Awal Baik atau Buruk?

1.1K 33 2
                                    

Hah ... akhirnya. Kota yang selama ini sering kurindukan. Dengan daya magisnya selalu membuatku ingin kembali ke kota ini. Menjadikanku bagaikan seorang submissive teristimewa saat kembali ke pelukannya. Menerima segala kenikmatan yang dijanjikannya dengan rela, tulus dan ikhlas.
Melepas kaca mata hitamku. Merentangkan tangan menyambut pelukan tak kasat mata. Menghirup dalam-dalam udara di sekitar, mencoba menerapkan efek dramatis kedatanganku. Jog-ja-kar-ta.
Namun ... kurasa ini ide yang konyol! Bau stasiun di mana pun terasa sama saja. Bahkan di kota Jogja ini.
Aku baru saja turun dari kereta api Argo Dwipangga di Stasiun Tugu dengan penuh syukur. Mengapa pria sekeren aku naik kereta? Jawabnya jelas, karena ingin mencari suasana baru dan pengalaman baru. Ditambah lagi aku sedang bosan naik pesawat. Tetapi kenyataannya, naik apa pun sama saja. Di mana-mana aku selalu jadi pusat perhatian. Akhirnya bukan ketenangan yang kudapatkan, tapi beribu-ribu fans tambahan.
Susah memang jika kita dilahirkan dengan aura kegantengan dan kegagahan yang terlalu berlebihan sepertiku. Rasanya sangat sulit untuk mendapatkan sebuah ketenangan. Ke mana pun kaki ini melangkah pasti akan selalu menjadi objek pandang wanita-wanita yang haus akan pria ganteng.
Apalagi tadi duduk di sampingku seorang wanita yang mengidap penyakit genitius alias genit berlebihan -hak paten nama ilmiah ini ada padaku-. Penyakit yang ditandai dengan gejala yang terlihat jelas, yaitu mata yang terus saja berkedip-kedip ditambah suara mendesah yang mirip kodok sariawan. Ck, aku lebih suka menganggap wanita tadi cacingan sehingga dia terlalu sering berkedip.
Matahari bersinar cerah saat aku mencapai pintu depan stasiun ini. Untung kaca mata hitam sudah kupakai lagi. Melindungi mata setajam elangku dari silau gemilau luar stasiun.
Jogja oh Jogja.
Rasanya tidak afdol saat kembali ke Jogja tanpa melakukan ritual ini. Tempat yang pas, momen yang oke, pencahayaan yang sempurna dan tentu saja pria ganteng yang tepat.
Ganteng itu anugerah, tetapi keren itu pilihan.
Camera, rolling, and action!
Kupejamkan mataku, menghirup lagi udara sekitar yang masih bercampur bau stasiun, orang-orang, dan ditambah bau asap kendaraan bermotor, tetapi abaikan saja itu.
Kurentangkan tanganku seolah berusaha memeluk kota ini. Masih memejamkan mata, aku berbisik lirih, "Jogja, aku kembali."
Aku kembali ... kembali untuk menuntaskan tugas mulia yang diembankan padaku.
"Mas De!" Segera kubuka mataku mendengar panggilan tersebut. Namun terlambat, siapa pun yang memanggilku tadi sudah menabrakkan diri dan memelukku erat.
"Woiiiiiii ... Yudha?" tanyaku menarik siapa pun yang memelukku sedikit menjauh supaya aku bisa memperhatikannya lebih detail. Benar saja, Yudha Prawira, sepupuku, tersenyum lebar ke arahku, menunjukkan satu lesung pipit di pipi sebelah kanannya yang semakin menambah pesonanya.
"Yoi, Mas De. Sepupumu yang terlihat ganteng sepanjang masa." Narsisnya padaku, membuatku tertawa dan memukul bahunya pelan.
Gen narsis adalah gen keturunan yang paling penting dari keluarga kami. Lagi pula dengan gen narsis inilah kami terlihat semakin memukau. Seperti kataku tadi, ganteng itu anugerah, keren itu pilihan dan narsis itu keturunan.
Oh ya, perkenalkan namaku Sadewo Subagja, anak semata wayang dari keluarga Subagja. Ah, mungkin di Jogja, keluarga Subagja kurang dikenal. Namun asal kalian tahu, di Jakarta sana, keluarga Subagja merupakan salah satu keluarga yang cukup terpandang. Ayah memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata, perusahaan-perusahaan tersebut juga cukup diperhitungkan di sana. Maka jangan heran jika wajah kami sekeluarga sering keluar masuk majalah bisnis.
Bukannya sombong, tapi aku narsis. Selain berasal dari keluarga yang cukup wow, tahukah kalian bahwa wajahku juga cukup diperhitungkan di dunia entertainment. Jika tadi Yudha hanya memiliki satu lesung pipit di sebelah kanan, maka aku memiliki dua lesung pipit di kedua pipiku. Wajahku juga memiliki tingkat lebih tinggi dari 'lumayan' karena Bunda memiliki darah campuran Jepang dari kakek buyutnya. Badanku bisa dibilang tidak jauh beda dengan model-model Amerika berperut six pack, meskipun setelah kuhitung sepertinya milikku hanya ada four pack. Tapi lumayanlah, paling tidak perutku terlihat kotak-kotak. Lenganku juga diciptakan tanpa gelambir-gelambir mengganggu. Nah, bisa dibayangkan paket lengkap kegantengankuku tersebut kan.
Kalau saja aku mau, banyak sutradara atau pun produser yang mendatangiku untuk sekadar mengajakku bermain jadi pemeran utama di layar lebar. Tetapi sayang, bukan takdirku menjadi seorang aktor atau selebritis. Takdirku adalah menjadi pengusaha muda ganteng yang digandrungi para wanita di seluruh Indonesia, menggantikan Ayah mengurus semua perusahaan beliau. Jangan heran nantinya, jika di mana pun aku berada akan banyak wanita bergeletakan pingsan di sekitar saking terpesonanya padaku. Kalian belum merasakan pesona dahsyat seorang Sadewo.
Tetapi jangan kira dengan wajah dan badanku yang oke serta ketenaranku di kalangan wanita, aku seorang playboy dengan hobi mengoleksi para wanita. No ... no ... no .... Jelas saja bukan.
Kebenarannya, aku justru membenci mereka-para wanita-. Yah, mungkin terlalu sadis kalau menyebutnya membenci, lebih tepatnya aku sebal dengan makhluk bernama wanita. Alasanku mudah, menurutku sebagian besar para wanita adalah makhluk yang berisik dan menyebalkan juga penuh tipu daya.
Namun perlu kalian garis bawahi juga. Aku bukan gay, aku hanya tidak menyukai wanita yang berisik dan penuh tipu daya itu. Apalagi di zaman sekarang sedang tren wanita sebagai racun dunia. Yang hobinya membuat para pria jatuh cinta setengah mati pada mereka, kuras dompet juga kantong mereka sebelum nantinya tendang mereka begitu saja. Seperti salah satu lagu yang kutahu dengan lirik 'ada uang abang sayang, nggak ada uang abang kutendang' atau pepatah yang sedang tren 'tebal cintaku setebal dompetmu'.
Maka bayangkan saja seandainya aku terjatuh ke tangan wanita seperti itu, luntur sudah semua kegantengan dan kekayaanku nanti. Jadi, lebih baik pintar-pintar saja memilih wanita yang merupakan madu di antara sekian banyak wanita yang seperti racun. Lagi pula, jika suatu saat nanti aku menikah, aku ingin wanita yang pendiam, tidak banyak tingkah, dan juga sopan. Itu tiga syarat utama dariku untuk calon istriku kelak.
Ck, kenapa juga aku jadi membahas tentang calon istri begini. Abaikan saja, aku tidak berniat menikah dalam waktu dekat. Aku masih terlalu muda dan ganteng untuk memikirkan masalah seperti itu.
Umurku baru 26 tahun. Paling cepat empat tahun lagi baru aku akan memikirkan tentang pernikahan. Itu pun karena aku sebagai putra tunggal dari Renaldi Subagja terikat kewajiban untuk memberikan keturunan yang nantinya akan meneruskan nama Subagja tersebut. Untuk sekarang ini lebih baik aku menikmati saja masa mudaku sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya.
Nah, perkenalkan juga, pria manis yang tadi memelukku adalah sepupuku tersayang, Yudha Prawira. Dia putra dari Om Bagas Prawira, suami dari adik ayahku satu-satunya, Bulik Irma Subagja. Keluargaku memang bukanlah sebuah keluarga besar. Ayah hanya memiliki satu orang adik, yaitu Bulik Irma dengan 2 anak, Yudha dan Sasa. Sedangkan Bunda merupakan anak semata wayang di keluarganya. Dari silsilah keluarga tersebut kesimpulannya aku hanya memiliki dua sepupu sepanjang masa-kecuali kalau tiba-tiba Bunda atau Bulik Irma dengan mengejutkan hamil lagi-.
Mungkin kalian bertanya-tanya, apa yang sedang aku lakukan di kota Jogja? Bukankah rumahku ada di Jakarta, keluargaku ada di Jakarta, bahkan perusahaan Ayah yang nantinya akan kupimpin berada di sana juga. Inilah inti dari ceritaku saat ini.
Aku, Sadewo Subagja, yang biasa dipanggil Dewo, atau khusus untuk kedua sepupuku mereka memanggilku Mas De, adalah pria ganteng, gagah, pintar, mapan, dan menawan. Baru saja menyelesaikan pendidikan S2 Manajemen di UI, ketika tiba-tiba mendapatkan kabar buruk dari Jogja. Eyang putri dari pihak Ayah meninggal dunia karena umur beliau yang memang sudah sepuh (tua). Tapi bukan itu juga inti dari ceritanya.
Jadi, eyang putriku itu meninggal dunia dengan tenang, dan dengan tenang juga beliau memberikanku harta warisan yang cukup membuatku membelalakkan mata karena terkejut bukan main. Beliau memberiku warisan sebuah kompleks kos-kosan putri di Jogja lengkap dengan isinya (read : anak-anak kosnya). Bisakah kalian membayangkannya?
Warisan yang cukup luar biasa bukan? Kos-kosan putri? Pria ganteng dan gagah umur 26 tahun yang sebal dengan wanita justru diwarisi sebuah kos-kosan putri? Ya Tuhan, entah dosa masa lalu apa yang telah kulakukan sampai-sampai takdirku saat ini menjadi begitu runyam. Bahkan Ayah, yang telah berjanji akan mulai mempekerjakanku di perusahaannya ketika sudah menyelesaikan S2-ku, menyuruhku mengambil alih tanggung jawab menjaga kos-kosan tersebut sampai nantinya keluarga kami mendapatkan seseorang yang bisa dipercaya untuk menggantikanku. Yang entah butuh berapa lama.
"Mas De, kita langsung ke kos-kosan atau mau mampir ke rumah dulu?" Pertanyaan Yudha segera mengembalikanku ke dunia nyata, yang membuatku harus berpasrah diri menerima segala takdir. Bagaimana pun juga aku adalah pria bertanggung jawab. Aku akan melakukan apa yang memang menjadi tanggung jawabku, termasuk menjadi bapak kos sebuah kos-kosan putri yang merupakan mimpi buruk bagiku.
"Langsung ke kos-kosan aja. Aku mau lihat seperti apa medan perangku," ucapku yakin seyakin-yakinnya.
"Hahahaa. Lebe ki Mas De lebe. Medan perang opo?" ucap Yudha dengan logat Jawanya menertawakanku.
"Lebay, Yud, lebay. Penampilan ganteng gitu, kenapa ngomongmu nggak gahol banget. Nggak keren," ucapku menyipitkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala, mencibirnya.
"Lah, namanya juga orang Jawa. Mas De kan juga orang Jawa, pakdhe asli Jogja, tapi banyak gaya," balas Yudha sembari pura-pura bergidik geli.
"Weits. Beda dong. Aku kan orang Jawa kereeeeenn," jawabku narsis.
"Hahahaa. Iya deh, nurut aja aku. Nuruuuuttt."
"Ya udah, Mas De mau nyetir atau saya yang nyetir?" tanya Yudha sembari menggoyang-goyangkan kunci mobilnya.
"Nyetir doooooong." ucapku girang menyambar kunci mobil Yudha dan segera masuk ke sisi pengemudi, disusul Yudha yang masuk ke sisi sebelah pengemudi.
"Ckckck. Mas De ... Mas De ... jadi sopir ko bangga," ucap Yudha menyebalkan.
"Sialan kamu, Yud. It's okay. I'm cool. Aku sopir yang sebentar lagi naik jabatan jadi bapak kos," ucapku dan langsung tancap gas, menjalankan mobil Yudha menuju kos-kosan eyang yang berada di daerah Jalan Kaliurang.
Kami berdua tertawa keras karena kelakuan kami berdua. Beginilah aku jika bertemu dengan sepupuku. Maklum, aku tidak punya saudara selain Yudha dan Sasa. Jadi saat aku bertemu dengan mereka lunturlah semua kegantenganku dan segera berubah bagaikan anak-anak yang bertemu dengan teman sepermainannya. Apalagi selisih umur kami yang tidak terlalu jauh, aku 26 tahun, Yudha 24 tahun, dan Sasa yang paling muda 20 tahun. Ah, jadi rindu dengan Dek Sasa. Sudah lama aku tidak melihatnya semenjak dia melanjutkan kuliahnya di Semarang. Seperti apa dia sekarang? Kalau Yudha saja sekarang seganteng ini, tidak kuragukan lagi Dek Sasa pasti juga cantik.
"Yud, kabar Dek Sasa gimana?"
"Dek Sasa?" tanyanya balik menaikkan alisnya, membuatku ikut menaikkan alisku.
"Oh ... hahahaa ... Mas De jangan kaget kalau ketemu dia nanti," lanjutnya sembari tertawa misterius, membuatku mengerutkan dahi bingung.
"Hah? Memangnya apa yang terjadi dengan adekku yang cute itu?" tanyaku masih belum ada bayangan, seperti apakah adik sepupuku tersebut sekarang.
"Sasa? Cute? Bumi gonjang ganjing langit kerlap kerlip, Mas," ucap Yudha tertawa semakin keras.
"Kok?"
"Surprise buatmu, Mas De," ucapnya mengerlingkan sebelah matanya padaku. Mencurigakan. Entah kenapa feeling-ku mengatakan surprise ini akan sedikit berbahaya.
Mencurigakan tetapi membuat penasaran. Paduan yang cukup berbahaya, kan. Tapi serius, aku benar-benar penasaran apa yang terjadi dengan Dek Sasa. Apakah perubahannya sekarang benar-benar drastis sampai-sampai Yudha berkata begitu?
Mungkin dia sekarang jadi gadis yang cantik dan manis, bukan lagi gadis cute yang selalu menangis saat aku dan Yudha mengerjainya? Hm, bisa jadi begitu. Meskipun aku ragu. Perkataan Yudha menyiratkan sesuatu yang gelap dan misterius.
"Yud, kamu sukses bikin aku penasaran."
"Lihat dan nilai sendiri saja," balasnya masih sok misterius.
Saat kuingat-ingat lagi, sepertinya terakhir aku melihat Sasa adalah selepas dia melakukan Ujian Nasional sekitar dua tahun yang lalu. Itulah terakhir kalinya aku ke Jogja, menengok Eyang. Dan saat pemakaman Eyang aku memang tidak bisa menghadirinya dikarenakan saat itu aku sedang sibuk dengan tesisku. Sasa juga sudah sibuk dengan kuliahnya di Semarang. Dua tahun kurasa belum terlalu lama. Jadi perubahan seperti apa yang bisa terjadi dalam rentang waktu tersebut?
Untung saja saat ini Sasa berada di Jogja karena bulan-bulan ini memang bulan liburan kuliah di Indonesia. Paling tidak rasa penasaranku tidak akan bertahan lama. Sebentar lagi aku bisa tahu, seperti apa dia sekarang.
Jogja sudah mengalami banyak perubahan dalam dua tahun ini. Walaupun sudah berkali-kali kemari, hari ini aku cukup bingung dengan jalan dan arah yang ada akibat perubahan-perubahan tersebut. Untung saja ada Yudha yang dengan sabar memberiku petunjuk hingga akhirnya kami hampir sampai di kos-kosan.
Terlihat pohon jambu air tinggi yang sangat kukenali karena cabangnya yang berbentuk seperti garpu sebagai penanda. Tempat bermainku dengan Yudha dan Sasa saat kecil dulu. Di situlah aku dan Yudha akan berperan sebagai perompak dengan menaiki salah satu cabangnya, dengan diiringi backsound suara Sasa yang menangis di bawah pohon karena tidak bisa ikut naik dan menjadi perompak.
Huft! Medan perangku semakin dekat! Jantungku seolah mengenali bahayanya, berdetak semakin kencang saat aku berhasil memarkirkan mobil Yudha di halaman rumah eyang putri yang mulai hari ini akan menjadi rumahku.
Sebentar lagi Dewo ... sebentar lagi kamu akan segera menghadapi takdirmu. Bertahanlah!
"Mas De, nanti aku kenalin sama anak-anak kos dulu sebentar, setelah itu aku harus langsung pergi. Aku ada janji bimbingan sore ini," ucap Yudha sebelum melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.
"Oh iya, Mas. Satu lagi. Nanti malem Sasa yang jemput Mas De buat ke rumah. Bapak sama ibu udah nggak sabar pengen ketemu, Mas De. Oke?" tambahnya berkata melalui kaca mobil yang terbuka.
Ya ya ya, terserah. Aku sedang sibuk menenangkan dan menyiapkan diri menghadapi takdirku.
Tapi, bagaimana kalau nantinya aku tidak kuat? Tidak bisakah kulambaikan tangan ke kamera supaya seseorang menjemputku dan membebaskanku dari semua ini? Ya Tuhan, bahkan reality show menghadapi hantu kurasa lebih baik daripada menghadapi para wanita ini.
Katakan aku berlebihan, tapi sumpah, aku sebal pada para wanita dengan segala kegaduhannya. Dan kalian bayangkan saja sendiri sekarang, di hadapanku terbentang luas lautan penuh wanita berisik itu. Oke, kalau itu jelas kulebih-lebihkan. Memang kenyataannya hanya ada sekitar 6 anak yang saat ini kos di sini, menurut informasi dari Yudha. Tapi tetap saja, 6 wanita saudara-saudara. ENAM. Eyang putri benar-benar menguji kesabaran, tanggung jawab, juga nyaliku saat ini. Ini terlalu beraaaaattt Tuhaaaaaannn.
Menyiapkan jiwa dan raga saat tiba-tiba kudengar pintu kaca mobil di sisiku diketuk keras, dengan menampakkan wajah Yudha yang tidak sabar.
Hah, semangat De, kamu pasti bisa. Tarik napas, embuskan, tarik napas, embuskan. Yah. Sadewo Subagja, kamu pasti bisa. Keluarga Subagja tidak takut terhadap apa pun. Bahkan sekumpulan wanita berisik. Malu pada gelar magisterku kalau hanya seperti ini saja aku menyerah.
Turun dari mobil dengan menunjukkan cengiran khasku, "Sorry, hanya ingin menyiapkan diri lahir dan batin sebelum memasuki medan perang."
"Ayo," ajakku, dan dengan penuh gaya berjalan mendahuluinya menuju ke dalam kos-kosan. Tidak lupa memakai lagi kacamata hitam yang kulepas saat menyetir tadi. Sengaja, supaya aku bisa mengamati mata calon musuh-musuhku dengan bebas tanpa mereka bisa berbalik mengamati karena terhalangi lensa hitam ini.
Mata boleh saja tertutupi, namun kenyataannya saat ini jantungku sedari tadi berdetak sangat kencang, tanganku juga tidak berhenti mengeluarkan keringat dingin. Kulihat Yudha melenggang santai berusaha mendahului. Membawaku ke arah pintu samping kecil yang tersedia di pojokan. Pintu yang aku tahu memang dikhususkan bagi anak-anak kosan.
Begitu memasuki kawasan kos-kosan, tahukah kalian apa yang kulihat dan rasakan?
Aku benar-benar terpana saat ini mengamati kondisi kos-kosan ini. Tidak seperti yang kubayangkan sejak awal bahwa kos-kosan ini akan berisik dan berantakan. Namun sebaliknya, kos-kosan ini bagaikan dalam silent mode saat ini, tenang, rapi, dan kuakui kosan ini cukup bersih. Wah, tumben juga melihat ada kos-kosan seperti ini.
Tapi setelah kupikir-pikir, kurasa inilah gaya Eyang putri, mirip denganku, tidak suka berisik, tidak suka sesuatu yang berantakan dan tidak suka sesuatu yang kotor.
Kos-kosan ini tertata rapi, kamar-kamar rapi tersusun dalam bentuk huruf U dengan dua kamar mandi di salah satu sudutnya. Jika tidak salah hitung kira-kira hanya ada delapan kamar, satu ruang televisi, satu dapur dan satu garasi kecil di sudut pintu masuk. Terlihat ada empat motor terparkir di sana. Dengan bentuk kamar menyerupai paviliun bersekat dan saling menghadap tanah lapang di tengah rumah yang difungsikan sebagai tempat jemuran dengan tatanan sempurna. Kuakui, kos-kosan ini keren.
Rumah beserta kos-kosan jika dilihat dari atas maka akan terlihat berbentuk persegi panjang dengan tengah-tengah berupa tanah lapang yang berfungsi sebagai tempat jemuran. Rumah Eyang terletak di bagian depan, dengan pojok sebelah kanannya berfungsi sebagai pintu masuk anak-anak kosan. Jadi rumah dan kos-kosan memiliki pintu yang terpisah. Di belakang rumah, ada pintu yang menghubungkan rumah utama dengan kos-kosan, jadi jika ingin tiba-tiba menginspeksi kos-kosan aku bisa melalui pintu tersebut.
Jangan heran kalau aku terpana seperti ini. Sebab meskipun telah beberapa kali menengok Eyang putri, aku hanya berkutat di dalam rumah utama tanpa berminat mendekati kawasan kos-kosan di belakang rumah. Kalau tidak, aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar bersama Yudha mengelilingi Jogja. Atau selama beberapa waktu lebih memilih menginap di rumah Om, supaya bisa bebas bermain bersama Yudha.
"Yud, kenapa sepi?" Ketenangan yang ada refleks membuatku bertanya dengan nada pelan menyerupai bisikan.
"Ini waktunya tidur siang, Mas De, emang harus dibangunin dulu," ucapnya misterius dengan mengedipkan sebelah matanya padaku. Entah kenapa dari tadi Yudha senang sekali bermain teka-teki denganku. Pertama tentang Sasa, dan sekarang tentang ketenangan kos-kosan ini.
Tapi tunggu ... apa katanya tadi?
Tidur siang? Serius? Aku tidak salah dengar kan?
Maksudnya tidur siang yang benar-benar tidur siang? Dengan hasil nantinya aku akan memiliki waktu tenang beberapa jam? Wow ... oh wow ... kurasa aku mulai menyukai kos-kosan ini, minus dengan para penghuninya.
Terlihat Yudha masuk ke dalam rumah Eyang putri yang terletak persis di depan kos-kosan. Tempat nantinya aku tinggal selama bertanggung jawab menjaga kos-kosan ini.
Tidak butuh waktu lama, Yudha sudah keluar dengan menenteng sebuah toa. Toa? Itu serius toa? Buat apa?
"Buat apa itu, Yud?" tanyaku penasaran setelah Yudha sudah berdiri di sampingku.
"Ya buat bangunin mereka lah," jawabnya santai dan tanpa babibu langsung menyalakan sirine yang tersedia di situ, yang pastinya memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya dari radius beberapa meter. Aku yang berdiri di samping Yudha otomatis menyumbat telingaku, menghindari dampak menakutkan dari suara tersebut.
Jang jang ... tanpa menunggu lama para penghuni kos-kosan itu berhamburan keluar dari kamar masing-masing dengan berbagai bentuk. Ada yang memakai mukena, ada yang sedang bermasker ria, ada yang memegang setrikaan, ada yang membawa laptop, ada yang membawa pisau? (yang ini berbahaya), ada yang membawa gitar. Hah? Gaya tidur yang aneh bukan? Aku hanya bisa menatap takjub melihat enam wanita yang berbaris rapi di hadapan kami dengan bawaan masing-masing.
Hei, ini masih di bumi, kan?
"Nggak semuanya tidur, Mas De, tapi yang pasti ini jam tidur siang dan aturan dari Eyang sejak dulu, jam segini dilarang berisik," bisik Yudha di telingaku seolah dia tahu pertanyaan di benakku.
"O." Hanya jawaban itu yang keluar dari mulutku. Kualihkan pandanganku pada enam wanita yang berdiri di hadapan kami yang saat ini gantian melongo memandangku. Hah, sekarang lihat sendiri kan, efek seorang Sadewo Subagja pada para wanita.
"Hai, girls. Maaf mengganggu waktu tidur siang kalian. Tapi ada keadaan mendesak sekarang. Aku akan memperkenalkan seseorang pada kalian," ucap Yudha ke arah para wanita yang sama sekali tidak menghiraukannya. Tatapan mereka semua masih tertuju kepadaku. Kurasa selama tinggal di sini aku benar-benar harus belajar mengatur tingkat pesonaku.
"Ini sepupuku dari Jakarta, dia yang akan menggantikan eyang putri bertanggung jawab pada kalian. Namanya Dewo. Kalau aku memanggilnya, Mas De. Terserah kalian mau memanggilnya apa, yang pasti dia akan menjadi Bapak kos kalian mulai sekarang dan entah sampai kapan," jelas Yudha memperkenalkanku.
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi perkenalan Yudha tersebut, "Hai, I'm De," ucapku singkat.
"Aaaaaaahhh ... ganteeeeeeng ...!"
"Iyo, hensem banget yooo. Koyo Leonardo Di Kapriyo KW 2."
"Ayaya. Biasa aja, gantengan juga Koh Kyuhyun."
"Wuih, kaya artis."
"Subhanallah."
"Tampan."
Yah, selalu begitu jika para wanita melihatku. Berkisaran kata ganteng, tampan, seperti artis, dan lain-lain. Aku sudah biasa mendengarnya, sudah biasa dipuji, sudah biasa dikagumi. Oh yeah, inilah efek seorang Sadewo. Masih untung saat ini tidak ada yang pingsan.
Meskipun di sini agak sedikit aneh sih, sedikit berbeda dengan Jakarta. Dengan kata-katanya yang terasa asing didengar, seperti contohnya hensem bukannya handsome, dan Leonardo Di Kapriyo KW 2? Inilah yang membuat sebal dengan daerah Jawa, selalu melafalkan sesuatu dengan seenaknya, sudah keren nama Leonardo Di Caprio, jika di Jawa pasti akan berubah menjadi Leonardo Di Kapriyo. Apalagi mendengar logat Jawa ngapak wanita yang membawa setrika, ah hancur sudah nama keren Leonardo, kembaranku. Kurasa aku benar-benar perlu memberi mereka tambahan pelajaran Bahasa Inggris.
"Udah, Mas De? Gitu aja? Nggak mau nambah kata-kata lagi?" ucap Yudha bernada protes.
Memang apalagi yang harus kubilang pada mereka, bukankah perkataan Yudha tadi sudah menjelaskan semuanya. Aku sekarang menggantikan Eyang sebagai bapak kos mereka, sudah cukup kan.
"Kurasa cukup," ucapku santai sembari mengendikkan bahuku cuek.
Yudha hanya menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawabanku. Semakin jarang berbicara, semakin mengurangi interaksiku dengan para makhluk ini, bukan? Aku tidak terlalu ingin banyak atau bahkan sering berinteraksi dengan mereka, karena kurasa akan sangat merepotkan. Sudah kuputuskan, ilmu yang harus kupelajari saat ini adalah sebisa mungkin menjauh dari ke-enam makhluk ini yang menguarkan aura berbahaya bagi jiwa dan ragaku.
"Baiklah, hanya seperti itu dan silakan kembali ke kamar kalian masing-masing. Ingat! Ini masih jam dua, masih satu jam lagi sebelum waktu tidur siang kosan ini habis." ucapnya.
Namun, para wanita itu masih juga berbaris di depan kami tanpa ada niat untuk membubarkan diri.
"Hello, anybody home?" tanyaku sembari melayangkan tanganku di wajah salah satu dari mereka. Karena sedari tadi kulihat mereka masih melongo, bahkan beberapa tidak berkedip memandangiku.
"Hah? Ani ani. Ani bodi here ko." jawab wanita yang membawa setrika tersebut dengan pelafalan khas Jawa ngapak yang membuatku mengerutkan dahi. Telingaku benar-benar terganggu mendengarnya.
"Girls, bubar woy." Yudha segera menyalakan lagi sirine yang memekakkan telinga tadi.
"Kembali ke kamar!" teriaknya lagi dan saat itu, barulah para wanita itu saling bertabrakan menuju kamar masing-masing. Tenanglah kembali kos-kosan ini. Woho, keren.
"Toa ajaib. Kurasa aku jatuh cinta padanya," ucapku merebut toa dari tangan Yudha dan beranjak masuk ke rumah utama.
"Keren kan, Mas?"
"Banget."
"Ya udah Mas De, aku pergi dulu. Nanti Sasa yang jemput Mas De buat ke rumah."
"Oke," jawabku singkat sembari mengamati rumah peninggalan Eyang yang tidak kalah keren dengan kos-kosan di belakang. Rumahnya berbentuk joglo dengan pendopo luas di depan sana, dan di dalamnya ditata dengan mencampurkan gaya tradisional rumah Jawa dan gaya modern. Eyang putri benar-benar memberiku warisan yang cukup keren, di samping kos-kosan pembawa petaka di belakang sana.
"Oh ya hampir lupa, nanti kalau ketemu Sasa jangan sekali-kali manggil dia Sasa kalau Mas De masih pengin selamat. Panggil dia Ve. Ingat itu. VE!" ucapnya yang hanya kujawab dengan anggukan malas. Aku masih terpaku mengamati rumah peninggalan eyang ini.
"Ya udah. Aku pergi dulu. Baik-baik jaga kosan. Bye Mas De, sampai ketemu nanti malam." Yudha segera menghilang dari rumah ini.
Aku sendirian sekarang. Kurasa tidur siang terasa menggiurkan, seharian di kereta lumayan membuat badan kaku. Jadi mari nikmati tidur siang pertamaku di neraka baruku ini, kurasa. Neraka yang sedikit aneh.

In (De) KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang