Petang sudah memberi perannya kepada malam. Matahari berganti bulan dan langit sudah gelap. Hari ini tidak ada lagi bintang, hanya ada cahaya dari jendela-jendela apartemen yang memulai hari malamnya.
Gue duduk di sofa hitam dengan bahan yang halus. Membenarkan dasi kupu-kupu dan merapikan setelan jas. Rambut disisir serapi mungkin dan dioles gel rambut. Gue telah siap.
Detik seakan merangkak dengan gas berkecepatan tinggi, rasanya bundarnya jam sudah tidak lagi luas, waktu berlari cepat. Ini sudah lebih dari 30 menit gue menunggu. Hari ini ada prom night, dansa terakhir anak-anak senior kelas 12.
"Zoe?" Gue mengetuk pintu kamarnya.
"Zoe? Jangan pedulikan cermin." Sahut gue.
"Zoe? Ayo kita sudah terlambat" gue membuka perlahan pintunya yang tidak terkunci."Zoe? Cermin bukanlah diri lo" gue menghampirinya. Gue tau di balik punggungnya ia sedang menangis.
"Joy, gue gak bisa pergi," ia berbalik dengan maskara yang menghitam karena aliran tangisnya.
"Sampai kapan mau begini?" Gue berlutut di depannya, menghapus air mata.
"Pokoknya gue gak bisa. Gue gak bisa make-up, rambut gue pun lagi berantakkan" Zoe menunduk.
"Lo pasti malu dansa sama gue!" Nadanya meninggi setengah berteriak.
"Siapa bilang?" Gue menghapus bekas make-upnya yang berantakkan.
"Lo gak perlu make-up," gue melanjutkan kalimat sambil memakaikannya bedak.
"Lo tetep cantik, Zoe." Lipstick pink yang gue oleskan dirasa cocok.
"Lo gak harus menata rambut" Rambut hitam wavy nya gue kuncir berbentuk 'bun' ke belakang lalu gue tinggalkan sedikit untuk poni.
"Ayo, Zoe. Ini yang terakhir, kan?" Gue mengulurkan tangan untuk disambutnya."Joy.." Zoe menyahut lirih.
"Come on, we're too late." Tangannya menjabat telapak tangan gue dan itu adalah telapak tangan paling hangat yang selalu gue ingat.
***
Gedung aula digelapkan dengan sengaja, lampu neon itu memberi kesempatan pada lampu-lampu kecil yang berkerlipan. Musik yang distel pelan mengayun dengan damai. Semuanya telah menggenggam pasangannya masing-masing dan bersiap untuk berdansa.Zoe seperti biasa terlihat gugup dan mengkhawatirkan segalanya. Gue menyayanginya, sangat, sampai saat ini, walaupun ia sudah bersikap seperti bebek yang menggagu, tapi gue tahu, ia masih Zoe yang dulu.
"Nih, minum" gue menyodorkan segelas lemon.
"Wanna dance?" Uluran tangan gue hany ditepisnya.
"Joy, ma..." Zoe mengeluarkan kata tersebut lagi.
"Sudah berapa kali gue bilang, Zoe. Kata Maaf sudah terlarang di dunia ini. Lo ga boleh terus-terusan minta maaf."
"Gue hanya tertekan. Setelah semua yang ada di penghujung tahun ini, yang gue dapatkan adalah sikap baru gue. Semoga orang-orang senang dengan sikap gue." Zoe memegang tangan gue tetapi pandangannya lurus ke arena dansa.
'Sikap baru lo tidak pernah lebih baik dari sikap yang lama, Zoe.'
"Persetan dengan orang-orang, you know?" Gue memandangnya dan dibalas dengan matanya.
"Kenapa, Joy? Gue bikin suasana gak enak, ya? Ma..." sebelum kata tersebut keluar, gue sudah menutup mulutnya.
Dalam satu hari, semenjak Zoe memelihara insecurity, kata maaf bisa diucapkan sebanyak ratusan kali. Gue tidak bisa memungkiri bahwa faktanya, gue merindukan Zoe yang lama. Yang tertawa lepas dan mengumbar kepercayaan dirinya.
Dan kenyataannya, hanya kepada gue, ia memperlihatkan atelophobianya.
"Lo inget dansa terakhir kita?" Gue mencoba mengingatkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
ATELOPHOBIA
Teen FictionAtelophobia; [ The Fear Of Not Being Good Enough ] Zoe, jangan biarkan setan itu menggerogotimu. Kau sudah sangat hebat di mataku. Hentikan bunyi nyaring dari besi yang kau asah dan mulailah menulis cerita bahagia denganku.