A Short Story

194 6 14
                                    

Hidupku selalu dipenuhi kesendirian. Sejak pagi, ayah dan ibuku bekerja di tempat yang bahkan diriku tak ingat lagi. Adikku selalu mengunci kamarnya, tidak pernah kulihat wajahnya. Hanya siluet mereka terbayang di pikiran kosong dalam ruang aku berdiam diri. Sejak pagi sampai siang, aku melayani diriku sendiri dengan camilan di kamar tidurku, membayangkan bagaimana orang lain menghidupi kehidupan yang bila disamakan sepertiku.

Setelah puas bermalas-malasan, makan, dan berimajinasi, aku berjalan ke arah pintu kamar dan membukanya. Aku menyusuri lorong lantai dua rumah besar ini. Di balik sebuah pintu berwarna putih dari kayu birch, terdapat sebuah ruangan yang membuat siapa pun bisa berteriak tanpa bersuara. Apakah ruangan itu begitu membosankan sehingga orang enggan bersuara? Menghabiskan tenaga dengan sia-sia?

Sore hari, aku masuk ke ruangan tersebut. Ruang seni, ruangan putih tanpa noda. Panel lampu neon dengan warna yang sama menjadi penerang ruangan ini. Cat warna-warna primer terletak di dekat pintu masuk. Aku berjalan dan mengambil tiga warna primer: merah, kuning, biru. Kucampurkan merah dan kuning, terciptalah jingga. Kucipratkan cat itu dengan tanganku sendiri. Lalu merah dan biru, ungu. Kuning dan biru, terciptalah hijau. Lalu aku membuat ruangan putih ini menjadi berwarna-warni. Tidak ada warna putih yang tersisa, ruangan seni dipenuhi oleh lukisan abstrak, ekspresi diri.

Dengan baju dan celana yang dipenuhi seni tak berbentuk, aku keluar dari ruangan itu dan masuk ke kamar mandi. Kamar mandiku terbuat dari banyak gelas transparan, biru jernih. Kadang agak mengganggu jika dilihat seperti itu, namun hal yang kulakukan di sini hanyalah mandi dan membersihkan tubuh. Tubuh kurus penuh cat. Selalu kupastikan untuk mencuci tubuh sebersih mungkin. Lalu aku mengeringkan diri sebelum keluar ke halaman belakang.

Sore berganti malam, aku berenang di kolam belakang rumah. Kolam jernih berwarna bening, di mana cahaya memantulkan warna biru keramik badan dan dasar kolam. Aku berenang di bawah sinar rembulan, dengan celana boxer merah yang dari tadi siang kupakai--yang untung saja tidak terkena cat saat aku melukis.

Waktu terasa cepat berlalu. Dinginnya malam mulai merasuki ragaku.

Pelayanku, Irene, membawakan handuk dan baju tidur seusai aku berenang. Wanita itu mempunyai tinggi badan sekitar 150-an dan tubuh yang kurus dengan rambut cokelat panjang dikucir satu. Irene mengeringkan tubuhku, lalu pergi masuk ke dalam rumah mewah berlapis granit.

Setelah kering, aku bertukar pakaian, tepat di pinggir kolam itu. Aku tidak takut akan manusia yang tidak sengaja melihatku, karena itu tidak mungkin terjadi. Dinding yang cukup tinggi dengan tanaman yang merambat di kulitnya membuat orang tidak bisa melihat ke dalam.

Ketika memasuki rumah, tidak ada orang di dalam. Ayahku, ibuku, adikku; semua pergi. Hanya Irene yang menemaniku.

Bunga mawar putih berduri di dalam vas biru menghiasi meja makan. Selalu ada satu piring, piringku, di meja itu. Kursi kayu jati yang dihiasi gaya zaman Renaissance dengan bantalan bermotif Victorian menungguku.

Makan malam telah disiapkan: nasi putih dengan air putih yang sangat jernih. Begitu jernih hingga aku dapat melihat refleksi wajahku di permukaannya.

Kadang rasa nasi itu manis, kadang pahit, kadang terasa asin, dan juga kadang masam. Hal yang membuat lidahku menjadi normal kembali adalah air putih yang menemaninya. Anehnya, dengan porsi sedikit, nasi itu mengenyangkan bagiku.

Seusai makan, Irene datang lagi untuk mengambil piring dan gelas. Bibirnya yang dilapisi lipstik tebal sangatlah imut. Lengkung senyumnya membuatku merasa tidak perlu ada dialog di antara kami. Malam yang sunyi benar-benar terasa tenang dan damai.

Aku menaiki tangga menuju lantai dua. Mengelus pegangan tangga yang terbuat dari marble. Menginjak anak tangga yang terbuat dari kayu ek dan dilapisi karpet merah delima. Berpegang pada pegangan dingin nan licin.

Ada tiga kamar utama di lantai dua: kamar ayah dan ibuku, adikku, dan kamarku sendiri. Masing-masing memiliki pintu yang berbeda. Kayu ek tua, kayu ek dalam kondisi prima, dan kayu ek yang masih muda. Dua kamar pada lantai dua terkunci, menyisakan kamarku sendiri yang masih bisa kubuka. Pegangannya sedingin pegangan tangga tadi, walaupun terbuat dari bahan yang berbeda. Apakah angin dingin dari luar telah masuk ke dalam rumah, atau hanya diriku saja?

Pintu kayu berderit pelan di kala aku membukanya. Bunyi percik jago merah pada perapian menjadi penyambut kedatanganku. Kutatap kamar tidurku yang berselimut kirana candra dari pintu kaca balkon. Tidak ada yang berubah di sini. Dua lampu duduk masih mengapit kasur king size-ku. Meja dan lemari-yang selalu berantakan olehku dan tak kunjung lelah Irene bereskan-tampak serapi biasanya.

Aku mendekati tungku perapian. Entah bagaimana, tidak ada hangat ataupun panas yang dapat kurasakan membelai kulitku.

Mata cokelatku terjatuh pada bingkai-bingkai foto di atas perapian. Aku menatap dalam-dalam wajah ayah, ibu, dan adikku. Membuat kontak mata dengan mereka bertiga. Jariku tanpa sadar terangkat, mengelus bingkai kayu dan permukaan lembar foto. Aku menarik napas dalam-dalam, hanya untuk merasakan sakit di dalam dada. Kuhela seluruh napasku, dan dadaku terasa sesak.

Kalau bukan karena foto, aku mungkin sudah lupa wajah mereka sekarang. Hatiku mencelos mengecap rindu. Rindu aroma, suara, senyum mereka, suasana hangat, dan kebersamaan kami.

Mataku berkedip-kedip menahan butir tangis yang terkumpul di ujung pelupuk. Menurunkan tangan dari bingkai foto, aku melangkahkan kaki ke luar balkon.

Helaan napas mengiringi gerakanku menumpu lengan bawah di pegangan tepi balkon. Kusapu bunga-bunga pancarona di sana dengan tatapan mata, lalu kuganti objek kembang menjadi bulan perak indah yang tak terjangkau gapaian. Kutatap benda langit itu lama-lama. Seakan jiwaku terisap oleh bola bulat sempurna itu melalui kontak mata.

Kembali, aku merasakan kekosongan.

Fase kekosongan ini selalu kutempuh ketika aku merenung. Pengungkitnya berbeda-beda. Bisa saja bulan purnama, vas bunga, lukisan, atau bahkan debu kecil di sela pegangan tepi balkon. Bagaimanapun, aku selalu menarik diri kembali ke realitas, menyudahi paksa fase ini.

Tapi, sebenarnya untuk apa aku menarik diri?

Dengan pemikiran itu, kubiarkan kekosongan merasuki diriku. Merambah sampai ke inti diriku. Mengalir ke tiap inci diriku, bak sel darah mengantarkan nutrisi. Pikiran kosong merambat ke dalam inti kesadaranku. Namun, apa dayaku untuk membendungnya? Mungkin telah tiba saatnya bagiku untuk menerima kehampaan ini?

Aku menutup mataku perlahan. Berpejam ria selama beberapa saat.

Ketika aku membuka mata, aku sudah melayang di tengah air kolam rumahku. Aku bernapas seperti biasa dan melepas segala kontrol terhadap tubuhku. Membiarkan kekosongan mendera pikiran, jiwa, dan ragaku seluruhnya.

Aku mendapat sebuah penyadaran. Semua ini telah aku lakukan sejak lima tahun yang lalu. Hidup yang repetitif, dalam alam bawah sadar.

Ketika aku tersadar dari hidup ini, aku telah pergi dari rumah mewah tempat aku tinggal.

Jika Engkau Mengerti Apa Arti Hidup [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang