SATU

9.9K 718 506
                                    

Abel & Miko


"Iya, aku mau."

Teriakan dan seruan tertahan terdengar karena ada aksi 'menembak' di tengah lapangan sekolah. Sang perempuan menerima pernyataan cinta sang laki-laki. Abel mendengar kejadian itu dari kantin. Ia tersenyum kecil lalu kembali menyeruput es teh manis di hadapannya.

"Bel, San," panggil perempuan yang duduk di sebelah Abel.

Abel dan Sani menengok ke arah Nisa. "Apa?" kata Abel.

"Mereka pada heboh amat sih. Yang ditembak siapa, yang excited siapa."

"Elah, bilang aja lo ngiri," Sani melirik Nisa sinis.

"Dih, penting banget." Nisa mengedikkan bahunya. "Nembak di depan umum gitu tuh cuma siasat si cowok aja supaya diterima sama ceweknya."

"Kagak lah. Lo gatau aja gimana gugupnya perasaan lo kalau mau nembak cewek. Gimana kalutnya kalau ditolak. Butuh banyak pertimbangan tau. Cowok punya caranya masing-masing buat ngungkapin perasaannya."

"Ya tetep aja. Itu tuh pemaksaan secara tidak langsung. Kalau misalnya si cewek nggak suka, tapi dia nggak tega nolak, ujung-ujungnya diterima. Kan—"

Sani gregetan. Ia memotong ucapan Nisa. "Kalau nggak suka, ya tolak aja. Susah amat."

Nisa hendak mengatakan sesuatu, tapi urung ketika Sani berbicara. "Lo kan belum pernah digituin, jadi gatau gimana rasanya."

Nisa menatap Sani tak percaya. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi lagi-lagi urung. Kali ini Abel yang berbicara. "Heran deh. Kalian 'kan kembar, kok kayak Tom and Jerry."

Sani dan Nisa mendengus tak suka. "Namanya pendapat, beda-beda tiap orang. Indonesia itu negara demokrasi, jadi semua orang bebas mengeluarkan penda-pat." Suara Abel semakin mengecil di akhir kalimat. Ia kaget, ada Miko di hadapannya.

Nisa ingin tertawa melihat ekspresi Abel. Ia terbatuk untuk menyembunyikan tawanya.

"Eh, Miko. Sini-sini duduk!" Sani menarik mundur kursi di sebelahnya.

Miko duduk di sebelah Sani. Ia menepuk pundak Sani, lalu tersenyum kecil pada Nisa. "Bel, balik sekolah ada acara?"

Abel yang shock langsung menoleh ke arah Nisa saat Nisa menginjak kakinya. "Balik sekolah ada acara?" ulang Miko.

Kepala Abel otomatis menggeleng. "Enggak, kenapa?"

Miko menggaruk bagian belakang lehernya. "Balik bareng gue, ya?"

Abel, Nisa, dan Sani melongo di tempat. "Tumben banget, Mik?" tanya Nisa heran. Miko, cowok yang Abel suka, yang membuat Abel seperti es batu yang disimpan di bawah terik matahari karena senyumannya, tiba-tiba datang mengajak Abel pulang bersama.

Abel sendiri sudah tidak peduli seberapa merah pipinya. Ia menggigit bagian dalam pipinya untuk menahan senyum bahagia yang akan keluar. Seingat Abel, tidak ada tanda-tanda ia akan diajak pulang bersama Miko tadi malam.

"Ada yang mau diomongin. Mau ya, Bel?" Miko menatap Abel harap-harap cemas.

"Boleh." Abel mengangguk ragu-ragu.

"Oke." Miko berdiri. "Ditunggu di parkiran ya." Laki-laki itu mengacak rambut Abel, lalu berlalu meninggalkan Abel yang membeku.

"Gilaa. Mimpi apa lo semalem, kok bisa dapet rejeki nomplok gini sih?"


==========


Abel bersenandung kecil. Tas birunya bergoyang-goyang mengikuti gerakan Abel. Senyumnya merekah melihat Miko yang sedang bersandar di motornya.

"Miko," panggil Abel. Miko menegakkan badannya. "Gue nggak bawa helm 2, gapapa ya nggak pake helm?"

"Kayak mau kemana aja. Rumah gue ga jauh-jauh amat kok."

Miko nyengir, ia naik, lalu menyalakan motornya.

Abel sedikit kesulitan menaiki motor Miko. Ia menumpukan tangannya di bahu Miko lalu bergumam, "Sorry."

"Udah?" tanya Miko yang dijawab Abel dengan gumaman. "Rumah lo daerah mana? Nanti tunjukin jalannya ya." Miko mulai menjalankan motornya.

"Bel," panggil Miko di tengah perjalanan. "Jangan kaku dong, berasa tukang ojek kalau diem-dieman gini." Miko cemberut.

Abel tertawa kecil. "Iya, Bang. Nanti saya kasih ongkos lebih kok."

Miko menambah kecepatan motornya. Ia menyalip truk yang ada di depannya.

Abel yang kaget, refleks memukul helm Miko. "Aw," ringis Miko. "Lagian, masa gue dianggep tukang ojek."

"Cocok, Mik." Abel tertawa. "Eh, belok kiri, itu rumah gue." Abel menunjuk rumah berwarna putih.

"Berapa Bang ongkosnya?" tanya Abel sambil tertawa saat sudah berhadapan dengan Miko.

Miko mengacak rambut Abel gemas. "Dibayar pake..." Miko berfikir sebentar. "Bantuan," lanjutnya

Abel menurunkan tangan Miko yang ada di kepalanya. Senyum geli terpasang diwajahnya. "Mau dibantuin apa sih, Bang? Sini ngomong sama Abel."

"Bantuin gue supaya deket sama Nisa, bisa?"

Abel terpaku, ia mengerjapkan matanya. "Hah?"

Miko tersenyum tak enak. "Yaa gitu. Gue mau kenal lebih deket sama Nisa."

Abel membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Pikirannya melayang. Ada nyeri disudut hati Abel karena kemungkinan besar Miko menyukai Nisa, bukan dirinya.

"Mau ya, Bel?" suara Miko membuyarkan lamunan Abel. Perempuan itu mengerti, tak ada yang bisa mengatur perasaan. Ia hanya heran, dari ratusan perempuan di sekolahnya, kenapa harus temannya sendiri?

Abel berdeham. Menetralkan suaranya yang sedikit tercekat. "Gue nggak janji."

"Tadi katanya ngasih ongkos?" Mata Miko berkilat jenaka. Ia kembali mengacak rambut Abel. "Gue tunggu ya ongkosnya." Miko menyalakan mesin motornya. Berbalik arah untuk pulang ke rumah.

Abel menatap kosong ujung sepatunya. Seharusnya dia curiga dari awal. Ia dan Miko tidak sedekat itu untuk pulang bersama.

Abel menghembuskan napasnya. Ia butuh mandi agar pikirannya sedikit jernih.

Motor Miko berhenti tak jauh dari rumah Abel. Ia menengok ke belakang. Melihat Abel yang berjalan memasuki rumah. Ingin rasanya Miko bersorak. Mulai hari ini ia punya alasan untuk menghampiri Abel setiap hari. Miko merasa ia sudah maju selangkah agar lebih dekat dengan Abel.

Abel & MikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang