Tidak ada yang mengenal Nacil dengan sangat baik selain Dikta. Bahkan, keluarga Nacil sekalipun.
Dikta tahu semua kesukaan Nacil, mulai dari warna, lagu, makanan, buku, film, dan lain-lain. Dia tahu banget apa mimpi dan cita-cita Nacil.
Nacil punya cita-cita jadi seorang penulis yang karyanya dicintai dan menginspirasi banyak orang. Selain itu, dia punya mimpi yang besar : punya perpustakaan yang akan dia beri nama Rumah Dongeng. Dan Nacil tidak pernah berhenti berharap kalau nantinya buku-buku di sana adalah buku karangannya sendiri.
Nacil juga punya kelebihan yang unik, dia mahir menirukan berbagai macam suara. Seperti suara hewan dan beberapa tokoh kartun. Suaranya yang bisa berubah-ubah, sering membuat takjub anak-anak yang mendengarnya. Itu sebabnya Nacil suka sekali mendongeng. Dia suka dengan reaksi anak-anak kecil yang mendengarnya bercerita, terlebih lagi ketika dengan semangatnya mereka memintanya untuk terus mendongeng.
Beberapa kali, Dikta sering melihat Nacil menceritakan dongeng si kancil pada anak tetangga mereka yang rata-rata masih balita.
Nacil memang ajaib!
Nacil yang ekspresif, optimis, mudah bergaul, selalu berhasil membuat Dikta jatuh hati.
Malam ini, di bawah sinar bulan yang temaram, dia dan Nacil duduk di ayunan sambil bersenda gurau. Sewaktu Nacil mengangkat tangannya untuk menunjuk langit yang penuh bintang, ingin rasanya Dikta meraihnya, menggenggamnya.
"Kira-kira, sepuluh tahun lagi, kita jadi apa, ya?" celetuk Nacil setelah tadi diam beberapa saat.
"Nggak tahu. Mungkin, kita udah jadi orangtua," ucap Dikta dan tertawa kecil.
"Mungkin." Nacil tersenyum, kemudian memandang Dikta dengan mata berbinar. "Mungkin nanti, kita udah nikah. Di situ lo udah punya anak, gue juga. Terus, kita ketemuan, ya, nostalgia gitu."
Dikta sedikit kecewa. Mungkin Nacil nggak paham maksud kata 'kita' yang diucapkannya tadi. Kita artinya mereka. Dia dan Nacil.
"Ngapain ngomongin yang sepuluh tahun. Tahun depan aja kita nggak tahu bakal gimana," tutur Dikta, tiba-tiba serius.
"Iya, sih. Eh, lulus besok, kita daftar universitas bareng, ya?"
"Gue masih bingung mau ambil jurusan apa. Papa kayaknya pengen banget lihat gue masuk sekolah musik. Padahal gue nggak suka." Dikta membuang napas panjang, berat, seakan penuh beban.
"Ya udah, pilih apa yang lo suka. Daripada entar nyesel." Nacil berusaha menyemangati. Bertahun-tahun bersama, seolah tidak pernah ada rahasia di antara mereka. Dikta begitu terbuka tentang masalah pribadinya. Sama seperti Dikta yang mengenalnya luar dalam, Nacil pun demikian.
"Tapi, gue nggak mau bikin papa kecewa."
Nacil diam, dapat dirasakannya kebimbangan Dikta saat ini.
"Gue rasa, yang namanya anak, nggak ada deh yang mau bikin orangtuanya kecewa." Nacil mendesah, menegakkan bahu, lalu berdiri. "Malam mingguan, yuk!" Ajak Nacil tiba-tiba sumringah. Sebenarnya sih, dia cuma mau mengalihkan pembicaraan. Habis, Dikta kalau lagi galau, pasti muka begonya kelihatan.
"Ke mana?" respon Dikta nggak begitu minat.
"Biasaaa. Gue ganti baju dulu, ya," katanya lantas melenggang pergi ke rumahnya.
"Udah gitu aja, jomblo juga!"
"Haha. Jomblo juga harus gaya dong. Apalagi kita kan ijo lumut. Ikatan jomblo imut, haha."
"Sori gue nggak ikutan."
"Bodo. Lo juga ganti baju dong, jangan malu-maluin gue!"
"Serius lo bawel..." Dikta mencibir, Nacil malah menertawakannya dari jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Bintang (Move)
Teen FictionHujan Bintang (Dongeng Bahagia) menceritakan kisah tentang dua anak laki-laki yang tertukar saat baru dilahirkan. Azka dan Dikta. Sama-sama dibesarkan oleh keluarga berada. Azka yang sedikit bicara, namun sekali bicara cukup nyelekit. Dikta yang ra...