Bab 1. Lelaki Sekarat

90 8 0
                                    


 1

Kota ini sudah mati. Ditinggalkan para penghuninya, para manusia yang sekarang entah meninggal, atau melarikan diri ke kota lain. Gedung-gedung pencakar langit, dengan arsitektur modern yang dulunya bewarna serba putih bersih kini kusam dan kotor. Mobil-mobil automatik yang dulunya lalu-lalang di jalanan kini hanya menjadi besi tua.

Metropolis adalah kesan dari kota ini, jauh sebelum Eternal Rain terjadi. Lampu-lampu LED yang merupakan sisa kejayaan kota masih terus bersinar, memberikan ingatan-ingatan kota ini atas segala kemewahannya, kesibukannya, serta kebusukan yang terjadi pada celah-celahnya yang tak terlihat.

Di dunia yang serba gelap, cahaya lampu itu hanya satu-satunya penunjuk jalan manusia.

Kembali ke lelaki tersebut, dia seperti kebanyakan manusia umumnya. Hanya seorang survivor, dengan jas kulit berkerudung yang menutupi kepalanya dari hujan, celananya sudah mulai robek dan dipenuhi bercak lumpur, lingkaran hitam menghiasi matanya, dan di mata itu, ada bola mata yang menunjukan perjuangan sang manusia untuk tetap hidup.

Dia tidak membawa ransel, senjatanya hanya berupa golok yang terus dipegangnya dengan erat.

Kakinya gontai membawanya menelusuri kota mati tersebut.

Ia menelusuri gang-gang sempit, berharap tidak akan bertemu monster-monster itu, para Pengejar (chaser). Jika kau bertemu mata dengan makhluk yang mempunyai mata bulat besar seukuran bola ping pong bewarna merah menyala, dia akan terus mengejarmu hingga kau membunuhnya, atau dia yang membunuhmu.

Lelaki itu tersandung jatuh, ia mengutuk, dan mencoba untuk bangkit berdiri.

Darah mengalir dari kakinya, rupanya selama ini dia tidak sadar akan sobekan besar di betisnya yang mengalirkan darah segar. Ia menggeram, umpatan-umpatan kembali keluar dari mulutnya. Ingatannya memutar kembali apa yang terjadi 2 jam lalu, dalam perjalanannya menuju lokasi ini, ia tidak sengaja bertatapan muka dengan para Pengejar, dan tidak perlu tunggu lama hingga kejar-kejaran antara hidup dan mati terjadi diantara mereka.

Ia tidak beruntung, karena walaupun ia lolos dari maut, semua persediaan makan, serta perlengkapan untuk bertahan hidup yang ada di ranselnya hilang. Ia hanya bersisakan sebuah golok sebagai senjata terakhirnya untuk membunuh Pengejar-Pengejar tadi.

"ARGH!" ia menggeram marah, memukul tanah yang basah, seakan tidak mampu mengeluarkan bahasa manusia lagi, ia berusaha bangkit, memaksakan diri dengan menyeret kakinya, teguh pada rencana awal untuk datang ke suatu tempat yang menjadi tujuannya.

Mata lelaki itu akhirnya memancarkan cahaya kebahagiaan ketika ia melihat suatu tanda yang terpampang di sebuah pintu besi besar. Sebuah lambang berupa telapak tangan yang membuka, dengan pisau bermata dua yang digambarkan berada di tengah telapak tangan tersebut.

Dengan penuh harap, ia menggedor-gedor pintu besi itu.

"Tolong aku! Aku sekarat!" 3 detik, belum ada jawaban.

"Tolong aku!" Ia menggedor lagi, dan untungnya, celah kecil di pintu besi itu terbuka, sebuah mata melihat dari balik lubang itu, tanpa rasa kasihan, memelototi sosok lelaki yang lemah tak berdaya.

"Aku mohon, jika kalian masih punya hati nurani, selamatkanlah aku..." pinta lelaki tersebut.

"Tawaran?"

Lelaki dari balik pintu besi tidak mengenal ampun, tidak juga bagi orang-orang disekitarnya, tidak juga orang-orang di dunia. Mereka hanya mengenal cara bertahan hidup masing-masing.

Eternal Rain: HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang