part 2

21 0 0
                                    

Jaringan intel dari sudut-sudut kelas menyerupai detektif yang hanya sedetik melirik akan mengetahui apa-apa yang menjadi titik masalahnya. Aku akan menjadi korban ketika aku sadar Ruth, siswi cerdas dan paling suka ikut campur urusan orang datang menghampiriku.

“ Eh, coba deh gambar sosok yang kamu kagumi.”

“ Siapa?”

“ Kok malah nanya? Ya cuma elolah yang tau secara cuma lo di kelas ini yang belum kena endusan intel gue.”

“ Tampak belakang?”

“ Yaudah deh lama... lo ah.”

10 menit kemudian aku selesai dengan gambar yang aku buat sempurna untuk diriku sendiri, And see? Perempuan itu merampas buku gambarku kasar.

“ Kenapa diperhatiin gitu banget?”

“ Kayaknya aku sering liat ini orang, tapi dimana ya? Sekolah sini nggak sih.” Aku hanya diam.

“ Ah! Kalo dari gaya rambutnya sama lehernya, kayak si Dyta. Iya! Dygta.” Aku was-was seketika meskipun aku tetap memasang tampang polos.

“ Ih kenapa Dygta.. Meleset banget.” Meleset banget benernya!

“ Yah elah, salah lagi. Anjir susah banget ngendus rahasia lo!” Ruth Cemberut kemudian pergi begitu saja.

 Lega sekaligus bersyukur karena Ruth tidak lagi mendesakku. Setelah membenahi perlengkapan gambarku, aku memilih keluar dengan hati yang tenang namun gusar. Jelas saja, kalau Ruth bisa menebak Dygta bahkan dari tampak belakangnya saja berarti Ruth yang notabennya tidak sekelas saja memerhatikan cowok itu, bagaimana yang lainnya? Dengan langkah gotai aku berusaha melangkahkan kaki ke tempat dimana aku bisa menemukan sosok Dygta, walapun terkadang hanya untuk mencuri pandang ke arahnya sambl lewat, sekedar memastikan dia ada di sana.

“ Dygta ada?” Melihat ketidakhaadiran Dygta aku jadi penasaran dan memilih bertanya pada salah seorang diantara warga kelas 11-IPA-2.

“ Tadi sih dia bilang mau ke kelasnya Tira.”

“ Kelasnya di mana? 11-IPA-1??” Tanyaku sok tahu, karena memang yang aku tahu patner Dygta selalu kelas 11-IPA-1 yang letak kelasnya di gedung sebrang-khusus-

“ Bukan!di 10-1 kak.”

“ Kelas 10?” Aku mengerenyit.

“Masih kelas sepuluh?”  Ini modus apa lagi yang dia buat??

“ Iya kak.”

“ Oh makasih deh ya.”

Aku bersegera menuju gedung kelas 10 yang memang karena umlahnya lebih banyak dipisah dari kelas yang lainnya. Aku melihat sosok Dygta dari balkon sebrang, ia dikelilingi banyak cewe kelas 10. Ada yang teriris, ada yang sakit, ada yang hilang. Tidak! Ini tidak berlebihan. Aku tidak pernah sedekat itu dengan Dygta, bergelayut manja! Menel dasar! Aku tak bisa meneruskan rintihan ini cukup pada batinku, aku bisa berontak. Kini aku mentap sendu kearah mereka, aku hanya berharap bel tanda istirahat usai berbunyi agar Dygta bisa pergi dari perkumpulan laknat itu.

“ Kak Dygta, udah mau selesai nih istirahatnya..”

“ Yaudah entar istirahat siang gue ke sini lagi.”

“ Bener ya kak? Masih banyak bahan yang harus di omongin lagi!”

“ Iya.” Dygta tersenyum manis dengan lesung yang dalam. Tulus. Berkarisma.

Melihat senyumnya tersungging secara sempurna untuk perempuan-perempuan itu hatiku iri tapi.. hanya aku yang tahu. Tidak untuk orang lain bahkan Dygta sekalipun yang memang menjadi objek penting pada perasaan ini.

Aku tahu Dygta tidak ingin menyakitiku hanya saja ia terkesan cuek dan tidak mau tahu tentang aku. Dia hanya cukup peduli lewat pembicaraan di telfon, itupun jarang! Dia milikku saat sms-sms nya masuk ke handphoneku setiap jam bahkan menit. Tidak lebih dari itu. Harus diam atau bertindak? Aku tidak memilih tapi dipilihkan bahkan diharuskan memilih ‘diam’ karena yang semua orang tahu Dygta tidak terikat oleh perempuan manapun dan mereka memiliki hak untuk mendapatkan perhatian Dygta.

Skrg ada di gedung kelas 10. ngapain di sini?

Aku bertindak dalam diam, hanya ingin memastikan. Wajar bukan? Dia pacarku jadi aku punya sedikit hak untuk mengikatnya. Apalagi dia salah satu makhluk paling tenar di seantero sekolah. sudah sepantasnya aku selalu memberikan kepedulian tentang –kedekatannya- dengan beberapa cewek, bahkan tidak hanya di sekolah.

Di mana? Lagi ngomong sama anak kelas 10. Seru! Ke sini aja.

Aku diam. Aku kaget dengan pesan singkat yang baru saja aku terima. Bukan Dygta yang membalasnya.  Aku melihat handphone Dygta ---yang punya ciri khas gantungan ‘Huruf XD’ yang aku berikan di anniv satu tahun kami, dua minggu lalu---berada di tangan salah satu anak di perkumpulan itu yang terlihat paling lenjeh, caper, dan centil. Saat itu pula aku marah dan aku sudah tidak bisa lagi diam. ini soal privasi dan etika. Terlebih kalau dia tahu siapa yang tadi dia balas smsnya. Lebih parahnya Dygta membiarkannya padahal aku tidak sama sekali boleh menyentuh privasinya. Aku kecewa.  Ternyata privasi itu hanya alasan untuknya bukan prinsip!

“ Dygta! Dipanggil Bu Egia di kantor. Keliatannya penting.” Aku menghampiri perkumpulannya dan menatap sinis ke arah mereka tanpa terkecuali Dygta. Semua anak kelas sepuluh tertunduk dan tak ada yang berani mengangkat wajahnyakecuali si perebut privasi Dygta tadi sedikit melirik ke arahku. Punya nyali juga dia.

“ Bu Egia?” Dygta bingung.

“ Udah sono samperin!!” Aku sedikit membentak.

“ Yahhh...” Perempuan yang tadinya tertunduk serempak kecewa saat Dygta sedikit menjauh untuk pergi.

“ Yaudah, kakak pamit ya. Sorry banget.” Dygta canggung. Perempuan yang tadi menanggalkan privasi Dygtapun mengembalikan handphone Dygta. Aku muak! Segera aku meninggalkan tempat tersebut dan Dygta berjalan di belakangku. Sampai di bibir tangga, Dygta mengamit lenganku halus. Menghentikan langkahku.

“ Yakin Bu Egia manggil?” Aku menggeleng pelan.

“ Terus kenapa?”

“ Aku..”

“ Kenapa???” Aku tahu Dygta marah diganggu waktunya, tapi dia berusaha menahannya sebisa mungkin. Aku tahu. Dan itu makin membuatku tersudutkan dengan tindakanku barusan.

“ ....” Aku masih diam, mengatur napasku yang mulai tak karuan.

“ Jawab!!”

“ Aku.....”

“ Cemburu? Jeles? Aku bilang kan... jangan di sekola. Jangan ganggu..” Aku mengangkat tangan kananku-tanda untuk memintanya diam- dan masih membelakangi Dygta.  

“ Aku tadi sms kamu, tapi yang bales salah satu dari cewek di situ. Aku ngerasa nggak adil aja. Mati-matian kamu jaga privasi kamu dari aku tapi untuk cewek lain kamu bisa seterbuka itu. Bahkan sampai ngelanggar etika dan lancang kayak gitu kamu biarin aja. Terus apa artinya aku? Nggak ada kan??” Aku menarik lenganku dan bergegas meningglkannya. Aku sudah sangat muak.

“ Xila..” Parau aku dengar panggilan itu tapi tetap aku berlari meninggalkan Dygta.

Ada bagian yang tidak bisa kau sentuh dengan logika bahkan hatimu,kesakitan dan rasa kecewa ketika seseorang yang berharga untukmu lebih bisa terbuka dengan orang lain dibanding dirimu sendiri.

*****

TerselubungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang