Kegagalan dalam hidup itu adalah hal yang wajar. Semua orang pasti pernah berada di tempat yang sama dan juga mencoba untuk keluar dari sana. Sama halnya seperti Rea sekarang. Tubuhnya masih terduduk dengan lunglai di depan meja belajarnya. Dia sama sekali tidak menyangka hal ini akan terjadi kepadanya. Selama setahun ini, perempuan berambut panjang itu mencoba untuk menggapai yang dia inginkan tetapi sudah banyak orang yang tidak ingin hal itu terjadi kepadanya.
Matanya mulai basah menatap layar laptopnya. Semua teman-teman SMA-nya bercerita tentang universitas favorit mereka yang menerima pendaftaran mereka semua. Rea masih terduduk dan dia menghela nafas, melirik almamater universitas yang tergantung rapi di gagang pintu lemari. Kalau bukan karena paksaan kedua orangtuanya, Rea tidak mungkin akan berkuliah di sana.
"Rea mana sih? Ngilang."
Rea hanya tersenyum kecil dan menutup layar laptopnya. Dia merasa jauh, merasa hambar, dan merasa kabur dibanding ketika dia nyaris menangis saat graduation angkatan SMA-nya. Rea seakan-akan berlari menghindar dari teman-temannya itu. Menghindar karena dia bukanlah Rea yang mempunyai sejuta harapan dan mimpi seperti Rea yang berumur 15 tahun. Rea yang seperti itu sudah tidak ada lagi... mungkin.
Sekarang Rheandra Arana adalah seorang perempuan yang hanya bisa menerima semua hal yang dilempar ke arahnya dan mencoba untuk ada tanpa protes atau memberontak sama sekali. Dia tidak akan protes lagi atau apapun itu karena menurutnya, hal-hal itu sudah tidak ada gunanya.
"Nanti kita meet upnya di kafenya si Alvin." salah satu teman sejurusan Rea mengirim pesan ke grup angkatan. Rea melirik layar HP-nya dan menatap jurnalnya yang terbuka. Meet up yang dimaksud itu hari ini dan di hari ini juga, Rea tidak melakukan apa-apa. Dia menghela nafas dan langsung mengambil celana jeans dan flanel merah miliknya. Setelah berganti baju dan menaruh HP dan dompetnya di dalam tas kecil berwarna merah miliknya, perempuan itu langsung pergi ke bawah, menghampiri mobilnya yang terparkir rapi di garasi.
Rea hanya ingin keluar rumah karena dirinya bosan, bukan karena perempuan itu ingin berbicara dengan teman-temannya ini.
***
Hari menunjukkan jam sebelas siang ketika Rea sudah memarkirkan mobilnya di kafe tempat salah satu teman seangkatannya bekerja, Alvin. Perempuan itu memakai loose t-shirt dan jeans berwarna hitam dengan sepatu vans putih miliknya. Rambutnya dicepol sedikit berantakan dan di tangannya terdapat sebuah novel. Rea mempunyai kebiasaan membawa novel ketika sedang berada di luar rumah karena hobinya yaitu membaca.
Rea membuka pintu tersebut dan melihat beberapa teman-temannya sudah ada di sana, termasuk Alvin yang langsung menyambutnya. "Lo Rea kan?" tanyanya langsung sambil tersenyum. Rea menoleh dan tersenyum kecil sebelum mengangguk ke arah laki-laki itu. "Duduk gih. Lo mau apa? Biar gue bikinin." Laki-laki itu memakai kaos berwarna putih dengan celana jeans hitam. Begitu sadar bahwa ubun-ubunnya hanya sebahu Alvin, Rea hanya bisa terdiam.
"Ah. Lo barista?" akhirnya Rea bertanya. Baru pertama kali Rea berbicara dengan teman seangkatannya ini dan perempuan itu mencoba untuk tidak menggerutu kepada dirinya sendiri.
"Iya, gue barista. Lo mau apa?"
"Iced cappuccino might be nice." jawabnya sambil kembali menatap Alvin. Laki-laki itu langsung mengangguk kecil sebelum tenggelam dalam kerjaannya membuat kopi untuk perempuan itu.
Rea langsung duduk di salah satu kursi di dekat teman-temannya dan kembali dalam lamunannya. Perempuan itu mencoba untuk berbaur dengan teman-temannya dan tetap sendiri. Dia mulai membuka bukunya, tidak menggubris obrolan teman-temannya yang entah tentang apa.
"Nih kopi lo." tiba-tiba Rea sudah bisa mendengar suara Alvin di dekatnya. Perempuan itu tersenyum dan berterima kasih sebelum bibirnya menyeruput kopi tersebut. Manis, itu yang ada di pikiran Rea sebelum kembali menatap buku yang ada di tangannya. Alvin masih memerhatikan perempuan itu membaca sebelum dia duduk di sebelahnya. "Buku apa tuh?"
Rea menoleh. "Novel." jawabnya singkat.
"Kenapa gak ngobrol sama yang lain? Join gih." Here we go again.
"I am not a talker, Vin. Gue lebih suka diem sambil baca buku, hehe. Gue ke sini juga karena gak ada kerjaan di rumah."
"How do you know my name?"
"Nametag lo. Haha. Salam kenal ya." Rea mengulurkan tangannya dan mereka berdua bersalaman. Tidak sadar bahwa Rea sudah mematahkan janji kepada diri sendiri untuk tidak mencoba untuk berkenalan dengan siapapun. 'At least I need a friend, I guess.' gumamnya sambil kembali mengobrol dengan Alvin.
***
Sometimes, we need to break some promises. Itu yang ada di pikiran Rea sekarang. Bahkan, lebih dari mematahkannya. Semenjak Rea pergi dari kafe tersebut, perempuan itu menghabiskan waktunya untuk mengobrol dengan Alvin di LINE. Mereka mulai hanya dengan membahas soal jurusan sampai ke hal-hal random lainnya.
Rea tersenyum kecil dan tangan kirinya terus-terusan meraih Doritos yang menjadi cemilannya malam ini. Fokusnya terbelah oleh Alvin dan bacaannya.
Seorang Alvin Devano yang hanya beberapa bulan lebih muda dari Rea adalah seorang coffee addict yang senang sekali menjadi seorang barista. Cita-citanya yang menjadi seorang pengusaha membuatnya sangat memerhatikan setiap detil hal-hal yang dikerjakannya. Belum lagi dengan tubuh tegapnya dan suaranya yang tegas.
But, Rea will always have a mind of not dating anyone in her new campus. Walaupun Rea dan Alvin sudah berdiskusi panjang semenjak di kafe tadi, tetap saja Rea mencoba untuk menepis kemungkinan-kemungkinan mereka berdua pacaran. 'He is not like Rio, after all' gumam Rea, mengingat Rio atau Mario Renaldo, mantan pacarnya yang sekarang adalah sahabatnya. Rea sudah berjanji kepada Rio bahwa dia akan menemukan laki-laki yang sebaik atau lebih baik darinya untuk dijadikan pacar.
Rea mencoba untuk tidak menggubris lagi pikirannya dan membuka laptopnya. Mulai terlihat beberapa teman-temannya bergosip ria di grup angkatan. Rea hanya tergelak melihat curhatan salah satu temannya, Fira, yang mendumel tentang OSPEK. Perempuan itu membuka Google Chrome dan mengetik , sebuah website menulis yang menjadi kegemarannya sejak dua tahun lalu.
Perempuan itu menghela nafas lagi. Semenjak kelulusan, dirinya sudah tidak mempunyai inspirasi sama sekali. Dengan Rea yang merasa terpuruk dengan kehidupannya setelah SMA, inspirasi itu menghilang dari pandangannya. Sudah lama dirinya mencoba untuk menulis cerita, bahkan puisi, dan hasilnya selalu nihil. Inspirasinya hilang. Keinginannya hilang, walaupun sudah dipaksakan sekeras mungkin. Walaupun sudah ada Microsoft Word muncul di depan layarnya.
"Rea, sudah waktunya makan!" dia mendengar suara ibunya dari lantai bawah. Perutnya sama sekali tidak keroncongan ataupun dia punya nafsu untuk makan. "Kamu mau makan, Nak?"
"Gak, Ma! Rea mau nyemil buah aja nanti." balasnya, masih dari kamar. Semenjak kedua orangtuanya membatalkan Rea untuk mendaftar di salah satu universitas di Amerika Serikat beberapa bulan lalu dengan alasan yang membuat Rea marah, perempuan itu semakin jauh dari orangtuanya. Perempuan itu semakin canggung dan menutup dirinya. Untung saja orangtuanya juga cuek atau rumah ini akan menjadi chaos dan tidak menyenangkan.
***
YOU ARE READING
Gravity
Teen FictionRheandra Arana adalah seorang perempuan tegas yang suka menyuarakan pendapatnya dan juga ceria. Dia merasa semuanya baik-baik saja sampai pada akhirnya satu persatu hal yang diinginkannya gagal dan dia langsung merasa terpuruk. Dia kehilangan diriny...