Kring...! Kring...! Kring...!
"Permisi! Awas!" teriak sebuah suara. "Rem blong! Permisi, permisi!"
Orang-orang segera menepi ke bahu jalan. Beberapa milidetik kemudian, seorang gadis dengan sepeda berwarna merah mencoloknya melaju dengan sangat kencang melewati orang-orang yang sibuk memperingatkannya agar berhati-hati.
"Hei, pelan-pelan saja! Kau ingin menghancurkan pasar ini, ya?!" seru salah seorang wanita tua yang tas belanjaannya hampir tertabrak oleh gadis tadi.
Namun gadis itu sudah tak tampak lagi di ujung jalan. Ia sudah beberapa meter terpisah dari pasar dan kini laju sepedanya sudah melambat. Ah, itu dia gerbang putih yang rupanya menjadi tujuannya. Untunglah gerbangnya belum ditutup! batin gadis itu.
Dinda mengayuh sepedanya pelan melewati gerbang putih itu. Sebuah gedung berdiri tinggi menjulang di hadapannya. Itu adalah SMA tempat Dinda menimba ilmu selama dua tahun terakhir ini.
Setelah memarkir sepedanya di samping gedung sekolah, Dinda berlari-lari kecil menuju ruang kelasnya yang berada di lantai dua.
"Ah, sepi sekali," pikir Dinda ketika ia melewati koridor menuju kelasnya. "Pasti aku terlambat lagi."
Dinda mempercepat langkah kakinya. Lima langkah lagi... empat, tiga, dua... langkah kaki Dinda terhenti. Pintu kelas di hadapannya tertutup. Dari dalam tak terdengar apapun kecuali suara berat Mr. Selvy yang sedang menerangkan rumus-rumus Fisika yang bagi Dinda hanyalah sederet angka dan huruf konyol.
Takut-takut, Dinda mengetuk pintu tiga kali lalu membukanya sedikit. Mr. Selvy berhenti menerangkan rumus dan mengalihkan pandangannya ke arah wajah innocent Dinda yang mengintip dari balik pintu.
"Selamat pagi, Dinda, pahlawan kesiangan," ujar guru Fisika tersebut sambil tersenyum manis penuh arti. "Sudahkah kau siap mendapatkan hukuman untuk keseratus kalinya?"
Di balik pintu Dinda meringis. Ia tahu apa arti senyum Mr. Selvy -- ia sudah beberapa kali mendapatkan lontaran senyum "manis" dari guru sekaligus wali kelasnya itu.
"Siap, Mr." jawab Dinda takut-takut.
Hukuman apa yang akan diberikan Mr. Selvy padanya? Mr. Selvy selalu memberi hukuman yang berbeda dan tak terduga. Pernah suatu ketika Mr. Selvy memberi salah seorang teman Dinda hukuman menulis 'Saya tidak akan membuang sampah sembarangan lagi' dalam lima bahasa; Inggris, Jepang, Cina, Spanyol, dan Prancis sebanyak masing-masing sepuluh baris. Di waktu lain, pada kasus yang sama, hukuman yang diberikan adalah memunguti daun-daun yang berguguran dari pohon satu per satu tanpa menggunakan sapu.
Namun rupanya kali ini Mr. Selvy tampak sedang kehabisan ide. Setelah berpikir selama beberapa detik, ia lalu berujar, "Tidak mengikuti pelajaran saya pada pagi ini."
Tanpa ba-bi-bu, Dinda mengangguk dan langsung menutup pintu kembali. Tak ada gunanya membantah perintah Mr. Selvy.
Ah, tapi ada baiknya juga sekali-sekali tidak mendengarkan penjelasan rumit Mr. Selvy mengenai sederet rumus Fisika, pikir Dinda. Ia lalu memutuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah dan melanjutkan membaca novel yang baru ia baca setengah buku malam sebelumnya.
Taman belakang sekolah memang menjadi tempat favorit anak-anak untuk menghabiskan waktu istirahat selain kantin. Ada yang hanya duduk sendiri sambil meratapi nasib, ada yang membantu tukang kebun sekolah menyiangi bunga-bunga yang tumbuh di taman, bahkan ada yang menggunakan taman sekolah untuk berlatih sandiwara ketika taman sedang sepi. Di SMA tempat Dinda bersekolah memang ada ekstrakurikuler teater dan tiap akhir tahun diadakan operet sebagai acara pergantian tahun.
Taman itu sepi. Hanya ada tukang kebun sekolah yang sedang menyiangi tanaman, tetapi selain itu tak ada yang sedang berada di taman. Di tengah taman ada kursi panjang yang indah dan nyaman tempat Dinda biasa meluangkan waktu istirahatnya untuk membaca novel. Setengah berlari, Dinda menembus pohon-pohon di tepi taman menuju kursi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry To Leave [EXO Fanfiction]
FanfictionDinda hanya seorang gadis normal berusia 17 tahun yang hidup di Seoul bersama kakaknya, dengan normal. Hidupnya selama ini selalu normal, tapi apa iya akan selamanya begitu? Dinda berharap hidupnya selalu normal, namun takdir berkata lain. Bertemu d...