***
Sinar! Kemana saja kemarin sore? Gue telpon ngga diangkat. Gue sms ngga di bales. Gue samperin ke rumah, kata nyokap loe lagi keluar. Gue cari di Joglo loe ngga ada. Loe ngilang gitu aja. Nggak asik. Gue lagi butuh loe tau. Gue hampir mati tau ngga!
Riangga berdiri di depan Sinar dengan muka setengah marah. Ya, bagaimana ia tidak marah bila perkejaannya semakin menumpuk karena ulah Sinar yang tiba-tiba menghilang hampir satu minggu. Semua laporan Sinar, Riangga yang mengerjakannya. Ditambah lagi, bos yang sangat membenci keterlambatan laporan kemajuan setiap harinya. Riangga harus kerja ekstra. Ya, kerja untuk pekerjaannya dan untuk pekerjaan Sinar. Belum lagi ia harus mengurus "coffee cafee" miliknya di sore hingga larut malam. Ia mengecek segala perlengkapan, bahan, dan administrasi yang berjalan disana. Pekerjaan yang tidak mudah memang. Namun Riangga sangat menemukinya.
Waktu yang ia punya pun sangat terbatas. Ia hanya punya waktu luang hari sabtu. Tentu hari itu untuk keluarga yang ia cintai. Ditengah kesibukannya, ia selalu menyempatkan diri untuk sekadar menelpon mama atau adiknya secara bergantian. Bila tak sempat ia pasti mengirim sms ke mamah atau adinya. Sekadar memberi kabar atau menanyakan kabar. Itulah rutinitas yang ia lakukan di tengah kesibukannya.
Wajar saja jika tiba-tiba Riangga marah kepada Sinar. Dia tak sengaja menemukan Sinar sedang duduk di taman dengan headset yang dikalungankan di lehernya dan novel tebal yang ada digenggamannya.
Melihat raut wajah Riangga yang sedikit marah Sinar tak berani bergurau. Ia hanya menunduk tidak mengatakan sepatah katapun kepada Riangga.
"Sinar! Loe denger gue ngga sih?" bentak Riangga yang semakin kesal dengan ulah Sinar yang selalu memperlakukannya seperti itu ketika Riangga sedang marah.
Sinar memeluk Riangga dengan erat kemudian melepaskan pelukannya.
"Thanks cumiciooo.", kata Sinar dengan nada manja. Ia mencubit pipi Riangga seperti ia mencubit anak kecil yang begitu menggemaskan.
Entah sihir apa yang diberikan Sinar kepada Riangga. Dengan hal sepele seperti itu, Riangga langsung tertawa kecil dan marahnya sedikit reda.
"jurus loe emang maut. Selalu bikin mood devilku selalu turun. Dasar cumioo" Kata riangga sambil mengacak rambut Sinar dan memeluknya kembali"
"sorry cumicioo. Gue ga niat mau bolos kerja. gue mager. Hehee.. but, thanks yaa udah ngehandle kerjaan gue. Loe emang top dah. Ngga sia-sia deh gue temenan sama loe.", kata Sinar sambil menepuk pipi Riangga,
Riangga hanya tersenyum dan menjitak jidat Sinar. Sinar kesakitan dengan ulah Riangga. Ia tak mau kalah. Ia membalas perlakuan Riangga tapi apa daya, Riangga yang telah menjauh dari Sinar. Ia lari menjauhi Sinar. Sinar mengejar Riangga sambil tertawa riang di tengah-tengah taman. Namun apa daya, lari Riangga yang tak bisa ia imbangi dan akhirnya ia pun tiduran diatas rumput taman dan menikmati udara sore serta langit senja yang ia kagumi.
"senja memang tak banyak memberikan waktu bagiku. Tapi perasaan yang kamu berikan begitu kuat dan begitu dahsyat. Aku selalu mengagumimu. Awan jingga berarak merah lantas hitam. Tak akan aku biarkan mataku meleawatkan senja dengan matahari yang berwarna kemerahan.", gumamnya dalam hati.
Riangga yang telah menemukan lagi keberadaan Sinar langsung berbaring disampingnya. Bersama Sinar, melewati senja hingga petang tiba dan mengajaknya pulang.
***
"Mas cepetan sini, bapak sama adek udah siap makan malam. Mas cepat ganti bajunya. Ini adek sudah lapar." Kata ibunda Riangga.
"ya, Bun. Sebentar. Mas lagi ngeringiin rambut. Habis mandi.", kata Riangga
"Dari tadi ngeringin rambut kok ngga selesai-selesai. Masmu itu Pi, ngga pernah berubah. Pasti betah banget kalau di dalam kamar." Kata ibunda Riangga sambil menata makanan di meja makan.
Ayahnya sedang membaca koran dan adik kembarnya yang sedang asik bermain gadget dan sesekali memerhatikan ibundanya yang menyiapkan makan malam.
"hemm.. semur daging sapi kesukaan mas, nih. Makasih bunda. Bunda tau aja kalau mas lagi pengen makan semur daging sapi." Kata Riangga.
Ya, ibunda Riangga tahu persis jika Riangga sedang ingin makan semur daging sapi. Ia kemudian mengambilkan nasi untuk bapak, Mas Riangga, dan Opa-Opi. Mereka menikmati hidangan yang dimasak oleh ibunda Riangga.
"Pak, tadi Opi dapat nilai 9 loh pas ulangan matematika.", kata Opi dengan bangga di sela-sela makannya.
"wah hebat kamu Pi. Bapak bangga sama kamu. Belajar yang rajin ya, nanti kalau kamu bisa rangking satu, bapak kasih hadiah deh.", kata bapak
"dek Opi, itu ayah dek bukan bapak.", kata Opa
"ih, itu bapak bang Opa." Kata Opi
"bapak"
"ayah"
"bapak bang"
"ihh itu ayah ayah a-y-ah, adekk. Ihh!"
Mas Riangga, bapak, dan bunda hanya tersenyum geli melihat tingkah Opa dan Opi. Ya, maklum mereka yang masih kelas 1 SD belum menyadari persamaan arti bapak dan ayah.
"Sudah sudah, makannya dihabiskan. Jangan ribut kalau makan. Nanti tersedak loh. Bahaya.", kata bunda
"iyah makan dulu sayang, nanti ngga habis kalau debat terus.", kata bapak
Mas Riangga hanya mengelus kepala adik-adiknya yang lucu.
"Mas Riang kapan kita main lagi sama kakak cantik itu? Opa Opi udah kangen nih..", kata Opi.
Riangga kaget. Ia sudah lama tak mengajak Sinar ke rumah. Ya, karena pekerjaan yang semakin banyak dan usahanya yang semakin besar.
"tunggu kakak cantik sampai punya waktu luang ya sayang, kakak cantiknya lagi sibuk.
Makan malam pun selesai. Bapak dan Bunda serta si kembar duduk di depan TV sambil mengejakan PR mereka masing-masing. Riangga kembali ke kamar.
"Mas Riangga sini dulu. Duduk sama bapak sama adek-adek dulu sini. Masa ke kamar lagi.", kata Bunda.
"hehe, nanti saja Bund. Mas Riangga capek. Adek adek belajar yang rajin ya.. nanti kalau juara mas ajak main sama kakak cantik", kata Riangga
Kedua adikya mengacungkan jempol.
"Sudahlah bun, tidak apa-apa. Riangga butuh proses untuk mengerti semua ini. Aku tau kalau dia sangat sayang sama Wahyu Arjuna Permana. Tempat itu tidak bisa aku gantikan. Aku hanya berusaha mendampinginya, memberi kasih sayang padanya. Biar waktu yang mengajarkan dia untuk ikhlas. Mengikhlaskan Arjuna dan kenangan bersamanya. Meski sulit, aku yakin dia pasti bisa. Mas Riangga anak yang kuat dan pintar, aku yakin dia pasti bisa. Bunda tenang saja, ya. Bapak ngga apa-apa", sambil merangkul dan menepuk pundak istrinya.
"makasih ya mas, sudah mau bersabar menghadapi perilaku dingin Riangga yang seperti itu.", kata Vera, ibunda Riangga.
Irwansyah Bagaskoro, suami Verawati tersenyum. Kemudian beranjak ke dapur untuk membersihkan piring-piring kotor dan membuat seteko es jeruk untuk suami dan kedua anak kembarnya.
YOU ARE READING
Sementara Kamu
Random"seandainya, kamu bertahan sebentar saja dan lebih bersabar sedikit lagi. Mungkin kisah kita tak akan seperti ini. " kata Re. "semua telah berlalu, Rey. Untuk apa kau ungkapkan kata seandainya bila sekarang pun kau tak bisa mengubah seandainya menj...