Api unggun berpendar memberikan kehangatan bagi orang-orang yang duduk disana. 5 orang anggota regu satu, termasuk Johan dan bocah bernama Rafael, duduk mengeliling api unggun tersebut.
Masih terbayang dalam ingatan mereka detik-detik antara hidup dan mati yang terjadi setengah jam lalu.
"Apa setiap hari kalian memang harus seperti ini?" Rafael mengeluh sembari mendekatkan tangannya ke api unggun, tidak ada dari mereka yang tidak kedinginan, semuanya menggigil karena pakaian mereka dilucuti, saat ini di badan mereka hanya ada kain putih yang menutupi bagian bawah pinggang mereka, serta handuk untuk mengeringkan tubuh.
Johan bersin sesaat, ia memeluk tubuhnya yang masih kedinginan, hidungnya menarik napas dalam dan mengeluarkan suara ingus yang menjijikan.
"Yah, tidak setiap hari juga. Kalian berdua sendiri bagaimana bisa bertahan hidup di tempat seperti itu?" balas Johan.
"Tentu saja kami mengambil dari bekas caravan, bagaimana lagi?" keluh anak itu.
"Lagipula kenapa mereka mengirim anak kecil seperti mereka sejak awal?" Black menimpal dengan nada mengejek, membuat Rafael melirik tajam ke arahnya.
Black meminum kopi nya sampai habis, tidak mempedulikan perlakuan Rafael kepadanya, ia sendiri berpikir dalam hati bahwa orang-orang pusat pastilah bermain-main dengan tugas mereka, jika tidak, kenapa mereka mau mempercayakan caravan kepada dua anak kecil?
"Ayolah Black, kau tidak bisa berkata seperti itu, ini juga bukan salah Rafael dan temannya" bujuk Bronze.
Black hanya diam, ia tidak menunjukan balasan apa-apa dan hanya membuang gelas kertasnya ke dalam api unggun.
"Rafael, bagaimana dengan orangtuamu? Mereka tidak khawatir kamu tinggalkan?" kini Alan balik bertanya.
"Aku tidak punya orangtua." Jawab bocah itu singkat.
"Oh, maaf."
"Tidak apa, ini bukan seperti orangtuaku meninggal karena Eternal Rain atau para Pengejar."
"Apa maksudmu?"
"Aku... Tidak tahu siapa orangtuaku."
Hening menjadi jawaban Alan atas pernyataan bocah itu, ia kemudian menyambung pembicaraan, menanyakan ingatan Rafael pada tahun-tahun sebelum Eternal Rain terjadi.
Akan tetapi bocah itu hanya diam dan menggelengkan kepala. Dia tidak punya memori yang berkaitan dengan hidupnya sebelum Eternal Rain terjadi.
Hening kembali menyelimuti kelompok pada api unggun tersebut. Tidak ada yang menanyakan lagi perihal mengenai Rafael, bahkan Black pun ikut terdiam.
Mereka hanya mau menghangatkan diri setelah apa yang mereka alami.
***
Gadis itu perlahan-lahan membuka matanya. Dunia gelap yang mengelilinginya perlahan-lahan memudar, digantikan oleh cahaya termaram api lilin, serta suara tetes air yang sangat ia kenal di dunia yang basah ini.
Ia merasakan kehangatan menyelimuti tubuhnya yang dingin, perasaan nyaman tersebut seolah membuatnya lupa akan apa yang telah terjadi tiga hari lalu.
"Kau sudah bangun?" sebuah ajakan percakapan seakan mengagetkannya dari rasa nyaman yang tengah ia nikmati.
Perlahan, kesadaran gadis tersebut kembali, ia melihat sosok perempuan yang ada di sekelilingnya, tengah menggunakan suatu alat yang sedari tadi memberikannya kehangatan. Gadis tersebut kembali memutar bola matanya, memperhatikan suatu ruangan asing berisi ranjang-ranjang dengan orang-orang yang terlelap diatasnya. Ada pula orang-orang lain yang berjalan lalu-lalang, mendorong trali berisikan air serta makanan dan obat, mereka sudah jelas adalah para perawat, dilihat dari seragam putih mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Rain: Home
AcciónPulau buatan Nevaeh adalah surga dunia yang telah jatuh akibat fenomena Eternal Rain. Hujan abadi yang mendatangkan predator-predator ganas pemangsa manusia. Sedikit-demi sedikit, populasi manusia semakin dibabat habis. Nevaeh adalah satu-satunya te...