Revenge

185 24 23
                                    

Ting..Ting..Ting..

Alunan melodi piano memenuhi ruangan remang tanpa penerangan lampu.

"E – D# – E."

Seorang anak laki-laki kecil bergumam sambil memainkan piano di ruangan itu. Jari-jarinya dengan cepat memencet tuts piano sesuai dengan tempo lagu yang ia mainkan.

Tauren berdiri dengan kaki telanjang di atas lantai yang dingin. Jaraknya dengan piano sekitar lima meter. Tauren bisa melihat anak kecil itu dengan jelas. Rambut pendeknya berwarna hitam, kulit wajahnya terlihat pucat, serta bibirnya terlihat merah.

Sinar bulan masuk melalui jendela-jendela besar yang mengelilingi ruangan itu. Cahayanya yang pucat menerangi piano yang berdenting. Piano itu penuh dengan guratan-guratan dangkal dan dalam. Tauren mengernyit ngeri melihat guratan-guratan itu, yang tampak seperti bentuk guratan kuku jari tangan.

Makin lama, kecepatan tempo lagu yang anak kecil itu mainkan semakin meningkat. Entah kenapa, mata Tauren tak dapat lepas dari wajah anak di depannya. Tiba-tiba, anak itu terkekeh kecil dan menoleh pada Tauren, tanpa menghentikan permainan pianonya.

Mendadak, Tauren merasakan rasa nyeri menusuk dadanya. Ia ingin berteriak kesakitan namun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tauren hanya bisa mengernyit. Ia memandang dadanya. Tidak ada apa-apa di sana yang bisa menyebabkan rasa sakit seperti itu. Perih. Sesak. Tauren tidak dapat bernapas.

Lagu yang dimainkan oleh anak kecil di depannya semakin lama semakin keras dan cepat. Suara tawa anak kecil itu juga semakin kencang.

Tauren jatuh terduduk karena tubuhnya tidak kuat menahan rasa nyeri. Tangannya gemetar. Kepalanya tertunduk lemah. Rambut hitam panjangnya menutupi wajahnya. Ia memejamkan matanya menahan rasa sakit.

"E – D# – E," ujar anak kecil itu masih sambil terkekeh, "untukmu Therrese."

Suara berfrekuensi tinggi menyerang telinga Tauren sampai membuatnya harus menutup kedua telinganya dengan tangan. Ia memaksakan matanya untuk membuka karena ingin tahu darimana asal suara itu.

Kegelapan menyergap dirinya. Tauren merasakan dirinya terbaring di kasur. Aroma pengharum ruangan yang ia hirup, membuat Tauren yakin, ia sedang berada di kamarnya. Ia menajamkan telinga, berusaha mendengar suara sekecil apapun dari luar kamarnya. Hening. Tidak ada suara dentingan piano. Tidak ada suara anak kecil. Tidak ada rasa nyeri. Tauren menghela nafas lega.

Ia bangkit dari tempat tidurnya lalu menyalakan lampu redup di atas lemari. Tauren keluar dari kamar dengan perlahan dan menuju ke dapur. Lorong rumahnya gelap, menandakan semua anggota keluarganya sudah pergi tidur.

Tauren membuka kulkas dan mengambil susu. Ia mengambil sedotan lalu meminumnya sambil duduk di kursi makan. Perlahan, ia memejamkan mata sambil berusaha mengingat mimpi-mimpi yang sering datang padanya akhir-akhir ini.

Tauren ingat semua ini bermula ketika ia menginjak umur dua puluh tahun sekitar lima hari yang lalu. Pada saat itu, mimpinya yang aneh dimulai. Dalam mimpinya, ia melihat sesosok pria tua yang sedang bermain piano di ruangan yang sama dengan mimpinya tadi. Esoknya, sosok pria dewasa, bermain piano, tetap berada di ruangan yang sama. Malam setelahnya, sosok itu berubah menjadi pria remaja, berada di ruangan yang sama, dan tetap bermain piano.

Malam ini, ia memimpikan sosok anak kecil yang juga bermain piano. Tauren menarik nafas panjang. Lagu apa yang anak kecil itu mainkan? Tauren merasa pernah mendengar lagu itu entah dimana.

Ting...Ting...Ting...

Tauren terkesiap. Alunan melodi piano terdengar dari ruang tengah, tempat piano miliknya berada. Melodi itu sama dengan lagu yang ada di mimpinya. Dada Tauren berdebar kencang. Siapa yang sedang bermain piano selarut ini?

Book of WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang