Chapter 3

62 1 1
                                    

Aziz sebenarnya hampir saja refleks mengerem dan meminggirkan RV. Hanya saja RV bukanlah seperti mobil biasa yang mudah dipinggirkan begitu saja. Menyetir RV membutuhkan konsentrasi dan rencana sebelum mengarahkan hendak kemana.

"Vit?" sentuh Yayank pelan ke lengan Cita yang lebam. Matanya kali ini penuh dengan kerisauan yang kental.

"Gue gak papa!" Cita tak sengaja berkata lebih keras dari yang ia rencanakan.

"Kalo gak papa, elo gak lebam dan biru semua gini dong, Cit. Semenjak kapan elo nyimpen rahasia gitu dari kita?" CP tiba-tiba mendudukkan diri di ruang kosong antara kursi Aziz dan Cita. Ia berjongkok menatap Cita, dan Cita yang amat sangat benci menangis di depan orang lain tiba-tiba memeluknya dan menangis tersedu.

"Gue dipukulin, Pe'. Gue sering banget dipukulin. Gue gak punya temen. Lo tau gue pasti ngelawan? Tapi mereka banyak banget, mereka mukulin gue beberapa kali seminggu. Gue takut, tapi gue gak tau mau kemana. Gue gak bisa jauh-jauh dari kalian dan gue gak boleh lagi sekolah di 3V."

Ketiga sahabat itu terpaku. Aziz melihat Walmart dengan khas parkiran besarnya di sebelah kanan. Ia memasuki RVnya kesitu dan kemudian mematikan mesinnya. Yayank terpaku bisu. Ia tak pernah tahu kalimat apa yang bisa diucapkan di suasana seperti ini. Yang hanya ia ingin lakukan adalah membalas setiap pukulan di badan Cita. Tak peduli bahwa yang memukuli Cita adalah perempuan. Ia tak peduli. Aziz dengan badan besarnya memeluk Cita dan CP sekalian. Tanpa berkata apa-apa ia kemudian berdiri mencari kotak P3K dan perlahan menorehkan obat di lebam lengan dan leher Cita.

"Cit, bagian yang lain gak mungkin gue yang ngobatin lo kan?" tanya Aziz polos.

"Ya gak mungkin juga kan CP ama Yayank?" jawab Cita.

"Kalo kita ke klinik di dalam Walmart pasti elo langsung disangka korban abuse kalo ngeliat luka-luka lo."

"Gue udah gak papa kok, Jis. Bagian lain juga udah gak papa," Cita mencoba memberhentikan air matanya dengan sekuat tenaga.

Dengan gerakan selembut yang ia bisa, CP mengusap air mata Cita. Matanya perih menahan sakit di hatinya yang begitu menohok. Mengapa ia merasa selalu terlalu lemah untuk menolong Cita? Ia hampir terlambat waktu peristiwa di Lian lalu, dan kini...mengapa mereka membenci Cita?

"Cit? Kenapa mereka ampe kayak gini ke elo?" tanya Aziz.

Cita hanya menggelengkan kepalanya.

"Cita! Serius! Setelah semua yang kita lewatin, elo gak mau cerita?" Yayank tiba-tiba berbicara. Matanya marah, kecewa, sakit.

Cita menarik nafasnya, berat. Bagaimanakah ia mau cerita, bahwa kaum hawa di Teratai dipenuhi rasa iri? Bahwa semua ini hanya karena perempuan-perempuan itu menyukai Kato, kemudian menyukai CP, dan juga Yayank. Dan ketiga laki-laki ini semua bertaut kehidupannya dengan seorang Cita. Kato sibuk berganti-ganti pacar. Yayank dan CP tak pernah menaruh peduli dengan anak-anak Teratai. Alasan mereka? Perbedaan kelas sosial yang jauh yang membuat mereka tak tertarik dengan perempuan-perempuan itu. Kemarahan mereka tak digubris bisa disalurkan ke satu orang saja, Cita. Dari manakah ia bisa mulai bercerita? Cita hendak berkata lagi bahwa ia tidak apa-apa, tetapi matanya bertaut dengan mata Yayank. Akhirnya, seperti DAM yang tak lagi tertahan, air bah cerita itu pun tumpah. Yayank terlihat semakin puruk. Ketiga sahabat laki-lakinya tak berkata apa-apa lama setelah Cita menyelesaikan ceritanya. Aziz tiba-tiba menggendong Cita dan mengangkatnya ke kamar di bagian belakang RV. Perlahan ia taruh Cita, sambil menutup pintu kamar dan membalik ke bagian supir, ia berkata "Lo pasti gak pernah bisa tidur nyenyak selama setahun ini. Lo tidur dulu, yang panjang. Gak bakal ada yang nyakitin lo disini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Summer di ChapoolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang