You Could Be Happy

10.9K 460 116
                                    

Bel kecil yang menggantung di pojok kusen berdenting. Lagi-lagi daun pintu mengusik keheningan kafe, dengan sengaja menyenggol bel itu agar mengabarkan kedatangan pengunjung. Kaca-kaca jendela sudah tampak bersemangat. Badannya yang bening berkilat disapa matahari, pun dari situ dikabarkannya langkah-langkah kaki yang mulai mendekat.

Sepagi ini orang-orang sudah biasa memenuhi kafe. Aku tersenyum memandangi mereka, mengangguk sopan saat kakek di meja pertama melempar salam kepadaku. Sementara bel terus berbunyi, senyumku merespon kecewa apa yang berdatangan dari balik pintu. Sayangnya bukan kamu yang datang.

Ah ... bagaimana kabarmu?

You could be happy and I won't know,
But you weren't happy the day I watched you go...

Tertawa kecil, aku memasukkan gula ke dalam adonan pancake di hadapanku. Tentu saja, kamu pasti bahagia di luar sana. Mungkin aku saja yang tidak tahu. Kuaduk perlahan adonan itu sambil berharap rasanya sudah manis, seperti doaku untuk kehidupanmu sekarang.

Namun siapa yang tahu? Mungkin hidupmu tidak semanis itu. Mungkin saja kamu tidak bahagia, dan bagaimana mungkin aku akan tahu? Kamu pergi. Aku hanya diam melihatmu.

And all the things that I wished I had not said
Are played in loops 'till it's madness in my head

Sering aku memikirkannya. Wajah murammu atau sakit yang berbisik dari isak tertahanmu. Kadang aku pun memikirkannya. Untuk semua yang seharusnya tidak terucap, aku menyesal mengucapkannya.

Pasti sakit, ya? Seperti tiap kali aku meresapi semua yang kembali memenuhi kepala. Frustasi, ingin rasanya aku mengulang kembali. Ingin rasanya aku kembali padamu. Aku terkekeh kecil. Iya, sayangnya tidak pernah ada ralat 'kan?

Is it too late to remind you how we were,
But not our last days of silence, screaming, blur

Aku mengocok krim setelah mengangsurkan adonan tadi pada yang lain. Entah bagaimana, pikiranku melayang pada hari-hari lama kita. Di kafe ini, pernah kudengar tawamu menyambut tamu pertama. Bahu-membahu kita berusaha menyajikan kue manis dan kopi hangat setiap hari. Kamu mengurus krim, aku membalik pancake. Kamu dengan senyum yang memikat, sedang aku diam-diam terpikat.

Mungkinkah kamu ingat? Resep-resep rahasia kafe yang pernah kita racik bersama atau mungkin kecupan-kecupan kecil yang berhasil kucuri setiap pagi. Bukan, bukan saat-saat menyakitkan itu. Bukan saat aku menjerit keras kepala dan mengaburkan semua emosi di antara kita.

Most of what I remember makes me sure,
I should have stopped you from walking out the door

Ah, bodoh ya? Kenapa dulu aku tidak menghentikanmu pergi? Padahal terlalu banyak hal yang tidak sanggup kuingat tanpa kembali memikirkanmu. Dan sekarang ketika kehilangan, aku baru merasa takut. Bagaimana jika ternyata aku tak bisa lepas dari bayanganmu?

You could be happy, I hope you are,
You made me happier than I'd been by far

Kakek tua yang duduk di meja itu kadang suka menanyaiku. Sambil terkekeh iseng, dia menyebutku telah kehilangan nyawa dari setiap kocokan krim. Apa benar begitu? Padahal kupastikan manisnya tetap, toh tak pernah lupa kuselipkan rasamu yang selalu menjadi nyawa masakanku.

Pagi ini, kakek itu mempertanyakan keabsenanmu. Aku berusaha tertawa renyah, menjawab ala kadarnya perihal keberadaanmu. Yang jelas di mana pun dan bagaimana pun kamu sekarang, aku harap kamu bahagia menjalani hari sambil menyungging senyuman cerah.

"Lalu bagaimana? Kamu nggak sedih ditinggal pergi?" Kakek itu meneguk kopinya lagi, kemudian tertawa sambil mengangkat cangkir. "Ah ... aromanya masih manis, masih hangat seperti dulu."

Aku ikut tertawa. Tentu saja, sesederhana aku mengingatmu, maka tak akan ada rasa yang berubah. Apalagi semenjak kehadiranmu dalam duniaku, hari-hariku terasa lebih ringan. Hidupku telanjur diwarnai dengan warna-warni cerah olehmu, yang bahkan tak juga pudar setelah kamu tak lagi bersamaku.

Somehow everything I own smells of you
And for the tiniest moment it's all not true

Sekelompok mahasiswa memesan kopi dingin dan beberapa kudapan lain. Aku berjuang mengabaikan harumnya, berusaha tersenyum dan dengan cekatan melayani tamu. Ya, memang sesusah itu untuk sekadar mengenyahkanmu. Apalagi saat berada di kafe ini. Bernapas pun, aku mengingatmu. Seratus persen udara di sini, menyimpan rindu akan aroma vanilla yang menguar darimu.

Aku menghela napas panjang, menghisap sebanyak mungkin vanilla yang keluar dari sajian yang harus segera kupercantik. Kuambil daun mint dan potongan buah stroberi. Lalu, serta-merta aku mengingatmu. Terdengar kembali omelanmu tentang selera garnish-ku yang payah. Terasa lagi jemari kecil yang mencubit lenganku, mengusirku dari pekerjaan ini. Aku menghela napas panjang. Aku harus segera sadar dari semua lamunanku.

Do the things that you always wanted to,
Without me there to hold you back,
Don't think, just do

Usai menyelesaikan beberapa pesanan, aku menyempatkan diri menikmati porsi kopi hitamku hari ini. Pahit memang, tetapi aku selalu menyukainya. Kalau diingat-ingat, selepas kepergianmu, aku jadi sangat sering meminumnya. Apalagi kamu tidak lagi ada untuk melarangku melakukan ini-itu.

Aku menyesap kopiku lagi, menikmati kafein mengisi tempat kosong yang kamu tinggalkan. Membiarkannya masuk, terurai, lalu menguatkan kesadaran akan apa yang harus kujalani saat ini. Aku tak menampik, kepergianmu memang memberi lebih banyak kebebasan untukku.

Ah, apa mungkin hal ini yang menguatkan keputusanmu saat itu? Jika benar begitu, kuharap kebebasanmu saat ini masih cukup untuk menghabiskan masa muda tanpa penyesalan. Seperti halnya aku yang tengah berdiri tanpamu, semoga kamu pun menikmati hidupmu dan terus melangkah maju.

More than anything I want to see you, girl
Take a glorious bite out of the whole world

Jam istirahat karyawan belum juga usai, tetapi bel sudah kembali berdenting. Lekas-lekas aku bangkit, menanti siapa yang akan muncul dari balik pintu. Sayangnya masih bukan kamu.

"Cappucino satu sama cheese cake ya, Mas?"

Aku tersenyum kecil, segera bertindak untuk menyelesaikan pesanan. Sedikit kecewa memang, lagi-lagi bukan kamu yang datang ke sini. Namun tak apa. Lagipula aku hanya ingin melihatmu, dan ... kebetulan sampai sekarang ingatanku masih sangat jelas mempertontonkan kita.

Sambil mengangsurkan pesanan, aku melirik televisi yang diletakkan di sudut kanan depan kafe ini. Aku menahan senyum geli. Kadang-kadang aku berharap bisa menontonmu dari sana, ikut senang jika memang sekarang kamu telah berhasil dengan hidup yang kamu jalani sendiri.

Bagiku, yang terpenting kamu bahagia. Karena dengan begitu, biar rindu pun, aku akan merasa lebih lega menjalani hariku. Jika hidupmu berjalan dengan benar, maka aku tak perlu lagi cemas. Karena lebih dari semua hal soal kehilanganmu, aku akan ikut senang jika sekarang kamu bahagia.

Bel kembali berdenting dan masih bukan kamu yang hadir mengunjungi kafe ini. Aku menelan mentah kecewa. Membiarkanmu pergi dan bebas dariku, ikut berbahagia jika sekarang kamu bahagia menjalani hidup tanpa aku ... rasanya tidak mudah. Apalagi sampai sekarang aku belum melihatmu lagi. Tak apa jika kehidupan sudah lebih baik sekarang. Masalahnya, bisa saja kamu tidak bahagia dan aku tidak mengetahuinya.

-FIN-

A/N:

Ditulis untuk menunaikan tugas dari penulismimpi, ahaha. :))

Semoga tulisan ini tidak merusak keindahan "You Could Be Happy" milik Snow Patrol dan semoga menyampaikan kedalaman liriknya. Curhat sedikit, aku baru dengar lagu ini kemarin dan langsung jatuh cinta dengan keseluruhan lagu ini; simple tapi maknanya dalam (menurutku).

Oh ya, di Youtube aku nemu video animasi tentang lagu ini. Di-play ya! Semoga semakin merasuk ke dalam hati pembaca sekalian. Ehehe. ^^

You Could Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang