SUASANA yang tidak asing diawal semester 1 mewarnai Pesantren Al-Ikhwaniyyah. Santri baru sebagian masih didampingi orang tua. Diberbagai sudut tampak wajah-wajah polos lulusan SMP. Ada yang ceria, ada yang tampak kesal, ada pula yang pucat kelelahan. Pakaiannya pun beraneka ragam. Ada yang gaul ala remaja masa kini, ada yang masih gaya anak SMP, ada pula yang berjilbab. Wajah-wajah yang kaku dan kikuk tergambar jelas diraut wajah mereka.
"Huh, menyebalkan! Mama benar-benar tega menyekolahkanku ditempat seperti ini!" Anjani, salah satu santri baru yang sudah mendapatkan kamar menghempaskan tubuhnya dikasur busa tipis. Matanya memperhatikan isi dari ruangan yang cukup besar dengan ukuran 6×9 meter. Tapi, mana tahan satu kamar berisi dua puluh orang? Ada sepuluh ranjang susun, jadi masing-masing santri satu ranjang. Ada dua puluh lemari kecil, ada pula rak-rak plastik.
Saat sedang asyik-asyik nya memperhatikan tiba-tiba seorang gadis menyapanya.
"Kenalan, Mbak."
Memang dikamar itu sudah ada dua santri baru, dan beberapa santri lama yang sedang berada diluar. Jadi, saat ini dikamar itu hanya ada dua orang santri.
Mbak, mbak! Emang aku tukang jamu apa dipanggil mbak! Batin Anjani.
"Nama Mbak siapa?" Gadia itu bicara lagi.
Dengan wajah yang begitu judes, Jani menatap gadis itu dan memperhatikan penampilannya yang begitu tertutup. Lalu, pandangannya beralih pada dirinya sendiri.
Sialan! Selama disini aku harus mengubah penampilan. Huh nggak modis, seperti karung.
"Nama Mbak siapa?" Gadis itu mengulangi lagi.
"Anjani!"
"Mbak berasal darimana?"
"Bandung!"
"Dari SMP apa MTs?"
"SMP!"
"Eumh, menurut Jani kesan waktu pertama kali kesini apa tuh?"
Anjani kesal karena ditanya terus sehingga tidak mau menjawab pertanyaan gadis itu. Ia bahkan memperlihatkan tampang sinis nya.
" Eumh maaf jan kalau aku mengganggu."
"Ngerti juga!" Anjani keceplosan.
Wajah gadis itu memerah. Separti nya ia sangat malu mendengar jawaban Anjani. Akhirnya ia pergi, dan menyibukkan diri dengan menata barang-barangnya. Melihat lawan bicaranya malu, Jani nyengir dan kembali pada aktifitas nya yang tadi sambil merebahkan tubuhnya dikasur.
Tiba-tiba ada seseorang masuk.
"Assalamu'alaikum." Seorang perempuan yang ternyata adalah ibu nya Anjani muncul. Anjani tahu, ibunya datang. Bukannya menjawab salam, ia malah pura-pura tidur.
"Sayang, bangun nak! Mama dan Papa mau pulang ke Bandung."
Anjani tiba-tiba bangun dan berkata "Mama jahat, ini bukan sekolah tapi penjara mah."
"Sudahlah, terima keputusan kami. Kami hanya menginginkan kebaikan untukmu nak. Mama dan Papa sudah membereskan urusanmu disini. Sekarang kami mau pulang. Kalau ada apa-apa hubungi kami."
"Sudah. Sana, sana! Kalau kalian mau pulang, pulang saja. Biarkan aku menderita disini."
"Jangan berkata begitu, Jan."
Anjani tetap diam sementara mamanya terlihat mengalihkan perhatiannya dari Anjani. Sedangkan gadis di ranjang sebelahnya tercengang melihat kejadian tadi.
"Namamu siapa, Nak?" Mama Anjani membuyarkan lamunannya.
"Sari, Tante."
"Asalnya dari mana?"
"Jember sini saja, Tante."
"Wah enak ya dekat sini saja."
"Kesini dengan siapa?"
"Dengan Bapak dan Ibu, tapi mereka sudah pulang dari tadi."
"Oh begitu, Nak Sari, Tante pulang duluan ya, kasihan Papa nya Anjani menunggu lama diluar. Oh iya, Tante doakan mudah-mudahan kamu dan Anjani bisa menjadi sahabat yang baik."
Sari tersenyum sambil menyalami Mama Anjani. Anjani masih saja cemberut. Dan berkata dalam hati 'Huh, sahabat! Sahabat apanya?! Nggak level, beda selera!'♣♣♣
Hari-hari membosankan bagi Anjani. Bagaimana tidak, ia tidak bisa bebas keluyuran seperti saat di Bandung.
"Huuhh! Kenapa sih disini semua diatur? Samapi mandi saja diatur, makan juga. Ngantre, lama tahu gak?! Bisa stres kalau terus-terusan begini." Anjani marah-marah pada dirinya sendiri saat ia sedang menunggu giliran untuk mandi. Santri yang ada satu ruangan bersamanya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kebalikan dari Anjani. Sari justru merasa sangat nyaman berada ditempat ini, karena adanya aturan-aturan itu ia justru dapat melatih kedisiplinan sekaligus kesabarannya. Saat ini, kedua gadis itu sedang sama-sama duduk ditepi ranjang. Hanya saja, Sari sedang komat-kamit menghafal hadist, sedangkan Anjani suntuk 100%. Santri lain tampak sedang berkenalan satu sama lain, ada yang sedang asyik membaca buku, ada yang berbincang-bincang, ada pula yang termenung dengan wajah sedih, mungkin masih belum terbiasa jauh dari keluarga.
"Wuaahhhh" rutuk anjani sembari bangkit dari tepi ranjang dan pergi ke taman samping kelas. Sesampainya disana Anjani mengeluarkan HP dari saku baju nya.
"Hallo!"
"Hai, siapa ya?" Terdengar jawaban dari seberang sana.
"Gue, Anjani!"
Ya, memang sebenarnya gaya bicara Anjani seperti itu gue-elo, hanya saja orang tua nya telah menasihatinya agar tidak menggunakan kata itu selama dipesantren karena akan terkesan tidak sopan disana.
"Sialan! Kemana aja lo?! Udah jarang keliatan sekarang, minggu lalu gue kerumah lo terus kata nyokap lo, lo sekarang nyantri di jember, bener ga tuh?"
"Iya bener!"
"Wehh ga nyangka gue, gimana sekarang lo udah alim? Wah... ga kebayang deh muka lo lucu banget dengan balutan kerudung kampungan ala anak pesantren itu."
"Sialan, gue lagi suntuk berat tahu nggak?! Gue pikir kalau gue telfon lo, lo bisa bikin gue ga suntuk ehh gatau nya lo malah bikin mood gue makin ancur, huh!" Klik telpon ditutup. Baru saja ia mengakhiri pembicaraannya ditelfon, tiba-tiba dua orang santri dari kelas lain sudah berada disampingnya.
"Assalamu'alaikum." Ucapnya berbarengan.
"Eh, wa'alaikumsalam."
"Dik, bisa ikut kami keruang mantib?" Ajak mereka.
Anjani hanya menggangguk dan mengikuti mereka keruang mantib.
Setelah sampai disana...
"Duduk, Dik."
"Kami ingin meminta maaf sebelumnya, kami terpaksa menyita HP mu karena peraruran pesantren tidak memperbolehkan santrinya membawa dan menggunakan HP selama di Pesantren."
"Loh memangnya kenapa? HP itu kan berguna untuk komunikasi, bagaimana kalau mau menghubungi orang tua?"
"Kami mengerti dik, tapi pihak pesantren membuat aturan ini demi kebaikan santri nya agar konsentrasi belajarnya tidak terganggu. Lagipula adik bisa menggunakan fasilitas pesantren untuk menghubungi orang tua melalui wartel."
Anjani hanya melongo dan menampakkan wajah kesalnya.
"Bagaimana, Dik?"
Anjani menyerahkan HP nya dan langsung pergi meninggalkan ruangan itu.♣♣♣
Sabtu, 16 Januari 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Light In The Dark
Teen FictionAnjani, gadis asal Bandung yang begitu tersiksa dengan kehidupan barunya di Pesantren Al-Ikhwaniyyah, Jember. Sebuah kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan yang sebelumnya ia jalani. Dan, Anjani tetaplah Anjani. Banyak tindakannya yang mengh...