"Untuk mengerjakan tugas tiga, kalian bisa mencari dua sampai tiga partner untuk mendiskusikan tugas tersebut." Jelas Bu Dena, sambil tersenyum.
Teman-temanku yang lain langsung berhamburan, mencari partner yang disukai. Aku sendiri hanya duduk seraya menatap kegaduhan yang barusan saja tercipta.
Entah bagaimana ekspresiku, yang jelas aku bingung, pasalnya aku baru pindah ke sini seminggu yang lalu, dan belum memiliki teman yang cukup dekat. Lagipula murid-murid di sekolah ini lebih suka mengelompok.
Bahkan selama seminggu ini aku selalu duduk di kantin dengan kelompok yang berbeda. Yah, untungnya mereka ramah dan sangat menjaga perasaan. Tentu sangat berbeda dengan drama-drama di televisi.
"Sera, kau bergabung denganku saja ya?" Kataku pada Sera. Gadis yang duduk di dekatku.
"Bukan ide yang buruk. Dan kelihatannya mereka sudah mendapatkan partner masing-masing." Ia mengedarlan pandangannya ke sekeliling kelas.
"Oke." Aku mengangguk sambil tersenyum.
Beberapa menit setelahnya, Bu Dena memukulkan penghapus papan tulis ke meja.
Suara kami mulai mereda. Bu Dena tampaknya sudah pusing dan ingin cepat-cepat pulang ke rumahnya. Mengisi tiga jam pelajaran di kelasku memang bukan hal yang menyenangkan mengingat kegaduhan yang selalu ada.
"Semuanya sudah mendapat kelompok?"
Dreu angkat bicara. "Saya belum mendapatkan kelompok Bu."
Bu Dena melihat kami satu persatu. Dan berhenti di tempat dudukku.
"Rien, Dreu satu kelompok denganmu saja oke?"
Aku mengangguk. Dreu cukup pintar, jadi mungkin tugas kami bisa selesai lebih cepat kareba keberadaannya bukan?
***
"Sera, aku tak pernah melihatmu beristirahat di kantin. Kau ada dimana?" Tanyaku, aku mengeratkan tali tasku setelahnya.
"Hehe, aku menemani Sandra. Dia temanku dari kelas tetangga. Aku sekelas dengannya saat sekolah dasar." Jawabnya seraya tersenyum.
"Kau pernah melihatnya?" lanjutnya.
Aku menangguk. "Gadis yangengenakan setelan putih tulang itu 'kan?
Sera tersenyum senang, ia mengangguk. "Dari dulu ia belum mendapatkan teman yang peduli di kelasnya. Jadi aku yang menemaninya. Yah kau tahu kebiasaan anak-anak disini 'kan?"
Aku habya mengangguk saja. Setelahnya kami hanya diam. Aku kehabisan topik, diapun begitu.
Ah, rasanya perjalanan ke rumah Dreu akan sedikit membosankan. Aku bukan tipe pembicara yang baik, aku lebih suka mendengarkan.
Hari ini, sepulang sekolah aku langsung pergi ke rumah Dreu. Ia menawarkan rumahnya padaku untuk dipakai sebagai tempat pengerjaaan tugas. Aku dan Sera setuju dengan hal itu, lagipula rumah lumayan dekat dengan sekolah.
Buktinya setelah lima belas menit, kami sudah berada di depan pintu rumahnya.
Aku mengetuk pintunya. Selang beberapa detik kemudian seorang wanita berumur membuka pintunya. "Ah, kamu pasti teman Dreu. Masuklah! Ia sudah menunggu."
Aku kemudian berjalan masuk ke dalamnya. Menggandeng tangan Sera yang semakin lama semakin dingin.
Aku mengengok kebelakang. "Sera, apa kau sakit?" Tanyaku.
Ia menggeleng. "Ayo kita ke atas."
Kami menaiki banyak anak tangga. Rumah Dreu benar-benar besar. Sepertiga perabotan rumahnya terbuat dari kayu berpelitur sehingga sangat licin.
Ruang atas pun terlihat luas. Masih setengah kosong. Aku berhenti di sebuah kamar. Di pintunya sebuah papan tergantung. Dreu's Room.
Baru saja ingin memegang gagangnya, namun pintunya malah terbuka lebih dahulu. Dreu tersenyum hangat. "Ayo masuk!"
Aku dan Sera masuk ke dalam. Kami langsung duduk di karpet berbulu yang ada di tengah kamar Dreu.
Dreu membuka bukunya. Mencoret entah apa. Mulutnya mengoceh tanpa henti. Ia sedang membagi tugas.
Aku menunggu nama Sera disebut, pasalnya sedari tadi namanya tak pernah disebut oleh Dreu. Sera kan kelompoknya juga.
"Dreu, bagaimana dengan Sera? Ia belum mendapat tugas." Tanyaku disaat ia membagi tugas.
Ah, tugasku sudah semakin banyak sementara, nama Sera sama sekali tak disebut olehnya.
"Apa maksudmu?" Tanyanya bingung.
Aku memutar bola mataku. "Oh lord, aku bipang kalau Sera belum mendapat tugas. Dan, oh, kurasa tugasku terlalu banyak, sementara ia belum mendapatkan tugas apapun. Tentu saja ini terlihat tak adil." Jelasku. Kemudian aku menatap Sera yang terlihat gelisah.
"Jangan menakutiku, Rien. Ia merupakan salah satu korban penindasan yang meninggal tahun lalu." Jelasnya.
Aku membelakkan mataku. Kemudian menatap Sera yang menunjukan rasa bersalahnya.
Keringat dingin langsung keluar dari pori-poriku.
Aku menggigit bibirku. Menatap Sera sekali lagi.
Jadi ini alasannya kenapa ia selalu sendiri.
Jadi soal dirinya yang tak pernah diajak berinteraksi itu, memang karena ia sudah tak berada di dunia ini lagi. Tapi Sandra?
"Tetapi Dreu, dia ada di sini. Sedari tadi." Aku menatap Dreu yang terlihat gelisah.
Pikiranku kalut. Jika Sera sudah mati, untuk apa ia berkeliaran di sekitar sini?
Duh.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bucket of Fear
Short StoryKumpulan Cerita . . Narami memang penakut sejak kecil. Apalagi Nori menceritakan kisah mengerikan padanya. Membuat rasa takutnya tambah menjadi-jadi. Seiring bertambahnya angka di kalender, rasa takut Narami berangsur hilang. Namun, ia malah mengala...