-Author PROV-
Jemari mereka bergenggaman erat. Melangkah penuh kebahagian di tengah hiruk-pikuk siswa lainnya yang tengah sibuk mencari nama mereka di setiap sudut kelas. Hati mereka terisi penuh dengan kebhagiaan, penuh kemenangan akan keberhasilan mereka mendapatkan ruang kelas yang sama di sekolah yang mereka impikan. Menjadi sahabat semenjak kecil, selalu satu sekolah mulai dari semasa TK hingga SMP, mereka sama sekali tak berkesempatan untuk memiliki ruang kelas yang sama. Namun, takdir seperti terbalik 180º ketika mereka masuk ke dunia baru mereka. Mereka berhasil menempatkan kedua nama mereka di ruang yang sama. Mereka percaya, untuk ke depannya, mereka akan terus bersama dan akan banyak kejadian menyenangkan bagi mereka karena menetap di ruang kelas yang sama. Ya, begitu kepercayaan mereka. Hanya sebuah kepercayaan yang belum terbuktikkan sama sekali.
Mereka tak pernah tau, justru dari kebersamaan yang terlalu sering bertemulah mereka akan mengalami banyak masalah. Masalah yang mudah sampai masalah yang sangat rumit. Masalah yang paling orang-orang takuti. Masalah yang tak pernah mereka rencanakan sebelumnya. Masalah kematian. Tak pernah ada yang tau dari mereka harus ada yang berjuang, berkorban, bersandar sepenuhnya pada Tuhan. Mereka masih tak memiliki pandangan yang jelas tentang mereka nantinya. Yang jelas, semua tak ada yang berjalan dengan baik. Semua akan hancur dan ... musnah.
-Neva-
Aku meletakkan tasku dengan riang, begitu pun dia. Ah, akhirnya penantianku untuk sekelas dengannya menemukan titik akhir. Selama 11 tahun bersekolah di lembaga yang sama, kami tak pernah berkesempatan memiliki ruang kelas yang sama. Berbagi bekal ketika bel pelajaran berakhir dan berbincang ketika guru tengah menjelaskan pelajaran. Ah, lega sekali rasanya melihat ranselnya berada tepat di samping bangku ku. Bagaimana aku menggambarkan ini? Aku bahagia sekali. Kalian harus tau itu.
Dia mengulurkan kedua tangannya. Melebarkannya selebar mungkin. Menungguku memeluknya. Aku segera memeluknya. Kami berteriak kegeringan. Aneh memang. Terlalu kekanak-kanakkan. Tapi tak apalah. Ini bagai mimpi. Kami sudah merayakannya, tapi tetap saja rasanya tak cukup. Kami terlalu bahagia.
" Kamu nggak bakal nyimpen rahasia dari aku lagi, kan?" Tanyanya saat melepas pelukan. Aku mengangguk cepat. Mengulurkan jari kelingkingku.
"Janji." Ujarku yakin. Ia segera mengaitkan jari kelingkingnya. Kami tersenyum lebar bersama. Tak lama setelah itu, bel jam pelajaran bordering nyaring. Pelajaran pertama kami!
***
Aku menulis asal di kertas bukuku. Jam pertama, kosong. Siswa berhamburan kemana-mana. Termasuk dia. Dia berkumpul bersama beberapa teman SMP kami. Aku tidak begitu tertarik untuk beranjak dari bangkuku. Lebih nyaman seperti ini. Duduk di tengah keramaian dengan penku dan menulis beberapa rancangan cerita yang ingin kuciptakan. Ya, aku ingin sekali menciptakan dongeng pengantar tidur, sayangnya aku tak pandai menggambar. Aku hanya bisa berimajinasi dan menumpahkannya dalam tulisan. Aku ingin sekali menemukan partner untuk menggambar cerita-ceritaku. Andaikan saja aku bisa menemukannya. Andaikan...
Aku menoleh ke samping kananku. Tepat dengan koridor. Aku tertegun. Melihat dia duduk di pembatas koridor. Bercanda bersama temannya. Aku menelan ludah sebisaku. Rasanya aneh. Ada yang bergejolak. Hatiku. Aku tersenyum malu ketika melihat dia menepuk pahanya dan tertawa terpingkal-pingkal. Manis sekali. Penku tanpa kusadari bergerak tak jelas arah. Aku semakin menikmati tawanya. Meletakkan tanganku untuk menyangga kepalaku. Memeringkan kepalaku ke kanan, mengamati setiap inci dari senyumnya. Sampai akhirnya, ia yang tengah membenarkan letak kaca matanya tak sengaja membuang pandangan ke arahku. Aku tertatih menyembunyikan pandanganku darinya. Setelah itu, aku samar-samar mendengar langkah kakiknya menjauh bersama sekumpulan temannya. Ah, manis sekali senyumnya.
YOU ARE READING
LUKA
RomanceKetika hati saling beradu. Mencari muara tanpa tau letaknya. Bimbang yang menjadi penentu, semakin tak jelas arah. Namun, mengapa langkah tetap berpijak di atas bumi? Mengapa tak terhempas saja raga ini bertemu Tuhan. Menumpahkan darah sebab luka te...