Iqbaal menghela nafas sembari menatap dirinya di depan cermin. Dengan balutan tuxedo yang ia dan Felicia ambil di butik Tante Michel, ia memejamkan matanya lalu menarik nafas dengan berat.
Terakhir kali ia mengenakan pakaian seperti ini, saat ia menghadiri jamuan makan malam yang diadakan perusahaan ayahnya. Dan di saat itulah, pertama kali ia bertemu dengannya.
Iqbaal menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengingat tentang hal itu, sama saja dengan membunuhnya secara perlahan. Hanya akan membuka kembali luka lama yang sama sekali belum mengering setelah sekian lama ia berusaha untuk mengenyahkannya.
Melihat tuxedo yang melekat di tubuhnya, ia jadi teringat wanita paruh baya yang dipanggil Felicia sebagai Tante, dan namanya Michel. Ia merasa yakin sekali pernah melihat wajahnya. Tapi sekali lagi, ia tak tahu kapan atau dimana. Hanya wajahnya yang ia ingat.
Suara decitan pintu yang terbuka membuat Iqbaal tersentak lalu segera menolehkan kepalanya ke samping kanan. Ia menghembuskan nafas lega saat menemukan Felicia di ambang pintu kamarnya.
"Lo udah ditunggu di bawah."
Iqbaal mengangguk lalu segera memakai dasi. Seperkian detik setelahnya ia mengambil handphone-nya dan menghampiri Felicia yang masih berada di tempatnya.
Dengan menaikkan dua alisnya, Felicia sudah sadar apa yang dimaksud Iqbaal dari gerakan itu. Ia menggigit bibirnya lalu dengan cepat berbalik menjauhi Iqbaal. Setiap langkah kakinya ia tak berhenti merutuki diri sendiri terlebih kakinya yang tak mau bergerak semenjak ia melihat Iqbaal dalam balutan tuxedo. Entah kenapa, rasanya Iqbaal bertambah menarik berpuluh-puluh persen saat mengenakan pakaian itu.
Sedangkan Iqbaal menutup pintu kamarnya setelah mengendikkan bahu dengan cuek, lalu menuruni tangga untuk menghampiri Gamma, Hanna, dan Felicia yang sudah menunggu di ruang tengah.
-
Entah sudah keberapa puluh kali Iqbaal menguap karena bosan dan melirik jam tangan yang melekat di tangan kanannya hanya untuk memastikan berapa detik lagi ia harus berdiri di tempat seperti ini.
Langkah kaki yang terus bergerak maju itu seketika berhenti saat melihat gadis berbalut cocktail dress sedang menguap kecil di dekat pintu keluar. Iqbaal tanpa sadar mengulum senyum, gadis itu tampak senasib dengannya.
Dengan dua tangan yang berada di saku celana, Iqbaal menghampiri Felicia-gadis yang bernasib sama dengannya. Tanpa basa-basi sama sekali untuk sekedar mengatakan kata hallo, ia langsung berkata. "Cabut yuk."
Mendengar kalimat yang tiba-tiba seperti itu, tentu saja Felicia kaget bukan main. Apalagi kini ia melihat Iqbaal berdiri dekat dengannya. Walau seharusnya ia lega karena ternyata pemilik kalimat tadi adalah seseorang yang ia kenal, tapi nyatanya jantungnya berdegup kencang sekali.
Masalah yang ada adalah, ia mulai berfikir telinganya sedikit bermasalah. Apa seorang Iqbaal Dhiafakhri baru saja berbicara padanya? Karena ia merasa yakin sekali kalimat yang terdiri dari dua kata itu berasal dari mulut lelaki itu. Tapi, masa sih?
"Kenapa diem?"
Felicia terlonjak kaget begitu pikirannya kembali ke dunia nyata. Telinganya sama sekali tak bermasalah. Yang barusan berbicara memang Iqbaal. Tapi-untuk kesekian kalinya-bagaimana bisa?
"L-lo ...," Felicia menelan salivanya-kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika gugup--, "Lo barusan beneran ngomong?"
Iqbaal mengangkat dua alisnya-yang membuat Felicia berpikir cowok ini kembali ke kebisuannya lagi, sebelum akhirnya; ia tertawa kecil.
Biar saya ulangi,
Tertawa kecil.
TERTAWA KECIL!
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Love [PENDING]
Teen Fiction❝ We should love, not fall in love. Because everything that falls, get broken. ❞ - Taylor Swift. Iqbaal merasa gak ada yang lebih sial daripada dititipkan pada keluarga teman ayahnya. Memangnya dia ini barang apa? Tapi lalu ia bertemu dengan Felicia...