Senja

17 0 0
                                    


Maha (2001). 

dikala itu aku melihatnya bermain sepeda berwarna merah muda melintasi pagar hitam berkarat dan rumah yang sudah langu. aku masih ingat betul wajahnya ketia Ia menatapku, seperti orang yang melihat hantu, pergi dan ketakutan. Namun, usiaku yang masih 10 tahun pada saat itu memaksaku untuk mengejarnya walaupun berat kakiku ini namun hatiku yang berlari. dia mengayuh sepedahnya dengan kuat hingga akhirnya terjatuh dan terluka. untunglah saat itu hanya aku yang ada disana, sehingga Ia mau dibantu oleh ku. Dia tersenyum padaku, dan berkata terimakasih. Aku menanyakan namanya namun iya tak membuka mulutnya sama sekali dan malah pergi entah kemana. Aku diam - diam mengikutinya, dan ternyata rumah termegah di komplek inilah yang merupakan rumahnya. 

Esok senjanya, Jiwanya menarik jiwaku untuk sekedar mengetahui lebih tentangnya. aku tertarik, sangat tertarik. kadang aku berpikir bahwa, sebuah pertemuan yang buruk, bukan berarti akan diakhiri dengan pertemuan yang buruk pula. Aku memberanikan diri mengetuk pagar rumahnya dan tiba - tiba Sang bunda keluar dan menyapaku lembut. " dari siapa yaa? kamu mau bertemu siapa dek?". senyum ibunya lebih manis dari dia, namun mungkin karena aku belum pernah melihatnya tersenyum sebegitu manis padaku. " Aku mau mencari, anak tante." jawabku lantang. lalu sang bunda memanggilkan anak kesayangannya yang sedang bermain dengan kucingnya. Cukup lama aku menunggu untuk dia menemuiku. Dan saat Ia keluar, aku langsung menarik tangannya dan mengajaknya berkenalan, walau Ibuku pernah mengajarkanku bahwa tidak sopan memperlakukan perempuan seperti itu, namun apadaya aku tak mengerti lagi bagaimana caranya untuk mengetahui dia sebenanrnya. Akhirnya Ia menjawabnya, dan jawaban itulah yang yang mengukir sejarah baru di hidupku. Lyra. 

Aku mengajaknya berjalan. Sangat dingin. Aku tak mengerti bagaimana caranya untuk membuat seorang gadis manis yang berada disampingku ini tertawa, tersenyum sedikit saja. Hingga Ia lelah, dan lemas , baru aku mengajaknya pulang. Selama pulang, aku baru mendapatkan senyum manisnya saat ingin berpisah dengannya. Ia melambaikan tangannya, sambil tersenyum dan berkata terimakasih kepadaku. 

Tuhan ternyata menjawab semua rasa sabarku menunggu teman selama 10 tahun ini. Banyak wanita yang mengincarku pada saat itu, namun karena aku memang sulit memilih, jadi mereka semua memusuhiku. Tuhan memang baik, aku dipertemukan dengan perempuan dengan kesederhanaan dan di senja yang sederhana itu. walau berawal dari kesederhanaan, ternyata itu semua dapat melindungiku dari badai hujan yang selalu membasahi kepalaku. 



Dibawah Tanah,Diatas Awan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang