8.

6.7K 478 5
                                    

"ANDREW!!!" Adith berteriak keras setelah menemukan sosok yang ia cari dari tadi.

"Apa?" balas Andrew kalem sambil terus memainkan ponselnya. Adith mendekatkan mulutnya pada telinga Andrew untuk berbisik.

"Marcel pindah kesini."

Tiga kata itu membuat darah Andrew naik ke ubun-ubun. Ia meremas kuat ponsel yang dipegangnya sampai jari-jari tangannya memucat.

"Ikut gue." Andrew berjalan dengan tenang, diikuti Adith disampingnya. Ia harus membuat perhitungan pada Marcel.

~

Bel tanda masuk sudah berbunyi dua menit yang lalu dan Andrew yang biasanya tak pernah telat masuk kelas harus mengiklaskan rekornya tersebut demi mencari Marcel. Koridor-koridor mulai menyepi seiring dengan siswa-siswi yang kembali ke kelas untuk belajar. Andrew melirik ke kanan kiri, sedangkan Adith melihat kedalam kelas-kelas apakah Marcel ada atau tidak. Langkah Andrew berhenti saat sosok yang ia cari-cari sudah ditemukan. Marcel habis menutup sebuah loker dan tersenyum kecil melihatnya.

"Oh ho, siapa yang gue liat ini hah?" tembak Andrew tanpa basa-basi. Marcel tidak terkejut dengan kedatangan Andrew. Lagipula cepat atau lambat Andrew akan segera tahu.

"Lo liat gue. Jangan bilang lo buta." sinis Marcel. Ia mendekat kearah mereka berdua dengan tangan kanan disaku celana abu-abunya.

"Cih, berani-beraninya lo pindah kesini!" geram Andrew sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat. Demi apapun, ia ingin menonjok muka rese Marcel sekarang juga!

"Haha, emang ni sekolah punya nenek moyang lo apa? Oh, iya. Ini sekolah kan emang punya nenek lo yang pencuri itu." Marcel menaikkan sudut bibir kirinya, tanda meremehkan. Wajah Andrew memerah. Ia ingin segera menghabisi wajah itu sekarang juga, tapi ia masih sadar bahwa ini lingkungan sekolah. Ia tidak ingin identitasnya 'yang lain' diketahui semua orang.

"Tutup mulut lo! Nenek gue bukan pencuri bangst!" Adith menahan tangan kiri Andrew saat Andrew hendak melangkah mendekati Marcel. Ia tahu jelas Andrew tidak akan mengampuni orang yang membuatnya naik darah. Dan ia tahu jelas Andrew sulit mengontrol emosinya.

"Eh, Marcel?" tanya seorang gadis yang baru saja muncul membawa bunga matahari di tangannya. Tiffany Anastasia, datang disaat yang sangat tidak tepat.

"Fany?" Marcel tersenyum kecil melihat Fany—dan bunga ditangan Fany.

"Mau diapain itu bunga?" tanya Marcel kepo. Ia bahkan melupakan dua sosok didepannya yang sedang marah besar.

"Dibuang." kata Fany singkat kemudian berjalan menuju tempat sampah yang hanya berjarak dua langkah dari tempat ia berpijak sekarang. Tetapi dengan cepat Marcel menahan pergelangan tangannya, membuat langkah Fany berhenti.

"Jangan dibuang." kata Marcel pelan, tetapi Fany menyadari ada siratan penuh penekanan dalam kedua kata itu, membuatnya tak berkutik dan merasa berbahaya jika ia membuang bunga itu. Ia ingin bertanya kenapa, tetapi sebelum mulutnya membuka untuk berbicara, seseorang telah berbicara duluan.

"Lo siapanya Fany main ngelarang? Buang aja Fan kalo mau buang! Kenapa lo dengerin dia hah?!" Andrew tak bisa lagi menahan emosi. Ia risih melihat tangan Fany dipegang orang semacam Marcel. Setidaknya dia ingin melindungi Fany dari Marcel.

"Ndre lo tenang deh. Kenapa jadi marahin Fany?" bisik Adith pelan setelah menyadari perubahan ekspresi Fany. Tadinya ia terlihat baik, namun setelah kata-kata itu dicetuskan mulut berdosa Andrew, tatapan Fany berubah kejam.

"Gue mo dengerin Marcel ato kaga, urusan gue kali. Lo urusin aja perempuan-perempuan lo itu!" sinis Fany sambil membuang muka. Ia meninju pelan bahu kanan Marcel kemudian tersenyum kecil dan melangkah kembali ke lokernya, menyimpan bunga matahari itu. Ia kembali berjalan menuju kelas sambil membawa buku catatan kimia yang baru saja dia ambil dari lokernya.

The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang