Evelina menatap etalase kaca itu dengan mata berbinar-binar. Barisan gelang permata bertahta zamrud begitu anggun memukau. Kilauan cahaya hijau yang memantul indah dari permata seakan sengaja menggodanya agar ia secepatnya membeli gelang itu. Di tengah kerumunan orang yang berbelanja di hari libur, Evelin berdiri mematung di toko perhiasan Tiffany & CO, sebuah toko Jewelry ternama di Kohelmar 8-10th, di jantung kota negara yang masyoritas penduduknya merupakan keturunan Bangsa Celtic, Jermanic, Slavia dan Romawi ini.
Dari semua perhiasan yang terpajang di etalase, matanya lekat memandangi gelang permata bertabur zamrud berwarna hijau yang begitu anggun. Sebuah hasil kerajinan tangan yang unik dan berkelas pikirnya dalam hati. Perak tempa dengan model menyerupai butir-butir berlian yang sangat memesona, apalagi kalau memandang lusinan zamrud hijau kepekatan yang menutupinya, semua yang ada padanya makin meyakinkannya bahwa gelang ini sangat berkelas dan sudah pasti mahal harganya.
Rambut panjang Evelin menyumbul dari kerudung kashmir yang dipakainya tergerai-gerai diterpa angin. Tubuh semampainya dibalut kaos biru dengan celana jeans dan kaca mata hitam yang bertengger di mata membuatnya terlihat makin cantik. Lalu lalang orang-orang yang berbelanja di Tiffany & Co pagi itu sama sekali tidak mengganggu konsentrasi balerina yang melatih balet di sekolah balet ternama di Austria itu.
Beberapa saat ketika ia menatap gelang itu ia tiba-tiba teringat pada janji suaminya, Raechan, usai mereka menonton pegelaran megah musisi legendaris Wolfgang Amadeus Mozart di Musik verein pada malam ulang tahun pernikahan mereka. Masih jelas di kepalanya bagaimana Mozart Effect membelai jiwanya begitu lembut seperti simfoni-simfoni dari surga ketika Raechan mengajaknya menuju ke tubir Sungai Danube yang indah. Di bawah temaramnya sinar rembulan suaminya memberikan gelang dan cincin dari permata. Evelin menatap hadiah itu dengan penuh kebahagiaan, "Suatu saat aku akan membelikan gelang permata asli sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita, "ujar suaminya pelan untuk kemudian dia mengecup kening dan kedua mata Evelin. Evelin memejamkan matanya. Ia memeluk suaminya erat. Kebahagiaan menguasai sukmanya. Ia merasa begitu beruntung mempunyai suami seperti Raechan; cerdas, tampan, dan penuh kasih sayang.
"Evelin."
"Ya," jawab Evelin masih dalam pelukan suaminya. Mata indah perempuan itu menyapu kaki langit yang begitu indah sempurna malam itu.
"Kamu adalah cinta dan kebahagiaanku," lanjut Raechan di telinga isterinya. Evelin tersenyum simpul. Ia belai-belai rambut suaminya dan membisikan sebaris kalimat indah di telinga suaminya.
"Terimakasih, honey. Seumpama Sonata For Two Pioanos-nya Mozart yang menghangatkan dan mengingatkan kita bahwa hidup ini begitu berarti, begitupun engkau. Kamu adalah anugerah Tuhan yang terindah dan paling bermakna dalam hidupku sayang," ucap Evelin lembut. Raechan tersenyum simpul. Dikecupnya bibir isterinya lembut dan kedua sejoli itu pun menghabiskan malam paling romantis dalam ulang tahun pernikahan mereka di Eropa.
***
Perlahan Evelin mendekat, memberanikan diri untuk bertanya berapa harga gelang permata itu, walau ia tahu ia tidak akan mampu membelinya. Sebagai pasangan keluarga yang hidup hanya berbekal scholarship di Eropa, ia harus betul-betul pandai mengatur keuangannya. Ia tidak mau nelongso di Eropa hanya karena kecintaanya pada permata.
"Kann ich diennen? (bisa saya bantu?)" ujar seorang pramuniaga bermata biru, sopan menyapanya.
"Boleh aku lihat gelang permata itu?" ucapnya penuh keyakinan seakan ia benar-benar ingin membeli gelang itu.
"Sebentar yah." Sejurus kemudian gelang permata bertahta zamrud itu sudah berada digenggamannya. Kilauan zamrud yang memantul dari gelang itu begitu memukau mata, ia benar-benar jatuh cinta pada gelang itu. Lama ia mengamati gelang itu sambil ia coba di pergelangan tangan dan ternyata ukurannya sesuai dengan ukuran tangannya.
"Kosten, wie gut? (harganya berapa?)"
"Kalau yang ini 3.500.000 ATS (SchillingAustria nama mata uang Austria). Itu sudah murah." Ujar pramuniaga itu sambil tersenyum. Ia membalas senyum pramuniaga itu sambil berpikir keras bagaimana ia membeli gelang permata itu.
"Wie?" Tanya pramuniaga sopan.
"Sebentar yah," jawabnya sambil memandangi isi etalase itu seakan-akan ia sedang mencari model lain dari permata yang akan ia beli. Sesudah merasa puas menatap semua keindahan cincin dan gelang permata di toko itu, ia pindah ke toko lainnya jiwanya berperang antara keinginan membeli atau tidak. Ketika ia tengah asyik memandangi perhiasan tiba-tiba darah segar menetes dari hidungnya. Ia cepat-cepat menyumpal hidungnya dengan tisu dan berjalan menuju toilet. Evelin menatap wajahnya di depan cermin sambil sesekali mengelap hidung mancungnya yang dipenuhi dengan darah segar. Ia berpikir keras kenapa tiba-tiba ia mimisan. Apakah karena cuasa panas, alergi, atau karena flu? Ia merasa tidak mempunyai alergi, juga tidak sedang flu. Mungkin karena musim panas pikirnya dalam hati.
Beberapa saat ia membersihkan darah yang terus menetes tapi tetap saja darah yang keluar dari hidungnya tidak juga kunjung berhenti. Ia pun duduk sambil mendongakan kepalanya berharap aliran darah segar yang menetes dari hidungnya itu cepat berhenti, namun usahanya tetap sia-sia. Darah segar itu seperti tetesan gerimis yang turun dari langit. Begitu deras. Ia pun menutupi hidungnya dengan tisu untuk kemudian berjalan melangkahkan kaki mencari taksi untuk kemudian pulang menuju apartemennya. Sepanjang perjalanan pikirannya tak menentu. Rasa kuatir berkecamuk di dalam dirinya.
Sampai di apartemen Evelin langsung mengompres hidungnya untuk kemudian menyalakan DVD Two Pianos Mozart D,K 448. Ia memejamkan matanya, meresapi setiap dentingan lembut musik klasik itu, seakan ia meminta Mozart untuk berbicara dengan sel-sel sarafnya yang sudah mulai dikuasai kekuatiran. Dentingan-dentingan jernih Mozart mengalun indah memantul dengan jernih keseisi ruangan. Evelin berusaha untuk menenangkan dirinya.Ia tidak mau membuat suaminya risau dengan kesehatannya.
Sambil memejamkan mata ia berpikir keras kenapa belakangan ini ia sering sekali mimisan. Apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya. Apakah cuaca di Austria tidak cocok untuk suhu tubuhnya, sehingga menyebabkan ia sering mimisan seperti ini. Beberapa saat lamanya ia berpikir namun ia tidak menemukan jawaban yang pasti mengenai sesuatu yang saat ini sedang terjadi pada dirinya.
Evelin tiba-tiba merasakan kepalanya pusing dan badannya lemas. Ia berjalan gontai memasuki kamar anaknya, Tania. Gadis mungil cinta pernikahan mereka yang kini sudah berumur tujuh tahun. Ia menatap foto-foto anaknya yang terpasang di dinding kamarnya, tepat di atas kasur Tania. Ia tersenyum menatap wajah polos dan lucu anaknya.
"Sedang apa kamu di sekolah, Nak," ucapnya lirih. Beberapa saat kemudian Evelin membaringkan tubuhnya sambil memegangi kompress yang masih menempel di hidung. Bunyi Soanata terus mendawai-dawai menemani Evelin yang tengah dilanda kekuatiran, ia seakan ingin mengajak Evelin 'berbicara' melalui bahasa Sonata D Major yang begitu memesona.
Rasa lemas ditambah kepalanya yang terasa pening membuat Evelin kesulitan untuk bisa konsentrasi dan menikmati sentuhan-sentuhan lembut Sonata. Ia merebahkan tubuhnya di kasur Tania sambil berusaha sekuat tenaga untuk memejamkan matanya. Namun darah yang keluar dari hidungnya tidak bisa membuatnya tenang. Perasaan takut tiba-tiba menguasai dirinya. Namun ia berusaha mengusir ketakutan itu sambil memegangi hidungnya yang sesekali masih mimisan. Mozat Effect siang itu tidak berhasil membuatnya rileks. Evelin makin ketakutan.
***
Hy, Guys!! Tulisan ini karya bang Mujahidin Nur atau birulaut_78 . ini aku post atas seizin beliau. ceritanya bagus, banyak yang bisa diambil dari cerita ini. Dibaca terus kisah perjuangannya Evelin ya!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Until My Last Breath
Romance" Mencintaimu merupakan keindahan, menikahimu adalah takdir, dan menyayangimu adalah nafas kehidupkunku Evelina. Aku akan selalu bersamamu hingga hembusan nafas terakhirku !" *** "Aku tidak sedang menunggu seorang pangeran untuk menemaniku, namun ak...