Janus memacu mobilnya. Ia agak sedikit ugal-ugalan. Ia menulikan telinganya dari bunyi klakson yang bersahutan. Lagu-lagu Linkin Park memenuhi mobilnya. Auman bass dan pekikan barithone membuat sang detektif muda itu mengangguk-anggul sedikit seperti orang gila.
Semerbak parfum gentlemen memenuhi udara. Ya. Cowo banget. Banyak wanita dan ABG yang mengejar-ngejar seorang Janus Sastrawijaya. Detektif tampan berkelahiran 14 Februari tahun 1993 itu memiliki feronom tersendiri. Wajahnya yang berkesan tegas namun selali berekspresi lembut dan tenang menjadi modal utama.
IQ 174 juga menunjang pesona dirinya, apa lagi saat kuliah di Amerika dulu. Ditambah lagi, Janus itu tajir. Uangnya banyak.
Tak aneh kalau dia menonjol. Apa lagi prestasi dibidang itelenjen sangat menarik. Sampai-sampai hampir semua kasus bisa ia selesaikan, kecuali 1 kasus. Kasus apa? Oh.. Itu ada waktunya. Nanti.
"Shit, kena macet.." Janus memukul stir mobilnya, wajahnya tampak kesal setengah mati. Ia takut kena omelan dari Sofia. Belum lagi, ia belum mengetahui orang yang akan dijemputnya sudah siap apa belum.
'Duh, dia udah mandi belum ya?' Selidik Janus penuh curiga, ini kan hari minggu. Akhirnya, dengan kecepatan kilat, Janus menulis pesan singkat dengan suruhan 'Ayo cepat mandi' untuk orang yang akan ia jemput. Senyuman yang agak psikopat muncul diwajah tampan Janus saat ia menekan tombol sent pada layar handphonenya
Janus mengacak rambutnya frustasi, ia berdoa pada Tuhan semoga dia tidak terlambat.Janus membanting stir, memasuki sebuah jalan yang cukup sepi, matanya dengan awas memperhatikan jalan. Berbelok di pertigaan, hingga kedua mata tajamnya melihat sebuah rumah berarsitektur kolonial di ujung jalan.
Bibir tipisnya menyungingkan senyum lembut. "Akhirnya sampai.." bisiknya. Ia memarkirkan mobil tepat disamping trotoar, ia membuka pintu mobil dan menguncinya.
Beberapa gadis muda yang melewati Janus tertawa genit, bahkan ada yang sengaja membuat suaranya menjadi nyaring dan imut, tapi Janus tak peduli. Tidak penting ini.
Janus berjalan santai, melewati jalan setapak dan berdiri didepan pintu. "Arsha..?" panggil Janus pelan ia hendak mengetuk pintu, tetapi baru sekali ketuk, pintu mulai terbuka sedikit. Janus menghela nafasnya, sedikit tersenyum sambil melangkah masuk. Rupanya orang yang ingin dia jemput belum berubah. Masih ceroboh seperti dulu. "Permisi.."
.
.
.
.
."Nggghh..." pemuda itu mendesah pelan, maranya tertutup rapat. Tangannya bergerak-gerak, membuat benda panjang tumpul dijarinya bergerak memutar
"Ah..." Ia mendesah lagi saat membuat beda itu bergerak lebih dalam, sesekali ia meringis merasa sedikit sakit saat menyodok terlalu kasar pada lubangnya yang kecil
"Sssssh..." ia mendesis nikmat saat diulanginya gerakan memutar. Jari-jari kakinya mencengkram sprei biru tua yang menutupi kasurnya, ia mendesah lagi
Pemuda itu merasa puas dan harus mengakhiri kegiatannya, ia bangkit dari posisi terlentangnya.
"Arsha?..." Tiba-tiba kepala Janus menyembul dari balik pintu, ia mematap pemuda itu. Tiba-tiba wajah Janus berubah menjadi horror
Sambil berdecak sebal, pemuda itu menatap balik Janus "Kak Janus?" ucapnya, ia menarik cotton bud dari lubang telinganya. Oh, ternyata sedari tadi ia sedang mengorek kupingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Other Side
Teen FictionSeberapa berani diri kalian? Beranikah kalian menemani kami memecahkan kasus-kasus tindak kriminal ? Ikut memutar otak bersama kami? Setiap barang bukti punya cerita tersendiri, bukan? Kita pasti bisa memecahkan ini. Dengan sedikit bantuan supernat...