Teman baru?

26.4K 1.7K 193
                                    

Saira POV

"Aw..ssh...duh pelan-pelan dong" aku berjengit kesakitan saat kapas berlapiskan alkohol itu menekan sudut bibirku. Uh. Iya, tamparan Rendra yang super panas pagi tadi benar-benar meluluh lantakkan hati dan pipiku.

"Aduh" aku teriak kaget karena obat merah yang mengenai lukaku. Lelaki di depanku ini masih serius mengobati luka di sudut bibir dan pipiku ini. Lelaki? Ah itu...

*flashback on*

Setelah drama pagi yang berupa tamparan yang sangat menyakitkan itu, aku segera membereskan kekacauan yang marlena lakukan. Iya. Masih sempat-sempatnya aku mungutin pecahan kaca dengan luka di bibir dan memar di pipi. Setelah membersihkan kekacauan pagi tadi, aku bergegas ke supermarket yang ada di bawah apartemen, berniat membeli obat untuk menyembuhkan lukaku.

Setelah membeli kapas, alkohol, serta obat-obatan lainnya, aku segera mencari tempat duduk kosong yang biasa disediakan untuk tempat nongkrong abg labil di supermarket ini. Dengan bersusah payah aku mencoba mengobati lukaku sendiri.

"Mau dibantuin nggak?" Aku segera menoleh ke arah suara bariton tersebut. Menyipitkan mataku untuk memperjelas wajah si pemilik suara serak-serak gemas itu.

"Nggak perlu" jawabku agak ketus. Ya, aku inget ucapan mas Rey kalau kita nggak boleh ngobrol sama orang asing. Aku kembali menuangkan alkohol ke kapas dan mencoba mengusapkannya pada lukaku, tapi sedikit kesusahan karena aku lupa tak membawa kaca.

"Yakin?" Lagi-lagi husky voice itu kembali menyeruak dalam pendengaranku aku mendengus pelan. Heran karena sifatnya yang keras kepala. Jelas-jelas udah ditolak. Nggak tau apa saya udah punya suami. Eh? Nggak nyambung ya. Lagian....emang suami kamu ngakuin kamu, Ra?

"Kata abang saya nggak boleh ngobrol sama orang asing." Lagi-lagi aku menjawab dengan jutek dan tak bersahabat. tiba-tiba lelaki itu menarik kursi dan duduk di sampingku.

"Siapa yang nyuruh situ duduk?" Aku melotot kesal karena orang asing ini bertingkah seenak jidat. Duh. Nggak tau apa mood aku lagi jelek hari ini.

"Saya Dito, dokter di rumah sakit yang di ujung jalan situ. Saya tinggal di lantai 10 apartemen atas. Nih ID saya" aku hanya melongo mendengar penjelasan lelaki di hadapanku. Lalu sekali lagi mencoba menilai lelaki yang ada di hadapanku ini. Rambut pendek klimis. Kemeja biru polos. Celana bahan warna hitam. Dan jas putih yang disampirkan di lengannya yang berotot. Rio dewanto kw super!

"Saya nggak tega lihat luka kamu, sini saya bantu obatin biar nggak makin parah" aku tersadar dari lamunanku saat lelaki ini sudah mengambil alih kapas dan obat-obatanku. Ya gapapalah. Orang mau bantuin. Terima aja.

*flashback off*

"Kamu abis ngapain sih sampai memarnya parah gini?"

"Kepo banget sih.. aduh.. pelan-pelan dong"

"Kamu abis tawuran ya?"

"Sotoy banget. Saya bukan anak sma kali"

"Oh abis ngerebutin cowok nih pasti ya" aku tertegun. Tau darimana coba nih rio kw super. Ya sebenernya nggak ngerebutin cowok juga sih. Tapi yah sejenis itu. Tapi nggak juga deng, Rendra kan suami aku.

"Kok diem? Bener ya? Lawan kamu tangguh juga ya. Memarnya sampe parah gini" aku tersenyum kecut. Iyalah. Tangguh banget malah. Orang yang nampar aku laki-laki. sabuk hitam karate pula. Gimana nggak biru-biru mukaku.

"Udah selesai nih. Kamu jangan banyak-banyak mangap ya nanti makin lebar lukanya" aku melotot kesal mendengar gurauannya. Enak aja. Emang aku ikan mujaer yang terdampar sampe mangap-mangap gitu.

"Makasih"

"Gitu doang?"

"Situ mau pamrih?"

"Nggak lah. Saya ikhlas kok. Tapi tau nama biar lebih akrab boleh kan?" Aku memutar bola mataku jengah. Lalu menunjukkan jari manisku yang sudah terpasang cincin pernikahanku dengan Rendra.

"Udah hak milik orang tuh, mas" aku tersenyum geli saat melihat muka tampannya melongo kaget. Iya kaget lah ya. Mungkin itu dokter ganteng mau modus terus gagal. Aku sempat melihat tatapan kecewa di matanya. Ah. Mas dokter yang mirip Rio dewanto coba dateng ke hidup aku lebih cepat 4 tahun. Aku mau deh diajak nikah.

"Cuma mau kenalan jadi temen kok galak amat sih mba jadi cewek." Aku terkekeh. Mas dokter ini ekspresif banget. Seru juga kayaknya punya temen baru. Berhubung teman lelakiku satu-satunya udah bubar jalan. Mungkin nambah satu teman laki-laki nggak papa kali ya?

"Sorry. Cuma ngetes. Takutnya situ gadun yang lagi nyari cabe-cabean"

"Gadun?"

"Iya. Om-om berduit yang suka abg" aku tertawa lebar saat melihat mukanya yang kesal karena ku sebut sebagai gadun.

"Aw..."

"Tuh kan dibilang jangan mangap-mangap dulu bandel sih. Sukurin." Gantian dokter nyasar itu yang menertawakanku. Tapi tak lama ia mengambil obat yang aku beli tadi dan mengoleskannya ke sudut bibirku yang terasa nyut-nyutan itu. Uh aku masih merasakan nyeri di sudut bibirku.

"Kamu tinggal di apartemen atas juga?"

"Iya. Sama suami aku. Di lantai 15."

"Oh.. baru ya, mba? Saya nggak pernah liat mbanya sih"

"Iya baru pindah kemarin. Panggil Saira aja, mas dokter. Emang saya tua banget apa dipanggil mba"

"Yee kan tadi situ yang nggak mau ngasi tau namanya" aku tersenyum malu membenarkan. Iya juga deng ya. Maafin deh mas dokter tadi mood saya masih jelek.

"Aduh! Udah jam 1 nih waktu istirahat saya udah mau abis. Saya balik menunaikan tugas lagi ya. Kamu kalo masih sakit ke rumah sakit di ujung jalan aja ya. Nanti saya sembuhin"

"Siap pak dokter! Makasih ya udah dibantuin"

"Itu emang tugas seorang dokter. Membantu orang sakit." Aku terkekeh mendengar pernyataannya yang terdengar seperti iklan semboyan rumah sakit di televisi. Dito bergegas berdiri dan tersenyum.

"Saya duluan ya. Senang berkenalan denganmu, Saira" ucapnya manis dan berlalu dari hadapanku.

Aku tersenyum menatap kepergiaannya. Well, teman baru memang dibutuhkan bukan saat ini? Bersuami bukan berartictidak boleh berteman dengan lawan jenis kan? Aku membereskan alat-alat yang berserakan di meja ini. Saat berdiri aku mendengar suara benda terjatuh. Aku pun memungut benda yang terjatuh itu. sebuah id card.

Dr. Andito Nugroho. 32 tahun. Spesialis jantung. ini pasti punya dokter dito. Namanya Andito. Ah aku baru ingat tadi dia sempat memberikan id cardnya padaku. Pasti aku saking terpesonanya sampai nggak sadar kalau dikasih ini kartu. Duh. Malu-maluin.

Ntar aja deh aku anterin ke rumah sakitnya. Aku harus ke kampus nemuin dosen pembimbing pertama yang super sibuk ngalahin dekan. Sebelum dia lari-larian berkelana ke seluruh gedung kampus mending aku samperin duluan.

Aku melihat penampilanku yang terpantul dari pintu supermarket. Berantakan. Oh. Aku harus pulang dan berbenah sebentar penampilanku super kacau. Seenggaknya aku harus pake bedak untuk menutupi memarnya.

Aku menghela nafas kasar. Lalu berjalan pulang menuju apartemen. Pulang? Aku tersenyum miris mengingat kata itu. Bukankah pulang harusnya pergi ke tempat yang menawarkan kehangatan dan kenyamanan? Kalau pulang ke tempat yang menyisakan kesedihan...pantaskah disebut pulang?

Aku berhenti terpaku didepan pintu apartemen. Terdengar suara tawa lelaki yang sangat aku kenal dari balik pintu ini. Disusul dengan tawa perempuan. Aku tersenyum miris. Beberapa minggu lalu, tawa lelaki itu masih sering aku dengar. Beberapa minggu lalu tempat perempuan itu masih aku tempati. Beberapa minggu lalu aku masih bisa tertawa lepas bersama dengan lelaki kesayanganku. Tapi lihat.. dalam beberapa minggu semuanya berubah drastis. Hidup ini.......lucu ya?

********

Saira is back wkwkwk cie ada cast baru. Saira enaknya sama Rendra apa Dito yaaaaaa?

Btw, makasih banyak buat komentar dan votes nya ya para readers ku yang baiikkkk hehehe sorry kalau lama atau jarang bales-balesin komennya hehehe tetep sabar nunggu updatean Saira yang seuprit ini yaaa!

Unwanted WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang