Story 1

253 5 0
                                    

-pov Ziyan

"Den Ziyan, kata Ibu disuruh ke lantai atas segera." Bibi mengatakannya ragu. Ya, bibi yang kerja di rumahku. Rumah Papa dan Mama sih lebih tepatnya.

Sudah sebulan ini aku tinggal kembali di rumah Mama dan Papa. Papa memilih pensiun di usianya yang menginjak 72 dan meminta aku untuk mengurus perusahaannya. Aku gak tau lagi harus ngomong gimana sama Papa kalo aku juga punya pekerjaanku sendiri, tapi ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Mama sudah lama bergelut dengan dunia fashion. Tidak ada selera Mama yang tidak berkelas dan brand miliknya sudah pasti semua orang tahu. Bagiku, Mama adalah sumber bahagia. Siapapun yang bertemu dan berbicara dengan Mama pasti akan bahagia. Mama itu humoris sedangkan Papa, sosoknya agak lebih dingin.

"Kenapa bi? Mama gak kenapa-kenapa kan?"

"Engga den."

"Ya udah saya kesana setelah makanku habis." Aku menyeruput kopi hitamku.

"Tapi den, engg.. anuuu.. duh.. nganu den.. ng.. ngan-" ucapan bibi ku potong segera.

"Kenapa sih bi? Kalo ada apa-apa bibi bisa bilang sama saya."

"Ibu kalau menunggu bisa ada pertunjukan di rumah den." Bibi menunduk.

"Pertunjukan? Sejak kapan mama-" teriakan itu menggelegar. Teriakan yang dahsyat, menggetarkan hati.

"ZIYAN ROMEO ATMAJAYA!!!!!" ya, itu hebat. Itu Mama.

"Iya ma.. Gak usah teriak-teriak Meo juga denger."

"Kamu itu mana bisa sih Meo dipanggil baik-baik. Kamu mau kalo Mama bikin pertunjukan itu."

"Pertunjukan apa sih Ma? Meo gak ngerti."

"Bibi belom bilang sama kamu?"

"Bibi gak ngomong pertunjukannya Nyonya, bibi takut." Bibi menundukan kepalanya sempurna. Ziyan menatap bibi dengan penuh tanda tanya. 'Apa yang disembunyikan Bibi dan Mama dari gue? Mama mau bunuh diri atau ini-' kata-kata Ziyan dalam hati berhenti. Ia ingat jelas bahwa Mamanya ingin ia menikah. Ya, menikah. Ziyan harus menikah kurang dari 365 hari berdasarkan ultimatum Mama atau namanya dicoret dari keluarga ini dan luntang-luntung di jalanan. Membayangkannya saja sudah bergidik ngeri.

"Kamu ke atas sekarang Meo. Mama gak mau kamu bantah." Mama berkacak pinggang. Ziyan melangkahkan kakinya malas ke ruang keluarga di lantai 2.

Di ruang keluarga atas, Papa sudah duduk manis bertengger dengan kacamata dan korannya. 'Ada apa ini?' batin Ziyan. Ada mama, papa dan adikku serta suaminya yang baru tiba dari Adelaide tadi malam. Tak ada satupun dari mereka yang bersuara. Nampaknya malam ini akan menjadi malam yang panjang, sangat panjang.

Melihat aku tidak bergeming dari posisiku, Viola adikku, angkat bicara. "Kak jangan berdiri saja, cari posisi yang enak dan duduk. Nikmati malam kebersamaan ini."

"Hah? Ada apa sih ini sebenarnya? Anak-anak kamu kemana?" tanyaku menyelidik.

"Gak ada apa-apa kok Kak. Ada apa dengan anak-anakku? Kakak kangen? Vivi dan Viva, mereka sudah tidur."

"Terus maksud ucapan kamu apa?" aku semakin tidak mengerti. "Ma, Pa, ini ada apa sih sebenarnya?"

"Kita cuma mau ngobrol-ngobrol aja bang Meo." ucap adik iparku.

"Gak mungkin. Pasti ada maksud kan dengan kumpul-kumpul ini?"

"Meo, Irfan benar, kamu juga benar. Kita mau ngobrol dan memiliki maksud dengan kumpul-kumpul ini." ucap papa.

"Apa yang kalian mau dari aku?" Meo menyenderkan badannya malas. "Berkali-kali kalian nyuruh aku menikah, berkali-kalipun aku jadi ditinggal pacar-pacarku."

Suddenly in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang