
"Ya misalkan memastikan kamu betah tinggal disini atau ada yang lain begitu."
Aku menggeleng kepala, "tidak ada. Ayah hanya berpesan aku harus nurut sama Ibu."
Wajah Ibu seperti lega mendengar jawabanku. Aku agak curiga, tapi aku membuang pikiran itu jauh-jauh. Bagaimana bisa aku mencurigai Ibuku sendiri? Meskipun aku merasa ada sesuatu hal yang Ibu sembunyikan, sama seperti lantai dasar itu. Aku tahu, Ibu menyembunyikan sesuatu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Setoples Matahari Jingga
Mystery / ThrillerJika laut biru, bolehkah aku ambil biru itu dan apakah laut akan tetap membiru? Jika awan putih, bolehkah aku ambil putih itu dan apakah awan akan selalu putih? Jika bahagia adalah cinta, bolehkah aku ambil cinta itu dan apakah aku akan tetap bahagi...