Seindah Magenta
Oleh: Fina Lanahdiana
Untuk: Annisa Miftahul JannahAnnisa tidak pernah menyesali takdir yang digariskan Tuhan. Ia sepenuhnya bisa menerima dengan baik, meskipun terkadang di dalam hatinya yang paling dalam, terbesit rasa yang sukar untuk diuraikan, antara rasa takut dan kepasrahan yang timbul dalam waktu yang bersamaan. Namun ia telah memutuskan untuk melakukan segala yang terbaik demi orang-orang yang dicintainya.
Langit tampak demikian sempit sekarang. Seolah Tuhan menciptakan langit-langit kecil khusus untuknya.
“Sa, apa yang akan kamu lakukan jika merindukanku?”
“Aku bisa melakukan apa pun,”
“Tapi kita akan segera bertemu kembali, ‘kan?”
“Tentu saja. Kita akan bertemu lagi.”
“Sepakat untuk selalu melihat senja setiap sore?”
“Iya ....”
Jawaban itu menggantung. Ragu. Gadis tujuh belas tahun itu tampak memikirkan sesuatu.
“Hei?”
“Eh, maaf. Aku melamun lagi. Kebiasaan buruk,” Yang terjadi berikutnya ialah sebuah tawa keluar dengan keras. Seorang cowok di sampingnya seolah paham, sesuatu telah terjadi.
“Sa ...?”
“Hmm,”
“Aku merasa kamu tidak sedang baik-baik saja. Aku siap mendengar.”
“Tidak ada, Genta. Setidaknya untuk saat ini. Aku hanya ingin bilang, aku pasti merindukanmu.”
Kenyataan mengharuskan Annisa untuk sementara pindah ke Jakarta, meninggalkan kota Pontianak, meninggalkan seseorang yang sangat dekat dengannya, Genta.
“Di Jakarta nanti, apakah kamu akan berbaring memandang langit di hamparan rumput seperti saat ini?”
“Mungkin. Tapi aku tidak yakin menemukan seseorang yang sama menyenangkannya denganmu.”
“Jangan begitu,”
“Kapan berangkat?”
“Pagi selepas subuh. Kata mama biar tidak macet saat tiba di Jakarta.”
“Oh.”
Ingatan berputar seolah roll film di kepala. Annisa merindukan Genta setiap saat. Ia memutuskan untuk mengambil gadget, lalu melakukan video call dengan Genta.
Hari masih pagi. Annisa mengagetkan Genta yang saat itu masih tidur dengan pulas. Annisa tertawa-tawa ketika mendapati wajah Genta masih sangat mengantuk. Mata sipitnya bertambah habis dilanda rasa kantuk terus menerus. Rambutnya yang lurus lebih tampak seperti sarang burung di atas pohon mangga.
“Jahat kamu, Sa ...,”
Tawa itu tidak juga berhenti, bahkan memperlihatkan tubuh Annisa yang bergerak-gerak, terguncang oleh tawanya sendiri.
“Aku selalu ingin menangis jika tidak bisa menahan keinginanku untuk melihatmu, sementara terkadang aku pura-pura tidak mengingat apa pun tentangmu.”
***
Pertemuan itu bermula dari sebuah klub melukis di sekolah saat kelas 1 SMA. Annisa tidak terlalu tahu sesuatu yang disukainya. Ia ingin mencoba segala jenis klub yang ada di sekolah. Mulai dari klub fotografi, melukis, musik, basket, futsal, semuanya tidak ada yang benar-benar menarik baginya.
“Aku tidak yakin dengan semuanya. Tapi sekolah mewajibkan para siswa mengikuti setidaknya satu jenis klub yang disukai.”
Annisa menggerutu di depan Lisa, teman sebangku yang sangat menyukai basket.
“Kamu bisa saja satu klub denganku,”
“Kamu gila? Aku tidak cukup tinggi untuk sebuah olahraga basket.”
“Kalau begitu fotografi, atau melukis.”
Setengah tidak yakin, Annisa memutuskan untuk mendaftarkan dirinya pada klub melukis.
“Sebenarnya aku tidak terlalu yakin di dalam diriku mengalir darah seni.” Annisa tersenyum, malu-malu. Menampakkan sebuah ekspresi yang lucu.
Seorang instruktur lukis mengarahkan para anggota untuk memasuki sebuah ruangan yang terbilang menakjubkan. Ruangan yang sengaja didekorasi sedemikian rupa hingga menyerupai sebuah galeri. Di tiap-tiap dindingnya terpajang aneka jenis lukisan dengan judul dan nama pelukisnya, selain itu tergantung pernak-pernik peralatan lukis dari atap ruangan, dengan warna yang beragam: kuas, kaleng cat, kanvas, buku sketsa, pensil, pensil warna, juga gambar-gambar tiga dimensi yang seolah-olah hidup di luar kertas gambar. Tidak hanya lukisan yang telah dibingkai, dinding ruangan juga dihiasi mural bergenre pop-art surealis.
“Wow, ini hebat!”
Suara Annisa terdengar menggema di ruangan, sebab tidak seorang pun mengeluarkan suara mereka di sana. Melihat seluruh siswa memandang terkejut ke arahnya, buru-buru ia menelungkupkan telapak tangannya ke bibir. Selanjutnya ia tidak segan meminta maaf dengan sedikit membungkukkan badan dengan memundurkan kaki ke belakang. Pada akhirnya ia menabrak seorang cowok tinggi berkulit putih dengan mata sipit dan rambut belah pinggir yang tidak jauh darinya.
Merasakan sesuatu yang membentur tubuh bagian belakangnya, Annisa segera berbalik, “Maaf ....”
Sayangnya cowok itu tidak terlalu mendengar apa yang diucapkan Annisa, atau mungkin pura-pura tidak mendengar. Badannya yang tegap mengesankan keangkuhan di mata Annisa. Ia begitu menjengkelkam, pikir Annisa.
Meskipun tidak mengenal seorang cewek berkuncir dan berkaca mata di samping kirinya, Annisa tiba-tiba saja melayangkan sebuah ucapan yang mengherankan.
“Cowok itu, kamu tahu? Angkuh sekali. Memangnya dia siapa ....”
Sekilas cewek berkuncir yang mengenakan kacamata itu hanya melirik, tanpa berkata apa-apa. Annisa merasa sangat heran, seolah ia tengah terdampar di planet lain yang dipenuhi para alien.
“Annisa ....”
Suara instruktur yang tiba-tiba, tentu saja mengagetkan Annisa yang sedang asyik dengan khayalannya terdampar pada sebuah planet asing,
“E, e, iya, Bu? Maaf?”
“Silakan duduk, Annisa. Kamu tidak mendengarkan arahan saya ya?”
Tanpa berpikir panjang, Annisa segera duduk di bangku yang telah disediakan matanya melihat sekeliling, ia kembali melihat seorang cewek berkuncir yang mengenakan kaca mata.
Dirasakan oleh Annisa ruang lukis seolah sebuah neraka yang menampung para monster. Ia tidak tahu letak kesalahannya, caranya berbicara, caranya memulai percakapan, caranya bertingkah konyol, segalanya seperti tidak berguna untuk memperoleh seorang pun teman seperti Lisa atau teman lain yang satu kelas dengannya. Dan ia tidak bisa berhenti membenturkan kepalanya ke arah lengan yang disandarkan di atas meja, ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya, dan memanggil nama Lisa, atau mamanya, atau papanya, atau adiknya. Sayangnya mereka tidak ada di dalam ruang lukis, tidak ada di sekolah, tidak ada di mana pun. Ia juga tidak menyangka bahwa tidak seorang pun penyuka seni lukis salah satunya berasal dari kelasnya. Hanya ia seorang diri.
“Namaku Airin,”
Cewek berkuncir dan berkacamata mengulurkan lengannya ke arah Annisa. Seketika matanya menyala bagai lampu yang dialiri listrik.
“Maaf tadi aku tidak terlalu mengacuhkanmu. Aku hanya ingin mendengarkan arahan instruktur lukis.”
Annisa mengangguk lalu tersenyum. “Aku juga merasa konyol tiba-tiba berbiicara dengan seseorang yang tidak kukenal dengan cara menceritakan keburukan orang lain. Itu tentu sebuah kebodohan.” Keduanya tertawa dan menceritakan motif masing-masing memilih klub melukis sebagai kegiatan di luar jam sekolah.
“Aku memilih klub melukis karena aku tidak tahu harus memilih klub yang cocok denganku. Aku ingin mencoba semuanya.”
“Aku menilih klub melukis karena memang harus memilihnya.”
“Harus memilihnya?”
Airin mengangguk, “Di antara banyak klub yang ditawarkan, melukis adalah yang paling kusukai.”
“Lalu fotografi?”
Airin mengangguk. Annisa menangkapnya sebagai isyarat bahwa selain mengikuti klub melukis, Airin juga mengikuti klub fotografi.
Para siswa anggota klub melukis dipersilakan untuk mengeksplor kreativitas masing-masing. Annisa tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia malah menumpahkan beberapa cat dengan sembarangan di atas kanvas. Sesekali membuat gerakan seperti kuas yang sedang melakukan tarian.
“Lukisanmu bagus.”
Suara cowok yang selanjutnya mengacaukan konsentrasi Annisa karena merasa tidak enak hati bahwa sebelumnya ia telah menuduh cowok itu angkuh.
Genta. Seseorang yang pada akhirnya membuat hari-harinya semakin berwarna. Seorang cowok yang mengagumi Picasso, Salvador Dali, Van Gogh, serta nama lain yang terdengar lumayan asing di telinga Annisa.
***
Jika buah yang rusak sebagian masih bisa diselamatkan dengan cara membuang bagian yang rusak serta menyelamatkan bagian yang baik, maka Annisa juga ingin memperlakukan dirinya seperti itu. Ia ingin menyelamatkan seluruh perasaan baiknya dan menghapus seluruh perasaan buruknya.
Annisa ingin selalu tampak baik-baik saja di depan siapa pun orang-orang yang melihatnya. Ia berjanji pada dirinya bahwa tidak boleh ada air mata mamanya sedikit pun. Ia tidak menyukainya.
Terkadang ia tidak menyukai apa pun dari dirinya, namun jika kembali mengingat orang-orang yang terus mendukungnya, maka tidak terpikirkan lagi keinginan untuk berhenti berjuang.
Hari-harinya tidak terlalu berubah. Ia tetap melakukan hal-hal konyol yang membuat siapa pun tertawa, bahkan sampai terbahak. Tidak peduli lagi dengan rasa sakit yang mesti ditanggungnya. Memang ada saat di mana segalanya tidak lagi bisa ditahan, namun ia menutupinya dengan mengunggah berbagai video Dubmash-nya di akun instagram yang tentu saja mengundang banyak tawa dari follower-nya.
“Kapan pulang ke Pontianak, Sa?”
Pertanyaan serupa itu kerap meluncur dari teman-temannya, di sosial media, sms, telepon, atau video call, yang jawabannya belum bisa ia pastikan.
Segalanya bermula saat Annisa mengalami demam tinggi berhari-hari dan tak kunjung turun. Awalnya ia menganggap itu sebagai flu biasa. tetapi selanjutnya ia merasa tidak beres sebab setiap ingus keluar dari hidungnya, ada darah yang menyertainya. Tidak banyak, tetapi sering. Di sekitar lehernya juga ada sesuatu yang membengkak. Selain itu, pendengarannya terasa lebih buruk, dan ia memiliki penglihatan ganda. Saat itu pun ia tidak banyak bercerita kepada oranglain mengenai apa yang ia rasakan. Orang pertama yang ia ceritakan adalah mamanya.
Mamanya tentu tidak tinggal diam. Ia berupaya membawa Annisa ke dokter. Berdasarkan gejala awal yang dialami Annisa, dokter meminta mamanya agar Annisa menjalani pemeriksaan lanjutan.
Tidak mudah menerima kenyataan yang kurang menyenangkan, tapi Annisa tidak terlalu terkejut mendengar hasil pemeriksaan, karena sebelumnya ia mencari tahu sendiri gejala sakitnya melalui internet.
Diam-diam mama Annisa sering menangis. Jika gadisnya yang kini duduk di bangku kelas 3 SMA itu bisa menerima segala sesuatu dengan baik, seseorang yang paling sukar menerima kenyataan itu adalah mamanya.
“Mama, aku sudah tahu semuanya. Dan aku merasa masih baik-baik saja sekarang.”
Tidak ada orang tua mana pun yang tidak merasa terpukul saat anaknya berkata seperti itu. Mamanya hanya bisa memeluk gadis itu lebih dalam ke dadanya tanpa bisa berkata apa-apa. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali menjadi lebih baja dari anaknya sendiri.
Kanker nasofaring stadium lanjut, metastasis ke bagian otak. Hal itu yang membuat penglihatan serta pendengaran Annisa tidak terlalu baik.
***
Kemoterapi tahap ke-3 membuat rambutnya rontok seluruhnya. Terapi yang efeknya sama menyebalkannya ketika dilarang melakukan sesuatu yang disukai, bahkan lebih dari sekadar hal itu. Rasa mual kerap menjalar naik dari perut Annisa hingga memaksanya memuntahkan segala jenis zat makanan yang masuk ke dalam perutnya. Seketika itu pula nafsu makannya menghilang ke entah, menguap bersama udara, membumbung ke hampa.
Mama kerap memaksa Annisa untuk makan, agar setidaknya tenaganya tidak kosong. Seringkali menu yang harus dimakannya berupa bubur, susu, makanan bersantan, sementara obat-obatan kimia itu membuatnya merasa jijik dengan segala jenis makanan kental.
“Tidak mau ya tidak mau, Ma. Jangan dipaksa!”
“Tapi kamu harus makan, Sayang.
Seringkali mamanya kaget dengan bentakan Annisa yang tiba-tiba. Sesuatu yang jarang sekali dilakukan Annisa sebelumnya. Namun mama Annisa paham, bahwa emosi yang tidak stabil itu juga disebabkan oleh efek kemoterapi.
“Maafin Annisa, Ma. Annisa tidak bermaksud ...,”
“Tidak apa-apa. Mama ngerti kok. Tapi kamu harus makan, ya. Biar ada tenaga.”
Sepasang ibu-anak itu saling memeluk. Saling menguatkan satu sama lain.
“Maafin Annisa, Ma ....”
Mama menghapus air mata Annisa, Annisa menghapus air mata mama. Memang tidak ada yang mudah, pilihannya hanya maju atau berhenti. Dan mereka memilih untuk terus melaju bersama waktu.
Lima kali kemoterapi telah dijalani Annisa. Ia memiliki waktu istirahat satu bulan sebelum masuk ke tahap radioterapi. Itu artinya, ia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Genta.
***
“Aku senang akhirnya kita bertemu,”
“Apa yang kamu rasakan, Sa?”
“Aku tidak tahu tepatnya. Tapi aku merasa jauh lebih baik sekarang, ini menakjubkan.”
“Mamamu tahu kita di sini untuk melihat senja di atas hamparan rumput-rumput?”
“Iya, aku sudah bilang sebelumnya.”
“Kamu ingat saat kita ada di dalam ruang klub melukis?”
“Tentu saja aku mengingat semuanya. Aku merindukan seluruh kegiatan di sekolah. Belajar, bermain, klub melukis, klub lain yang pada akhirnya aku tidak memilih satu pun ...,”
“Kamu memilih klub melukis karena ada aku, ‘kan?”
“Apa kamu bilang? Tentu saja tidak. Ge-er kamu. Huu!”
Keduanya tertawa, saling melempar rumput-rumput yang tercerabut.
Genta mengeluarkan sebuah lukisan senja ungu kemerahan dari dalam ransel, dan menyerahkannya ke tangan Annisa.
“Ini seperti sebuah keajaiban. Kamu yang melukisnya?”
“Tidak penting aku atau bukan yang melukisnya. Yang jelas, aku ingin hari-harimu selalu ajaib dan menakjubkan seperti yang kamu bilang, seindah magenta.---------------------------------------------------------
31 Januari, 2016