BAB 2

172 2 0
                                    

Hanya Satu

Hari ini aku resmi menjadi mahasiswi pada salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta Pusat. Sebelum aku diterima menjadi mahasiswi Ibu bersikeras untuk mengirimku ke Malaysia karena menurut Ibu pendidikan disana lebih terjamin. Aku menolaknya, Ibu tidak dapat berkutik. Aku menjelaskan bahwa kedatanganku disini untuk kuliah dan menemani Ibu. Selama ini aku tinggal bersama Ayah. Beliau cukup mengabaikan aku selama aku bersekolah disana. Itulah alasan mengapa aku kini memilih melanjutkan pendidikanku dan kupercayakan kepada Ibu.

Senin, 9 September 2013.

Teman baruku bernama Yogi. Kami satu fakultas di Seni Film. Tahun depan aku baru bisa mengambil jurusan. Kami berkenalan saat aku terlalu banyak menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Sedangkan Yogi bersama teman sekelompoknya sedang mengerjakan tugas kelompok. Ia tiba-tiba curhat denganku, katanya kesal karena tidak ada satupun yang mendengar idenya. Lama-lama ia merasa terasingkan dan duduk menemaniku membaca. Yogi pernah bertanya, mengapa aku tidak mencari teman dan memilih sendirian. Jawabanku mudah, jangan mencari, karena saat kau dapat apa yang kau cari, kau akan kehilangan apa yang sudah kau dapatkan. Lalu ia bertanya lagi, mengapa aku kuliah bukankan mahasiswa itu mencari gelar? Aku masih memikirkan jawabannya dan kami terbahak-bahak bersama.

***

Sudah sebulan Rania dan Yogi membiasakan diri bersama. Hingga suatu ketika seorang perempuan yang mengaku kekasih Yogi menghujat Rania habis-habisan. Ia menuding Rania sebagai perusak hubungan orang. Rania tertegun dan baru kali ini, ia mendapat hujatan dan tudingan yang tak pernah ia lakukan sama sekali.

Esoknya, Rania menjauhi Yogi perlahan. Tapi Yogi merasakan bahwa Rania menjauhinya. Ia segera menemui Rania saat Rania baru saja keluar dari ruang keterasingannya.

"Kenapa kamu senang sendirian disitu? Memangnya tidak takut kesepian?"

Rania tak menjawab dan tak satu lirikan pun ia tampakan diwajahnya.

"Saya minta maaf kalau saya salah, Ran. Saya tidak suka sikap kamu yang seperti ini."

Rania seketika berhenti sejenak. Ia mematung tanpa menoleh ke arah Yogi yang sedang menunggu jawaban dibelakang punggung Rania.

"Jawab saya Ran. Aku salah karena apa."

Rania bungkam tak bersuara. Koridor kampus yang sepi tak memberikan jawaban apapun. Yogi menunggu Rania untuk menjawabnya. Ia ingin mengetahui, apa yang menyebabkan Rania bersikap menjauh darinya.

Rania menghela nafas dengan berat. Ia membalikan tubuhnya dan perlahan menatap Yogi dengan lekat.

"Jelaskan pada saya, Ran. Apa yang harus saya perbuat agar hubungan pertemanan kita dapat kembali lagi seperti dulu. Bagi saya, kamu sumber inspirasi saya. Setiap memotret, saya selalu teringat celotehmu. Itu yang membuat saya tidak bisa untuk meninggalkanmu. Saya butuh kamu Ran. Kamu sahabat saya."

Rania mengutuk dirinya dalam bathin. Ia bergeming dan mereka hanya saling lempar pandang.

"Mungkin saya salah, Gi." Jawab Rania lirih, "seumur-umur saya baru kali ini kata-katai oleh orang yang mengaku pacarmu. Saya malu,Gi. Di depan umum, saya diperlakukan seperti itu. Seperti tidak bernorma saja."

Yogi menghela nafas panjang.

"Dia bukan lagi pacarku, Ran. Ia mantanku."

Rania tak membalas penjelasan Yogi.

"Saya minta maaf, tapi saya benar-benar tidak tahu kalau Grace melakukan itu padamu."

Rania mengangguk paham.

"Kamu memaafkan saya, Ran?"

Rania melihat manik-manik mata Yogi dengan lekat. Memastikan ucapan jujur dari sahabat barunya.

"Kamu masih mau bersahabat dengan saya?"

Tanpa sepatah katapun, Rania menganggukan kepala dan tersenyum.

***

Sudah 3 jam lamanya Poy telephone aku dari Jogjakarta. Ia adalah temanku sewaktu aku masih sekolah di SMPN 1 Depok, Yogyakarta. Kami melanjutkan ke tingkat SMA bersama-sama di SMAN 1 Yogyakarta. Kini Poy telah di terima di UGM fakultas kedokteran melalui jalur beasiswa. Aku bangga sekali kepadanya. Ia mampu mewujudkan mimpinya. Aku iri, kapan aku bisa seperti dirinya.

"Poy, kamu kangen ndak sama aku?"

Poy tertawa sebelum menjawab pertanyaanku, "jelas kangen kamu lah, plon"

Ia sering memanggilku demplon. Katanya, tubuhku ini tinggi besar selain itu aku dianggap gemuk sedangkan badan Poy itu terbilang kurus.

"Syukurlah, eh aku suka loh sama buku dari kamu."

Poy tertawa terbahak-bahak sebelum membalas pujianku, "itu bukan punyaku, Plon."

"Loh, terus nduwe sopo iki?" (1)

"Kakangku, plon." (2)

Aku tertegun tak percaya.

"Sorry ya, plon. Ojo nesu." (3)

"Nesu sih ora, Poy. Malu e kui loh. Mesti dianggap opo aku karo kakangmu kui?"(4)

Dari seberang sana suara Poy terdengar terkekeh.

Suatu ketika, aku dan Poy pernah taruhan. Aku tahu Poy takut dengan kakak laki-lakinya. Ia enggan sekali bersinggungan langsung apalagi berkomunikasi dengan kakaknya itu. Maka, aku pernah menantang Poy, jika ia berani mengambil satu barang milik kakaknya dan menunjukan kepadaku, artinya dia akan aku traktir makan soto ayam dekat kampus UGM yang terbilang sangat enak dan harga terjangkau. Aku akan mentraktirnya hingga sebulan full. Terbukti, Poy berhasil memenuhi tantanganku dan aku bersalah karena kini aku tidak lagi di Jogja.

"Maafin aku Poy." Kataku memelas setelah melihat nama Raden Mas Adi Wiguna tertera disudut kanan bawah pada lembaran dihalaman akhir penutup buku.

"Ndak apa, Ran. Aku mengerti. Tapi janji yo, pas ke Jogja kamu mesti penuhi janji-janjimu. Meskipun ndak sebulan full." Poy membalasnya dengan tawa penuh kemenangan.

"Iya, libur kuliah nanti aku pasti ke Jogja."

"Tak tunggu yo!"

"Iya, Poy. Yaudah aku mau kerjai tugasku dulu."

"Semangat ya, plon. Bye."

"Bye, Poy." Klik.

Sambungan kami terputus. Aku menatap bingkai foto dimeja belajarku. Kulihat Raden Bagus Jeffry atau biasa aku sapa Poy. Ia terlihat begitu bahagia mengenal diriku. Rasanya aku tidak bisa menggantikan sahabat sebaik Poy. Meskipun, Yogi kini menjadi sahabat baruku di kampus. Poy masih menjadi seorang laki-laki yang berani menerima tantanganku. Ia masih menjadi sahabat terbaikku.

***


1. Loh, terus punya siapa ini? 

2. Punya kakakku, plon.

3. Maaf ya, plon. Jangan marah.

4. Marah sih engga. Malunya itu lho. Mesti dianggap apa aku sama kakakmu?

Setoples Matahari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang