Start Chapter III

63 7 4
                                    

Joshua's POV

Hari itu. Aku lupa hari apa. Aku dan Karin mengikuti lomba, ah tepatnya Olimpiade. Olimpiade Sains Internasional yang diselenggarakan di sini, Inggris, London. Dia termasuk anak yang jenius. Sayangnya dia ceroboh dan terlalu percaya pada orang lain. Apalagi kalau ada yang menyangkutkan dirinya dengan keluarganya yang sudah tak ada. Aku tak pernah percaya padanya. Dengar-dengar dia ikut organisasi abu-abu yang gila uang dan isinya orang gila. Anak dengan IQ 156 itu dilatih bermacam-macam di sana. Pemimpin organisasi abu-abu itu adalah orang yang mengaku pamannya. Dia percaya saja. Yaudah, aku mau gimana lagi.
Kubuang kertas itu. Untuk apa menemuinya. Biasanya dia juga bicara langsung padaku.
"Joshua," panggil seseorang. Hm, biar kutebak. Dia..
"C...claire?" aku tergagap.
"Kau tahu kan aturan sekolah, dilarang membuang sampah sembarangan," dia membetulkan kacamatanya. Mengambil buku catatannya. Menuliskan nama 'Namridge' dengan satu centang di sebelahnya. "Sudah lima kali dalam satu bulan ini, mr. Namridge. Kau kena poin 20, karena membuang sampah sembarangan."
Aku menatap gadis tercantik dan terpintar di sekolah ini. Dia membuatku jatuh hati. Tanpa sadar mukaku memerah.
"E-eh, sungguh? Kalau begitu aku harus melakukannya sesering mungkin," tanpa sadar ucapan itu meluncur dari mulutku. Oh, shit, kenapa kau, Joshua?
Ketua OSIS, OPL (Organisasi Pecinta Lingkungan) dan ketua kelas 9 ini tersenyum kecil.
"Bel sudah berbunyi daritadi, ambil sampahmu dan buang. Segera pergi ke kelas," dia menyikutku. Dan dia kembali berjalan, mencari anak untuk diceramahinya.
Haha, dasar.

Claire's POV
Joshua. Karin daritadi mencarimu sebetulnya. Ah, apa aku harus mengatakannya? Karen terjatuh dari atap, sedang kritis. Dia mengigau namamu terus, Joshua.
Aku menatap punggung Joshua. Ah, ada apa sebenarnya denganku. Haruskah aku memberitahunya? Tapi ada apa dia dengan Karin? Kenapa aku merasa sebal dan.. ah. Aku melihat seseorang sedang membuang sampah sembarangan di kantin. Anak itu lagi. Segera pikiranku mengenai Karen hilang.
"Brian!" kuambil penaku, menyatat namanya. Tiba-tiba tangan Brian memegangku.
"Karin jatuh?"
Aku terbelalak kaget.
"B..bagaimana kau tahu?"
Brian menunjukkan kacamatanya, memencet salah satu bingkai di kacamatanya.
"Buatan Joshua haha dia udah ngga pake ginian lagi. Jadul katanya," kata Brian.
"Pembaca pikiran?" pertanyaanku dijawab anggukan kepala.
Muka Brian terlihat serius. Aku menarik bangku dan duduk.

Author's POV
Seorang gadis berrambut cokelat pendek menggigit bibirnya. Melihat jam tangannya disertai melihat ke arah pintu keluar atap. Dia terlihat gelisah. Berkali-kali dia berkata "balik atau ngga".  Hingga akhirnya keluarlah seseorang. Dia tersenyum, hendak mengatakan sesuatu, namun senyumnya lenyap. Dia hendak berteriak, namun dia tak bisa. Mulutnya disumpal oleh sapu tangan basah yang membuatnya pingsan seketika. Orang itu mengangkatnya dan menjatuhkannya dari atas atap sekolah.
Bruk!
Kepalanya nyaris pecah karena kepalanya duluan yang jatuh. Darahnya menggenang dimana-mana.
Kemudian, seorang gadis berkacamata sedang berkeliling. Menghitung tanaman yang sudah mulai hijau. Dia tersenyum. Lalu, dia pergi ke gedung olahraga untuk melihat apa gedungnya terkunci dengan benar, karena lusa adalah perayaan sekolah.
Dia nyaris berteriak melihat ada gadis yang bergenang darah. Untungnya dia cukup bijaksana. Dia tak berteriak dan memberitahu teman-temannya dengan heboh. Dia segera mengambil ponselnya. Menelpon ambulans. Dia memegang leher gadis berambut coklat itu. Masih berdenyut. Dia kaget. Mencoba memberi pertolongan pertama. Gadis berambut coklat itu perlahan mengatakan sesuatu.
"J..joshua.." katanya dengan lirih. Sangat lirih. Dan dia menarik nafas panjang. Menghembuskannya. Gadis berkacamata itu bingung. Segera ambulans datang. Bersamaan dengan guru-guru. Menanyakan apa yang terjadi. Dia bilang agar merahasiakan hal ini dari para murid. Para guru bingung. Mereka juga tak menelpon polisi agar tak terjadi keributan.
"Kemungkinan besar dia jatuh dari atap. Didorong," asumsinya. Tapi dia sendiri tak yakin. Kalau didorong, seharusnya bukan kepalanya dulu yang jatuh. Kecuali kalau dia sedang menghadap pintu atap.
Di atap ada tembok pembatas. Itu hanya 50 cm. Karena mereka yakin, tak akan ada anak yang berani naik ke atap. Tapi dia yakin, gadis ini pasti dibunuh. Atau, sebelumnya dia dipukul terlebih dahulu sampai pecah kepalanya. Tapi dia sangsi.
Para guru bingung. Tindakan apa yang harus mereka lakukan? Lusa ada perayaan sekolah. Kalau hal ini diketahui masyarakat luas pasti sekolah ini dibubarkan. Gadis berkacamata itu mengernyitkan dahi.
"Kau lebih baik kembali ke kelasmu, kami tak akan menceritakan hal ini," kata salah seorang guru. Dia mengangguk. Kembali ke gedung utama.
Dia bingung. Harus bagaimana? Oh! Kemudian dia teringat seseorang yang bisa memecahkan misteri ini. Dia berlari menuju dalam. Dan tiba-tiba dia teringat sesuatu. Membuatnya mengurungkan niatnya. Dia melakukan apa yang seharusnya ia lakukan pada saat itu. Berusaha melupakan apa yang baru saja terjadi. Tetapi, dia masih merasa ada yang janggal. Hingga dia bertemu orang yang dimaksud. Dia melihatnya sedang membuang kertas sembarangan dan berpura-pura menghukumnya. Sebenarnya dia ingin menceritakan hal ini, tapi dia merasa sebal. Karena gadis cokelat itu menyebut nama orang itu sebelum akhirnya dibawa ambulans. Akhirnya orang itu meninggalkannya.

Joshua's POV

Aku berjalan menyusuri lorong. Beberapa anak berbisik sesuatu. Mataku melihat mereka sedang membicarakan kasus bunuh diri. Aku mengernyitkan dahi. Salah satu anak ada yang bilang, "sepertinya dia Karin anak kelas 8." Aku kaget. Berlari kembali ke arah kantin. Aku melihat Brian sedang bersama Claire. Brian melihatku dan melambai tangannya padaku. Claire tak menoleh sama sekali. Aku mendekati mereka.
"Ada apa?"
"Sepertinya kau sudah tau, bung. Claire saksi matanya," sahut Brian dengan santai. Claire melotot padanya. Aku menatap Claire. Lalu, pergi menuju gedung olahraga.
Sesampainya di sana, aku melihat ada banyak darah. Menatap atap gedung.
"Gedungnya terkunci, kan?" tanyaku.
Claire mengangguk. Aku berjalan menuju pintu gedung, mengambil sapu tangan dan memegang gagang pintu gedung. Mendorongnya dan... terbuka.
Aku menatap Claire. Claire membelakakan matanya. Brian mengikutiku memasuki gedung. Kunyalakan night mode di softlensku. Melihat sekeliling. Aku tak menemukan apapun. Berlari menuju pintu arah atap. Mencoba membukanya. Terkunci! Sial. Haruskah kudobrak?
Tap.. tap.. ada suara orang berjalan di belakang gedung. Aku menatap Brian. Brian mengangkat kepala. Aku berjalan menuju belakang gedung. Eh? Seharusnya tak ada orang di belakang gedung. Karena.. tak ada yang namanya belakang gedung olahraga.
Belakang gedung terdapat tembok tinggi agar murid-murid tak bisa kabur. Dan itu langsung menempel pada bagian belakang gedung olahraga. Hanya ada celah sedikit untuk selokan. Lalu, darimana suara itu? Brian masih berada di dalam gedung.
"Menemukan sesuatu, bung?"
Aku menggeleng. Aneh, kenapa kami merasa bahwa suara itu dari belakang gedung? Ah! Sial! Kenapa aku tak melihat selokan itu?
Aku berbalik, melihat selokannya. Lagi-lagi sial. Selokan itu terbuat dari semen. Yang mana tidak akan ada jejak apapun. Air yang mengalir pun sedikit. Suara itu. Aku mencoba mengingatnya.
"Sepatu karet. Aku hafal suara itu. Sepatuku juga dari karet. Dan, suaranya seperti sedang berjalan di tanah."
Tanah? Tunggu sebentar...

To be continued
------______________------

Pls vote bfore continuing :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 01, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

STARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang