Ternyata aku salah. Kami berdua salah. Sebab sejauh apapun kami berpisah, sejauh apapun aku pergi melarikan diri, biar pun samudera luas membatasi kami, aku tetap membawa dia dalam hatiku. Aku belum bisa melepaskan semua kenangan tentang dia.
Pesonanya bagiku sungguh hebat. Kukira perpisahan kami beberapa tahun lalu di Narita Airport adalah pertemuan terakhir, sekaligus akhir dari sebuah babak yang mungkin paling manis dalam hidupku. Begitu menginjakkan kaki di tegel bandara Soekarno-Hatta, aku akan segera menemukan orang lain dan melupakan Taka. Dia juga mengharapkan hal yang sama, ditegaskan dalam sorot matanya yang dalam tapi teduh dan penuh kasih, serta genggaman jabat tangan dan rangkulan erat, ketika dia berbisik semoga aku selalu bahagia. Sebab jika aku bahagia dia juga akan bahagia.
Selalu bahagia! Aku setuju dan selalu mengusahakannya. Selalu bahagia, kapan dan dimana pun dan dalam kondisi apapun. Tapi tampaknya tak semudah itu. Selalu bahagia? Maaf, ada yang bisa menjelaskan defenisinya? Sebab selama ini aku tak mengerti artinya. Selalu dan bahagia, tanpa dia? Maaf sekali lagi, sampai kini aku belum berhasil memenuhi harapannya itu.
**
Kesepian. Itulah oleh-oleh yang masih tertinggal, yang kubawa pulang dari Negeri Sakura itu. Kian terasa mencekam, seiring debur ombak yang memantulkan kelap-kelip lampu di Hard Rock Café, ditambah langit yang mengguntur diseruduk pesawat yang baru take off dari bandara Ngurah Rai, serta bunyi jangkrik-jangkrik nakal yang menyiuli turis-turis hampir telanjang yang sedang melintas pulang.Pulang. Aku juga harus pulang ke masa kini. Tak mungkin pulang ke masa lalu, seolah satu-satunya yang masih mau membuka pintu.
Entah apa karena kesepian, tiba-tiba aku jadi sangat merindukan masa lalu itu. Merindukan Taka, teramat sangat.
***
"Aku pulang" sapaku setelah baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Tak ada jawaban. Ah yaa! Aku baru ingat rumah ku ini tidak pantas disebut 'rumah' dalam artian sesungguhnya.
"Apa yang aku harapakan"ujarku. Menghela nafas sejanak, lalu aku kembali melangkah masuk menuju kamarku.
"Non della, sudah pulang ?" Aku menghentikan langkahku, berbalik dan menemukan bi Lela berdiri di depan pintu dapur, yang tersambung dengan ruang tengah. Rumahku terbilang mewah. Bukan bermaksud ingin menyombongkan diri tapi sampai tujuh turunan pun, harta keluargaku tak akan pernah habis. Lalu kenapa aku bekerja? Ayolah.. Walaupun aku anak perempun satu-satunya di keluargaku, aku bukan anak yang manja dan berbangga dengan harta orangtua ku. Dari kecil aku sudah didik untuk tidak pongah dalam menjalani hidup.
"Ya"
"Sini non, biar bibi yang bawakan barang-barangnya." aku melihat bi Lela mendekati ku dengan langkah perlahan dan senyum hangat yang terpancar di wajahnya. Bi Lela kepala pembantu dirumah ku. Beliau sudah berumur 55 tahun tapi tenaganya tak mencerminkan wanita parubaya.
"Tidak usah bi, saya bisa sendiri. Makasih" aku berbalik dan melenggang pergi. Tak kupedulikan lagi perubahan mimik muka bi lela.
"Sepulang dari jepang, aku seperti tidak mengenal non della yang dulu lagi. Kemana non dellaku yang selalu ceria itu" meski samar aku masih mendengar ucapan bi Lela.
Hhuff. Entahla. Aku merasa untuk senyum pun sulit sekali. Aku sering mendengar teman-teman kantorku bergosip dikantin, mereka bilang aku sekarang seperti manusia dingin yang sulit tersentuh.
Sesampai di kamar segara kutanggalkan semua pakaianku. Mungkin berendam air hangat dapat mengurangi rasa lelahku sedikit, setelah perjalanan panjang Bali-Jakarta.
"Della, ini mami sayang. Boleh mami masuk" samar aku seperti mendengar suara mami. Apa mami sudah pulang? Tapi tidak biasanya jam segini sudah dirumah. Kulirik jam di sudut kamar mandiku. Ini baru jam delapan malam. Buru-buru aku keluar dari bathup, dan memakai handuk yang tersampir di pintu kamar mandi.
"Ya mam.. Tunggu sebentar!" Yang pertama kulihat setelah membuka pintu kamarku adalah wajah mami yang mulus meski usianya yang sudah tidak muda lagi. Tapi aku melihat ada yang janggal dari cara mami menatapku. Dahiku sedikit berkerut karena alisku yang bertaut.
"Ada apa mami mencari ku?"
"Boleh mami masuk dulu, ada hal yang ingin mami sampaikan. Dan ini penting!" Aku mempersilahkan mami masuk. Ia lalu duduk di sofa bewarna pink. Kamar ku didominasi dengan warna pink lembu dan abu-abu. Sejak kecil aku sudah menyukai kedua warna itu.
"Bagaiamana liburan mu?" Mami masih saja tampak anggun disetiap perkataan yang keluar dari mulutnya.
"Cukup menyenangkan" tanpa kusadari aku masih mematung di balik pintu yang belum ku tutup kembali. Segera aku menutup pintu itu dan melangkah untuk duduk di kursi meja riasku.
"Mami sendiri, masih betah mendalami dunia bisnis?" Ujarku kembali. Biarlah aku dikatakan tidak sopan, atau pun anak kurang ajar. Karena dengan lancangnya berbicara seperti itu.
Mami hanya tersenyum miring menanggapinya. "Mami tidak ada waktu untuk berdebat dengan mu della. Mami kesini hanya ingin menyampaikan kalau, sebentar lagi perusahaan keluarga kita ingin membuat pesta. Dan mami sangat berharap kau hadir disana"
"Tapi aku__" belum sempat aku melanjutkan perkataanku mami sudah melanjutkan kembali dengan nada sedikit ditekan.
"Dan mami tak ingin mendengar kata penolakan lagi. Kau selalu saja sibuk jika ada yang seperti ini della. Ada saja alasanmu untuk tidak hadir."
"Bukan seperti itu mam, tapi sungguh kali ini della memang benar-benar sibuk! Di kantor della sedang ada masalah besar" kilahku. Sudahka kujelaskan kalau aku tidak bekerja di perusahaan keluargaku. Karena ingin mandiri dan sukses tanpa bantuan papa, aku memutuskan menolak tawaran papa menjadi CEO di perusahaan. Lagiankan masih ada kak Rad anak cowok satu-satunya pula di kelurga ini. Aduh! Aku lupa, kalau kak Rad sudah-mungkin- dihapus dari ahli waris. Maling kundang itu sungguh menyebalkan.
"Apakah kau ingin melihat papa mu kecewa lagi, Della?"
"Tidak"
"Kalau begitu, datang dan jangan buat keluarga kita malu. Cukup kakakmu saja yang bikin malu keluarga kita. tinggal kau satu-satunya harapan kami"
"Dan satu lagi. Berdandanlah dengan cantik. Kita kedatangan tamu spesial yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan sayap perusahaan kita di benua Eropa" lanjutnya lagi. Lalu setelah dia berkata seperti itu, ia bangkit dan meninggalkan aku dengan sejuta pertanyaan di benakku.
"Apa hubungannya berdandan cantik dengan datangnya tamu spesial itu"gumamku. Tunggu sebentar. Aku hanya ingin memberitahu kalau panggilan della itu hanya mami, papi, kak Rad, dan pelayan di rumah ini yang memanggilku seperti itu. Selain mereka, aku lebih dikenal dengan Adinda.
Aku bangkit lalu menuju clothes room ku. Memilih baju yang nyaman, lalu kembali menghempaskan badan ku di tempat tidur. Rencana apa lagi yang sedang mami rencanakan. Ahh! Sudahla. Lebih baik aku tidak usah mempedulikan hal itu. saat ini yang ingin ku lakukan adalah menutup mataku sejenak dan berharap Taka sudi untuk mampir di mimpi ku.
*****
Happy reading... !! Semoga menarik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kau tak perlu mencintai ku
RomanceAdinda baru saja patah hati karena Taka, pria yang menambat hatinya saat kuliah di Jepang. Dan kini Ia di hadapkan pada keinginan egois orangtuanya. Dia dijodohkan dengan Arga, lelaki antah berantah yang ternyata masih berkerabat dekat dengan kelua...