Bab 1
Bel tanda jam pelajaran terakhir selesai sudah berdentang sejak lima menit lalu, tapi Ibu Heni, guru Matematika tetap tak bosan-bosannya berceloteh tentang rumus Integral yang membuat kepalaku terasa dibelah tujuh bagian. Barulah aku dapat bernafas lega saat guru itu kembali ke mejanya dan pulang. Aku memasukkan buku-buku ke dalam tas. Hari ini sungguh melelahkan. Bagaimana tidak? Hari ini semua mata pelajaran IPA dan Matematika ditumpuk dalam waktu lima jam!
Aku rasa pilihanku untuk menjadi siswi IPA adalah suatu kesalahan besar. otakku yang sederhana ini seharusnya hanya mampu memahami pelajaran bahasa. Tapi baik kedua orang tuaku, guru-guru dan wali kelasku bersikeras menyuruhku masuk IPA.
Dan hasilnya? Aku menderita seperti sekarang.
Kalau saja aku seorang tokoh dalam suatu komik, pastilah ada asap mengepul dari rambutku. Pelajaran Matematika selama dua jam saja sudah hampir membuatku gila. Aku bahkan tak sedikitpun paham tentang materi yang diajarkan guruku tadi. Terlebih lagi, aku sama sekali tidak paham karena aku pernah lama absen dari sekolah, meskipun aku sudah hampir mau lulus SMA. Ocehan Bu Heni tentang rumus-rumus itu masih menggerayangi kepalaku—kutebak nanti malam aku bakalan terjaga terus gara-gara rumus-rumus aneh itu.
“Shey, pulang bareng yuk!”
Seseorang menepuk pundakku dari belakang, aku menoleh dan melihat teman baikku, Rina yang melakukannya. Dia cewek asli dari Surabaya, makanya dialeknya cukup kental dengan aksen ‘medhok’.
“Ayo,” sahutku mengangkat tasku yang beratnya bisa mengalahkan satu ton batu bata, “Eh, Rin, nanti ajarin gue matematika ya? Gue gagal paham nih sama ocehannya Bu Heni.”
“Enggak salah tuh, Shey? Biasanya kan lo suka matematika.” Sahut Rina dengan mata nyindir.
“Jangan nyindir gue dong, mentang-mentang gue remedial terus!” sahutku sambil tertawa dan memukul kepalanya pelan., kulihat Rina tersenyum saat aku mengatakannya.
Diluar sifatnya yang kadang-kadang menyebalkan, Rina adalah salah satu teman baikku. Dia selalu datang ke rumahku saat aku absen lama dari sekolah dan membawa catatan pelajaran hari itu—lengkap dengan sedikit ajaran darinya. Berkat Rina juga aku bisa mengejar ketertinggalanku selama aku cuti dari sekolah. Kira-kira, butuh waktu sekitar enam bulan lagi bagiku untuk mengejar ketertinggalan pelajaran, terutama di pelajaran exact IPA yang pastinya terdiri dari Matematika dan kawan-kawannya. Hanya tinggal hitungan bulan kami akan menghadapi UN dan bersiap untuk kuliah.
“Shey, lo kenal enggak sama cowok yang ada di parkiran itu?” Tanya Rina saat kami keluar dari kelas.
Aku menyipitkan mata mengikuti kemana arah telunjuk Rina menunjuk. Aku melihat cowok seusiaku yang memiliki rambut coklat natural dan mata hitam seperti orang Indonesia biasa. Kutebak, dia blasteran bule. Tapi entahlah, dari negara mana.
“Ega, ‘kan?” ujarku menyahut pertanyaan Rina, “Yang ketua KIR itu?”
“Cakep yah dia.” Ujar Rina sambil tersenyum lebar dan tatapan genit yang membuatku geli.
“Cakep sih ... tapi masa cowok kayak gitu belom punya pacar?”
“Katanya sih dia udah punya calon,” sahut Rina, “Kalau enggak salah dari kelas kita deh.”
Aku mengangkat bahu. Siapapun cewek yang ‘beruntung’ itu, aku sama sekali tak peduli. Toh, Ega tak ada hubungannya denganku—dia cowok yang nyaris sempurna dalam segala hal, dan tak mungkin disandingkan denganku yang punya banyak kekurangan.
“Penasaran deh gue, siapa tuh calonnya.” Rina masih bergumam sendiri, “Menurut lo siapa, Shey?”
“Lah, mana gue tau. Kalau tau pun, mau lo jadiin saingan ya?”