Namaku Rei, aku adalah anak berusia 15 tahun yang hidup bersama dengan anak-anak jalanan di rumah kecil di bawah jembatan layang kota metropolitan yang megah. Untuk menyambung hidup aku bekerja di sebagai pengamen jalanan, aku mengumpulakan uang sedikit demi sedikit untuk membeli sesuap nasi. Secara fisik aku terlihat seperti anak jalanan lainnya yang berusia sama, aku bertubuh tidak begitu tinggi, berkulit coklat, bermata hitam, berambut agak merah, dan lain sebagainya, tetapi membedakan hanya satu aku memiliki sebuah kutukan yang membelengguku selama sejak aku berusia 12 tahun. Kutukan yang di dapat dari Ayah ibuku yang sudah pergi meninggalkan dunia ini karena usia dan sakit, padahal aku sangat menyayangi mereka berdua.
Angin malam berhembus sangat dingin malam ini, dinginnya hingga menusuk tulang belulangku. Nyamuk-nyamuk yang berterbangan di sekitar kepalaku terasa sangat bising di telingaku. Malam ini aku harus pergi tidur di luar rumah karena aku kurang dalam memberikan jatah storan hasil ngamenku kepada preman-preman penguasa kolong jembatan ini. Ingin rasanya aku membantai mereka, kemudian kubuang mayatnya ke rel kereta api agar terlindas kereta. Tapi aku tidak mau melakukannya karena preman-preman tersebut selalu mengancam akan menyiksa teman-temanku apabila aku melawannya.
Keesokan paginya.
“Byuuuurrr…” suara air tumpah.
Segayung air mengguyur tubuhku membuatku tersentak kaget dan sekaligus membuatku terbangun dari tidurku.
“AYO BANGUN ANAK SETAN !!!,” teriak salah seorang preman sambil bertolak pinggang.
Dengan sedikit malas aku bangun dan berdiri lalu menatapnya dengan tajam, ingin rasanya aku menghajar mukanya yang jelek dan menyebalkan. Tapi lagi-lagi niat itu kuurungkan. Beberapa meter di belakangnya berdiri seorang gadis kecil berpakaian daster kumal dan Kedua tangannya yang mungil memegang sebuah okulele. Aku tersenyum melihatnya.
“PLAAAKKKK…..!!” sebuah tamparan keras mendarat di pipiku.
“Hei… kamu malah diam saja, cepat kerja. Dan bayaran kali ini harus 2x lipat lebih besar.” Ucapnya.
“Ya,” jawabku singkat.
Kemudian aku pergi menghampiri gadis kecil tersebut, dan menyapanya.
“Hei, Mira. Hari ini kamu mau ngamen di mana ?,” tanyaku.
“Nggak tau kak, Mira juga bingung, mau di perempatan udah ada yang make, klo naik metromini, Mira masih takut kak,” ucapnya polos.
“Ikut kakak aja yuk, kita ngamen di kereta,” ucapku.
“Di kereta ?, “ tanyanya.
“He eh, sekarang kan hari minggu pasti banyak penumpangnya,” ucapku sambil mengangguk-angguk.
“Tapi Mira takut kak, Mira kan belum pernah ngamen di kereta,” ucapnya.
“Tenang aja kan ada kakak,” ucapku sambil menepuk dada kiriku dengan tangan kananku.
Hari itu aku pergi mengamen di dalam kereta api bersama Mira, gadis kecil yang selama ini aku anggap sebagai adikku sendiri. Dan aku selalu menjaganya, membelanya dan menyayanginya. Kami berdua mengamen hingga sore dan saatnya untuk menghitung penghasilan kami.
“Seratus..dua ratus..tiga ratus… lima ratus…seribu..,” kami berdua menghitung-hitung.
“Kakak, klo di bagi dua hasilnya tetep kurang kak, gimana nih ?,” tanyanya.
“Ini ambil aja sebagian punya kakak,” ucapku sambil memberikan sebagian storan miliku.
“Nggak ah kak, nanti kakak tidur di luar lagi,” ucapnya.
“Tenang aja, nggak apa-apa kok,” ucapku menenangkannya.
Dengan storan yang seadanya, aku dan Mira pulang ke rumah tempat kami berkumpul. Saat aku tiba di sana ternyata anak-anak lain sudah berkumpul di halaman rumah menunggu para preman tersebut keluar dari rumah. Tak lama preman yang biasa menagih storan kamipun keluar dari rumah, tapi di temani oleh seseorang pria berpakaian bagus, tubuhnya tegap dan berisi, rambutnya panjang, serta memakai kaca mata hitam. Dia membuka kaca matanya dan terlihatlah wajahnya yang tampan dan bersih, kemudian dia menoleh kearah kami semua dan tatapannya berhenti kearahku dan Mira. Lalu dia berbisik kepada preman yang biasa menagih setoran, Preman tersebut mengangguk-angguk saat orang itu membisikinya. Aku tidak tahu apa yang di bisiki kepadanya, tapi aku merasa hal yang buruk akan terjadi padaku pada Mira. Kemudian orang tersebut pergi meninggalkan tempat kami semua, dan penagihan storanpun di mulai. Satu persatu memberikan storannya, ada yang mendapatkan senyuman dan ada juga yang mendapatkan tamparan. Dan saat aku hendak memberikan storan, Mira menarikku mundur.