Satu level lagi permainan dinyatakan selesai. Pemuda itu terus berlari mengitari deretan gubuk kumuh yang hampir rubuh, seperti tidak pernah lagi tersentuh tangan manusia selama bertahun-tahun. Memutar senapan yang ia kalungi di tubuh tegapnya yang kotor, ia mulai berjaga-jaga jika ada seseorang datang menyergapnya. Langit mulai gelap menunjukkan tanda sore akan berganti malam dan musuh belum juga menampakkan tanda-tanda..
Berjalan mengendap-endap menempelkan tubuh dengan dinding-dinding rapuh, memasuki sebuah gudang besar perkakas yang berdebu, sisa darah menempel di hampir setiap sudut lantai. Beberapa mayat segar masih tergeletak dibiarkan dihinggapi lalat. Tempat ini baru saja di sambangi para musuh. Pemuda itu mengambil beberapa senjata kecil untuk cadangan di perjalanannya nanti setelah dia selamat, setidaknya dia juga berharap demikian.
Dia semakin menjaga dirinya mengarahkan senjata satu-satunya ke segala arah, tubuhnya membungkuk makin merendah melewati tempat yang tingginya sekitar sepinggang orang dewasa.
Suara pijakan sepatu boots beradu dengan genangan air terdengar semakin mendekat. Saat suara sudah dekat, senapan pemuda itu tidak ada hentinya mengeluarkan amunisi secara bebas ke udara, satu per satu musuh pun tumbang meski akhirnya dia harus mendapatkan goresan di setiap inchi wajahnya.
Namun itu bukanlah akhir dari segalanya, dia harus mendapatkan hal yang paling utama disetiap perjalanan, Kunci Perak, maka dia akan maju ke tahap selanjutnya. Berbalik arah meninggalkan gudang, sesuatu terjadi padanya. Musuh yang lain sudah menunggu di ambang pintu dengan gear besar mengerikan yang mulus tertancap di leher pemuda itu tanpa dia bisa melakukan perlawanan untuk menyelamatkan dirinya.
Semuanya menjadi gelap. Terlahir kembali.
"Bagus. Ini menyebalkan." Julian meninggalkan serangkaian perangkat permainan menuju kulkas kecil di samping meja, meneguk sekaleng soda dingin. Sekolah bukan menjadi pilihan yang baik untuk saat ini, siswa-siswi diliburkan karena kasus penembakan di usia remaja yang sedang menyerang sekolahnya, entah semacam tren atau gaya hidup yang akhirnya menjadi tradisi. Namun mengurung diri di dalam rumah juga bukan pilihan yang baik pula. Julian seakan merasa mati bosan dikelilingi berita payah itu.
Hari ketiga setelah penembakkan atau dua hari lagi sekolah kembali dibuka, jalanan mulai membaik hanya beberapa polisi berjaga-jaga, beberapa lagi diantara mereka hanya berjalan-jalan santai tidak jelas. Setiap pemuda yang melitas diperiksa dari atas hingga bawah seakan mereka adalah salah satu tersangka penembakkan.
Ini sudah kesekian kalinya sekolah meliburkan para siswa-siswi dikasus yang sama empat bulan berturut-turut, dan ini untuk pertama kali sekolahnya menjadi tuan rumah. Sebelumnya sekolah meliburkan karena ingin siswa-siswinya aman dari ancaman penembakkan sekolah lain.
Penjualan senjata api secara legal sudah tersebar luas melalui media online, tidak peduli berapa usiamu, yang mereka inginkan hanya keuntungan dari bocah ingusan dan kesenangan. Tiga bulan yang lalu tetangga Julian, Matt bocah berusia empat belas tahun, meninggal di halaman sekolahnya. Dia menembak kepalanya sendiri setelah sedikitnya menembak sepuluh orang di sekolah, alasannya sangat klasik seperti direncanakan dengan kasus-kasus yang lalu, kecanduan permainan.
"Hanya bertahan di level empat." Pagi pertama di kantin sekolah yang sempit, Julian menarik kursi menempatkan diri di tempat biasa. April meraih kaset gamenya, menggoyang-goyangkan ke udara dengan tatapan mengejek terbaiknya, "Menyenangkan bukan melihat orang yang sebelumnya menyombongkan diri bisa mengalahkan game ini?".
Aiden menyeruput sisa minumannya dan berkata, "Traces Of Reality. Orang-orang menyebutnya 'Game Pemburu Jiwa'. Kalian tahu, game itu telah mengambil banyak akal sehat para pemainnya. Sekali kau memainkannya, boom, kau tidak akan bisa lepas." April memutar bola matanya diikuti cengiran yang di buat-buat.
"Doktrin." Katanya, "semua hanya tipuan dengan embel-embel agar permainan itu laris di pasaran dengan slogan yang terlihat mencekam padahal itu sangat menggelikan. Ya, itu berdasarkan pendapatku tapi Traces Of Reality bukan permainan yang terlalu buruk juga. Dan mereka, hanya sekumpulan orang berimajinasi payah."
"Well, aku berpendapat karena melihat dari beberapa fakta pengalaman mereka yang melakukan tindakan bodoh, pengaruhnya besar juga." bela Aiden.
Julian mencondongkan tubuhnya ke atas meja, menopang dagunya dengan tangan dan berkata, "Kau tidak punya imajinasi, ya? Pembicaraanmu bukan mengarah ke sana.". Gadis itu menyandarkan tubuh kecilnya di badan kursi melipat kedua tangannya di dada. April sadar berargumen dengan sosok manusia seperti Julian menurutnya tidak akan ada kata selesai.
"Imajinasiku tidak seaneh itu" jawabnya cepat.
April tidak mengerti dengan perusahaan permainan yang membuat slogan secara tidak logika bisa merasuki atau mensugesti pikiran para pembelinya. Maksudnya, apa yang mereka gunakan hingga orang-orang diluar sana merasa hidup saat atau setelah memainkan suatu permainan? Padahal sebenarnya tidak nyata namun menjadi nyata dan hidup, peperangan terutama. Karena pengaruh itu sama sekali tidak ada pada dirinya. Baginya itu akan pernah menjadi suatu objek nyata.
Pandangan mereka teralihkan beberapa orang yang masih terisak tangis. Acara doa bersama tadi sungguh menyita air mata siapapun yang menghadirinya.
Dua kursi ditarik ke belakang yang menimbulkan suara dercitan nyaring secara bersamaan diikuti dua orang yang menempati kursi tersebut. Seperti kursi itu telah dirancang sesuai nama mereka. Seorang gadis berambut brunette panjang dan pria bergelang tali warna-warni di kedua tangannya, tidak lupa dengan kemeja yang agak berantakan. Sekolah mana pun pasti melarang muridnya berpenampilan seperti itu.
"Sepertinya ada pembicaraan seru yang kami lewatkan?" itu Lysa, membuka percakapan yang tertunda beberapa detik setelah dia dan Dave datang. Julian menjawab, "Doktrin sebuah game dan teori April."
Lysa memiringkan kepalanya mendekati tempat dimana wilayah April duduk, "Tr-a...Trace... Traces Of Reality? Biklh, aku belum pernah mencobanya."
"Bagus, kita mainkan game ini saat pulang sekolah. Rumahku selalu bisa menjadi destinasi paling tepat." sahut Dave disambut high-five keras Julian dan Aiden. Dave menambahkan, "kalian para gadis, mau bergabung dengan kami?". April tersenyum, menegakkan tubuhnya, "Aku kira ajakan itu termasuk kita semua."
"Tepat."
Hello!!
Oke sebut gue labil dalam cerita because gue udah hapusin semua daftar cerita gue :'). Anyway cerita ini terinspirasi dari film Stay Alive jadi mohon maaf kalo-kalo secara gak sadar ada cerita yang 'agak' mirip.
Vomments nya jangan lupa dan oh, 5-10 stars dulu buat pemula it would be nice :)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ATTACKERS
AdventureMungkin iya, mungkin April salah tapi sebelumnya dia berkata bahwa imajinasi dengan halusinasi adalah dua hal yang berbeda. Hal ini selalu menjadi bahan perdebatan antara April dan Julian, Julian menganggap bahwa April orang yang tidak punya imajina...