Maafkan, Aku
Pukul 20.08 WIB Rania masih terlelap dari tidurnya yang panjang. Yogi dan Karin masih berdiskusi soal kegelisahan mereka masing-masing. Malam itu, kereta melaju lebih lambat dari biasanya. Mungkinkah ini hanya perasaan Yogi saja. Tapi bisa jadi, ini hanya sekedar harapan Karin yang diam-diam mulai berharap bisa mengobrol dengan Yogi lebih lama dari biasanya.
"Jadi kamu kenal Rania sejak dia kuliah di Jurnalis Indonesia?" tanya Yogi yang masih menjaga Rania di sampingnya.
Karin mengangguk pelan, "Sebenarnya aku pindahan dari Jurnalis Indonesia di Semarang. Itu juga disuruh sama..." Karin terpaksa berhenti seketika saat mendapati Rania sedang mengigau.
"Febri... Dandy... Koko..." kali ini Rania sedikit berteriak dan menyebut serta memanggil tiga sahabatnya. Ini membuat Yogi dan Karin semakin merasa iba melihat kondisi Rania.
"Bangunin deh Yog. Gue takut dia kenapa-napa." Pinta Karin sambil mengguncang-guncangkan tubuh Rania dengan perlahan.
"Ran, bangun yuk Ran. Rania...." kata Yogi sambil menampar pipi Rania dengan pelan.
"Makan yuk Ran. Gue laper nih." Ujar Karin sambil mengolesi minyak kayu putih di hidung dan sekitar leher Rania.
Tubuh Rania pun di baringkan di atas kursi penumpang berkapasitas tiga orang. Beberapa penumpang lainnya pun berdiri sejenak dan mempersilahkan Rania berbaring dengan aman. Yogi bingung harus berbuat apa. Karin terus-menerus memanggil Rania untuk bangun.
"Ran pulang sini Ran. Ini ada gue sama Yogi. Lo jangan kemana-mana."
Mendengar Karin berbicara demikian, Yogi bergidik ngeri. Ia takut Rania kenapa-napa.
"Kamu yakin, cara mengatasi Rania seperti itu?"
"Dia punya rasa bersalah yang besar. Sama seperti Resto. Jadi dia selalu terbayang sahabatnya yang meninggal. Dia selalu berusaha untuk menebus rasa bersalahnya," ujar Karin berbisik pelan kepada Yogi.
Tanpa aba-aba, Rania kembali tertidur lelap. Karin sedikit lega saat Rania kembali tidur terlelap.
"Kok dia tidur, Kar?" tanya Yogi khawatir.
"Kayaknya, dia capek sendiri." Jawab Karin terkekeh.
"Mbak, Mas, temennya ngigo ya? Coba bangunin terus. Takutnya kenapa-napa. Mumpung dia tidak seperti tadi. Biar dia bangunnya juga nggak kaget." Saran dari salah satu penumpang yang ada di sebelah Karin.
Yogi mengangguk paham dan berusaha membangunkan Rania pelan-pelan. Karin pun menyiapkan susu kental manis hangat untuk Rania.
"Dia mau bangun." Ujar Yogi saat melihat Rania mulai memegangi kepala dan membuka matanya perlahan.
Butuh waktu lama untuk menyadarkan Rania. Beberapa penumpang lainnya hanya memperhatikan atau sekedar membantu mengipasi Rania. Baru kali ini, Yogi dan Karin melihat Rania mengigau sambil tertidur. Mereka tak bisa membayangkan bagaimana jika Rania sendirian di rumah jika sedang mengigau. Yogi pun seketika teringat kata-kata Karin. Jika seorang Resto aja bisa hampir gila bagaimana dengan Rania yang baru pertama kali mendapati sahabatnya meninggal di depan matanya.
***
"Halo..." ujar seorang pria dari seberang sana.
"Iya, halo. Kediaman Ibu Rianti dan Non Rania. Ada yang bisa di bantu?" tanya Mbak Minah dengan suara khasnya yang sedikit medok Jawa.
"Halo, Mbak. Saya Adi."
Mbak Minah berdeham sejenak, "Mas Adi siapa ya?"
"Saya yang waktu itu minta nomor Rania, Mbak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Setoples Matahari Jingga
Mystery / ThrillerJika laut biru, bolehkah aku ambil biru itu dan apakah laut akan tetap membiru? Jika awan putih, bolehkah aku ambil putih itu dan apakah awan akan selalu putih? Jika bahagia adalah cinta, bolehkah aku ambil cinta itu dan apakah aku akan tetap bahagi...