I'm in love. He's in love. We're in love

117 0 0
                                    

Aku masih menatap lurus kearah dosen. Berpura-pura memperhatikan setiap kata-kata dalam bahasa asing yang keluar dari mulutnya. Dulu, aku selalu menyukai pelajaran Bahasa Inggris. Mungkin sekarang juga masih. Tapi beberapa bulan belakangan ini, tepatnya ketika statusku sebagai mahasiswi dimulai, banyak hal yang mulai tidak lagi begitu penting untukku.

Aku melirik Tom.

Dulu, aku selalu suka menghabiskan malam bersama beberapa teman-temanku, hanya untuk sekedar nongkrong di cafe atau dirumah salah seorang teman yang lainnya. Membicarakan terlalu banyak hal yang tidak begitu penting, hanya untuk membuang waktu, menghabiskan istilah yang kupakai saat itu. Lalu aku juga sangat menyukai jalan-jalan siang atau sore di mal, menonton beberapa film, atau hanya sekadar melihat-lihat isi toko untuk mencuci mata.

Aku melirik Tom lagi.

Siangku sekarang tidak lagi seperti itu. Aku lebih banyak mengabiskan siang dikampus. Mengerjakan tugas bersama beberapa teman. Soreku kuhabiskan untuk beristirahat di kamarku, kebanyakan sambil membaca novel, atau mengerjakan tugas. Dan malam adalah waktuku bercinta dengan laptop. Mengejutkan betapa kehidupan baru ini sangat banyak mengubah hidupku, bahkan waktuku bersama Tom rasanya sangat berkurang. Aku membenci bagian terakhirnya.

Aku melirik Tom lagi. Kali ini ia melirik balik kearahku. Jantungku berdegup terlalu cepat.

Lagipula teman-temanku dikampus sangat jauh berbeda dengan teman-teman masa SMA-ku. Menurut pengamatanku, dan beberapa pengalaman tak terduga yang kualami, kebanyakan dari mereka tidak baik untuk terlalu didekati. Tidak, bukan maksudku mengatakan bahwa teman-teman kampusku lebih baik dari teman-teman SMA-ku, mereka jauh lebih cool jika aku membandingkan fashion yang mereka kenakan. Dan mereka baik, memang selalu baik dan ramah. Namun jika aku mengingat beberapa kejadian bulan-bulan ini aku mendapat kesan bahwa mereka sedikit nakal.

Seperti awal bulan lalu ketika aku mampir ke kosan Sophia, aku mengetuk pintunya dan terkejut saat mendapati Adam lah yang membuka pintu. Aku terkejut karena: Pertama, ini adalah kos khusus untuk puteri, bagaimana mungkin Adam bisa masuk kedalam kamar Sophia? Kedua, aku dapat melihat Sophia melewati bahu Adam, tersembunyi sambil tersenyum malu dari bawah selimut yang menutup seluruh tubuhnya kecuali kepalanya. Ketiga, Adam sendiri yang berdiri santai menyambutku dengan senyum dan ia setengah telanjang, hanya mengenakan boxer yang sangat kusut. Dan keempat, Adam adalah kekasih sahabat Sophia.

Lalu kejadian berikutnya yang terjadi beberapa hari setelah tragedi Adam dan Sophia. Aku sedang menonton film di bioskop bersama sepupuku. Dan ketika film memulai adegan yang sedikit sensasional, sepupuku menyenggol lenganku dan melirik kearah bangku disampingnya, aku langsung mengikuti arah tatapannya dan aku mendapati Erina, walaupun dalam kegelapan aku tau benar itu adalah Erina dari baju yang ia kenakan dan model rambutnya serta bentuk tubuhnya, sedang berciuman dengan seseorang yang aku tidak bisa melihatnya. Dan aku berani bersumpah, tangan pria itu menulusuri bahu Erina, nyaris seperti merangkul, namun ujung tangannya menyentuh... Ya Tuhan! Aku teringat kembali mimpiku semalam.

Aku tidak tahan untuk tidak melirik Tom lagi kali ini.

Kurasakan pipiku memerah. Aku merasa malu meskipun tidak seorang pun dapat mendengar semua percakapan antara aku dan diriku sendiri didalam otakku. Dan tidak seorang pun dalam kelas ini dapat melihat gambaran-gambaran mimpiku semalam yang begitu memalukan.

Jantungku berdegup terlalu cepat. "Wid? Wid? WIDIIIIIIIIIII....." Aku mendengar suara yang begitu rupawan ditelingaku. Kualihkan tatapanku. Dan aku mendapati wajah pemilik suara rupawan itu. "Apaan sih Tom? Gak usah teriak kan bisa." Sadar, aku seharusnya memilih kata yang lebih halus dan baik untuknya. "Abis kamu ngelamun terus. Ayo makan. Aku teraktir deh aku lagi seneng banget." Ia mengajakku sembari memberikan senyum paling indahnya untukku. Kelas ternyata telah selesai. Aku menyerah berpura-pura tidak peduli dan hanya tersenyum lalu mengikutinya keluar kelas.

"Kenapa sih emang? Seneng banget kayaknya." Aku menanyainya. "Nanti aja deh pas lagi makan, biar surprise." Sambil mengatakannya, ia memberikanku senyuman lagi. Ya Tuhan, betapa banyak senyuman yang ia berikan hari ini.

Ia lalu membicarakan tentang band kesukaan kami, "Nonton kan Ustreamnya kemarin?" Tanyanya. "Iya dong. Aah Jack-nya ganteng banget." "Ganteng? Boleh lah. Tapi aku lebih ganteng kali Wid. Iya kan?" Ia menggodaku dan demi Tuhan betapa aku ingin sekali menjawab "Iya. Kamu orang paling ganteng dibumi ini. Mata kamu jauh lebih indah daripada mata Jack. Suara kamu lebih merdu. Kamu sempurna. Sangat sempurna." Tapi alih-alih menjawab seperti itu, aku malah menyenggol lengannya sambil membantah tegas pertanyaannya.

Betapa lelahnya aku berpura-pura tidak menyukainya. Aku jelas menunjukkan aku menyayanginya, dan ia pun sebaliknya. Kami seperti kakak-beradik yang memilik banyak kesamaan.

Beberapa langkah setelah itu kami berbelok, dan Erina berdiri disana. Ia memang selalu terlihat cantik, selalu menjadi favoritku. Tapi itu dulu sebelum kejadian di bioskop itu.

Lalu sedetik kemudian, jantungku berhenti berdetak.

Waktu berhenti.

Dunia berhenti berputar.

Udara kosong.

Aku tidak bisa bernafas.

Dibalik kelopak mataku, aku merasakan cairan yang menjerit-jerit ingin keluar.

Heavenly Hell (Indonesian version)Where stories live. Discover now