Story 2

98 2 1
                                    

-pov Amaya

Aku bangun kesiangan dan panik mendapati telepon genggamku yang ternyata kehabisan daya. Aku melirik jam di nakas dan meloncat bangun. Aku panik.

"IBU! MBAK HOLLANDA!! KOK AKU GAK DIBANGUNIN SIH?!!"

Farah dan Farhan membuka pintu kamarku, "Mami kan dari tadi udah di goyang-goyang eyang, kok masih teriak-teriak sih mi?"

"Ah engga ah.. Kamu bercanda kan sayang?"

"Engga Mi. Eyang sekarang ke pasar trus tadi Mama nganter kak Leo sama kak Virga ke sekolah."

"YA AMPUN AKU HARUS MANDI SEKARANG!" aku kalang kabut buat mandi. Lari-lari mengambil handuk dan segera masuk kamar mandi.

"Ih Mami kayak orang liat kebakaran ya Han." bisik Farah.

"Biarin aja kak."

Selama sepuluh menit menyegarkan diri di bawah shower, aku keluar. Aku merutuki diriku sendiri yang tidur terlalu malam bahkan bisa dibilang gak tidur. Berangkat ke rumah sakit bagai berlomba di arena balap. Aku tau kalo banyak orang yang klakson tapi apa boleh buat. Bonus bangun kesiangan di Jakarta adalah kena macet. Jadi mau diikhlasin susah, biasa aja juga gak bisa.

Terjebak macet adalah mimpi buruk. Lebih buruk lagi, waktu tau kalo aku sendiri lupa ada operasi jam 8 pagi. Sekarang sudah jam 8 lewat 5 menit. Telat datang untuk operasi adalah kesalahan fatal. Nyawa orang bisa jadi gak selamat. Parahnya, ini nyawa anak kecil, para malaikat kecil yang belum begitu paham apa itu dosa dan membedakan yang baik dan buruk. Mobil ini seperti tidak lagi memiliki harapan ditengah padatnya lalu lintas. Kemudian, aku memilih parkir di tempat terdekat dan berlari ke rumah sakit yang sudah tidak jauh lagi.

Memilih memakai sepatu tinggi adalah mimpi buruk. Kini, aku berlarian di trotoar dengan sepatu tinggi 8 cm dan resiko besar. Aku tidak pernah tau apa yang mungkin akan terjadi dengan berlari seperti ini. Aku menggerutu.

"Pagi-pagi udah banjir. Baju gantiku di mobil semua lagi." aku melirik kearah arlojiku dan tercengang. Ini hampir 8 lewat 15 dan aku belum sampai. Kupercepat lariku dan segera menuju ruang operasi.

Aku mendobrak pintu ruang operasi dan bertemu Amy, suster yang biasa membantuku. Amy menatapku bingung dan disebelahnya, dokter Andika menatapku tajam. Aku sangat tau kalau keterlambatanku salah, tapi aku sebenarnya kan tidak ingin terlambat. Hanya orang-orang tanpa pekerjaan yang rela membuang waktu mereka. Aku melihat Amy bergegas menghampiriku.

"Ya ampun buuu... Lo gimana sih bisa sampe telat kayak gini? You know what?! Ini udah 15 menit. Bisa mati pasien kita." kata Amy seraya memasangkan jubah operasi.

"Am, I really not mean it. It's an accident. Hape gue kehabisan daya dan alarm gue akhirnya gak ada."

"Gue masih bisa ngerti kondisi lo ya, tapi jangan harap dokter Andika bakal kayak gue. Dia udah bolak-balik resepsionis buat minta dokter pengganti. Then now you're here and late."

"Am, biarin gue hadepin si sombong itu. Sekarang gue harus fokus operasi dan gak ngomong lagi sama lu." Aku berusaha memfokuskan diri dan bergabung dengan tim. Dokter Andika masih menatap tajam dan ditambah tatapan intimidasinya, "Bagaimana bisa dokter seprofessional kamu terlambat dan bekerja di sini." katanya menyindir.

"Dokter Andika yang terhormat, mohon maaf sebelumnya, lebih baik kita lanjutkan operasi ini terlebih dahulu. Mari kita bersikap professional demi keselamatan pasien." dengan segera aku memakai sarung tangan karet dan peralatan operasi.

Melaksanakan operasi berjam-jam bukanlah hal mudah. Sebagai dokter, kita dituntut untuk selalu fokus, bukan menengok kanan-kiri. Setelah 3 jam mengoperasi pasien yang terkena indikasi penyakit di saluran pernapasannya, kini aku bisa bernapas lega. Aku keluar dari ruang operasi dan bertemu kedua orang tuanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Suddenly in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang