SleepWalker - Satu

125 12 4
                                    

"Devia! Kamu sudah bangun?"

Seorang wanita tiba-tiba muncul sambil membuka pintu kamar Devia. Wanita itu tersenyum lembut.

"Kamu ini, baru bangun tidur sudah ngaca! Belum mandi pula," kekeh wanita itu, Ibu Devia.

"Tadi aku mimpi kecelakaan, Bu. Tapi entah kenapa rasanya sangat nyata. Makanya Devia ngaca, buat ngelihat apa itu beneran atau nggak. Eh, terus malah keterusan," balas Devia sambil tertawa kecil. "Oh ya, sejak kapan Ibu potong rambut?"

"Baru dua hari yang lalu, kamu bahkan yang nemani Ibu! Masa baru anak SMA udah pelupa, sih?" ucap Ibu sambil mengacak-acak rambut Devia.

"Hah? Bukannya kemarin lusa aku ada rapat OSIS terus ya, Bu?" tanya Devia sambil mengingat-ingat.

"Dasar pelupa kamu, ya! Ya sudah, ayo sarapan. Ayah sudah nunggu di bawah, tuh."

Tunggu! Ayah?

***

Devia berlari menuju ruang makan, mengabaikan ibunya yang tertinggal jauh di belakang. Kemudian ia bersembunyi dibalik tembok yang bisa membuat matanya menjangkau seluruh ruang makan. Dari sudut ini, kedua bola matanya mendapat pemandangan tak terduga. Devia sedikit melangkah mundur sambil menutup kedua mulutnya—karena tidak percaya.

Di meja makan, duduk seorang laki-laki yang rambutnya mulai memutih sambil membaca koran. Sesekali dia menyesap secangkir kopi yang disediakan di meja.

Siapa dia? Apa teman ibunya yang sebentar lagi akan menjadi 'Ayah' barunya? Apa ayahnya hidup kembali? Beberapa pertanyaan lain yang terdengar tidak masuk akal mulai menghantui pikirannya.

Ah, tidak mungkin! Ia bahkan teringat jelas saat pemakaman Ayah empat tahun lalu! Saat itu, ia sangat mengingat Ibu terus terisak selama dua hari sambil memeluk bingkai foto ayahnya. Dan terakhir melihatnya, uban bahkan belum menghiasi satupun helai rambut ayahnya! Jadi...

"Devia, ayo sini!"

Sebentar. Devia merasa tidak asing dengan suara itu. Suara itu adalah suara yang selalu ia dengar sebelum serangan jantung itu merenggut nyawa ayahnya. Devia hanya mematung ketika melihat lelaki itu menoleh ke arahnya. Wajah itu, dan senyumannya...

"Ayah..." gumam Devia pelan.

"Kamu nggak suka lihat Ayah pulang, Dev? Kok wajahmu kayak habis ngelihat hantu gitu," ujar lelaki itu, kemudian tertawa jenaka. Tangannya mulai menepuk kursi di sebelahnya, mengisyaratkan Devia untuk duduk.

Setelah berpikikir lebih dari seratus kali, Devia pun berlari dan memeluk orang yang ia yakini adalah ayahnya itu. Lelaki itu sempat terlihat kebingungan, namun akhirnya membalas pelukan Devia. Mereka terdiam dalam posisi itu selama beberapa detik lamanya, sampai Ibu sampai di bawah.

"Entah kenapa Ibu merasa Devia agak aneh hari ini," bisik Ibu pada Ayah.

Bodoh, Devia bahkan bisa mendengarnya. Namun, ia berpura-pura tidak mendengarnya dan terus fokus pada ayahnya.

"Ayah jahat sama Devia! Ayah selama ini kemana aja, sih?!" tanya Devia kesal sambil memukul pelan tubuh ayahnya.

"Hm... Bukankah Ayah sudah pamit kepadamu untuk pergi ke luar kota selama seminggu?" tanya balik Ayah. Namun setelah melihat mata Devia yang berkaca-kaca, Ayah mengelus rambut Devia.

"Apa yang terjadi selama Ayah pergi? Apa kamu digangguin sama temanmu lagi?" tanya Ayah lembut.

"Ayah gimana sih, Devia kan sudah besar! Masalah seperti itu kan udah bisa aku atasi sendiri," jawab Devia sambil mengusap air matanya.

"Haha, itu sebabnya. Seingat Ayah, terakhir kamu berperilaku seperti ini karena digangguin sama temanmu, entah berapa tahun yang lalu," kata Ayah. "Nah, kamu sudah besar kan? Jadi jelaskan apa yang terjadi, jangan membuat Ayah dan Ibu kebingungan seperti ini."

Devia menelan ludahnya, kemudian menarik napas panjang. Setelah berpikir sejenak, ia mengangguk dan mulai menceritakan semuanya.

"Tunggu, Ayah terkena serangan jantung empat tahun lalu?" potong Ibu tidak setuju. Devia mengangguk. Ayah mulai memelototi Ibu karena pertanyaannya itu. Setelah berpikir sejenak, Ayah pun angkat bicara.

"Devia, apa mungkin kalau semua itu adalah mimpi?" tanya Ayah lembut.

"Aku sangat berharap itu mimpi, Yah. Tapi entah kenapa aku merasa cerita itu terlalu panjang untuk sekedar mimpi. Aku benar-benar merasa kehidupanku selama empat tahun itu berjalan seperti biasa," jawab Devia pelan.

"Devia..." panggil Ayah sambil menggenggam tangan Devia. "Kamu bisa merasakan genggaman tangan Ayah? Apa kalau kamu bermimpi, kamu bisa merasakan kehangatan dari Ayah?"

Devia terdiam. Beberapa detik kemudian ia tersenyum pasti.

"Devia yakin itu hanya mimpi, Yah!" ucapnya pasti.

"Inilah anak Ayah!" balas Ayah sambil mengacak-acak rambut Devia, yang langsung menimbulkan protes dari sang pemilik.

"Devia, dengarkan Ayah. Kamu pasti tahu kematian itu akan terjadi pada setiap orang, termasuk Ayah. Jika Ayah meninggal lebih dahulu, Ayah harap kamu dan Ibu bisa tegar," jelas Ayah, diikuti anggukan dari Devia dan Ibu.

"Ya sudah, ayo makan!" ajak Ibu.

Mereka pun mulai makan bersama. Ibu yang menuangkan sup di tiap mangkuk dan Ayah yang kembali meminum kopinya. Pemandangan yang rasanya sudah lama sekali tidak dialami Devia. Tidak, itu semua hanya mimpi, Dev. Inilah kenyataan, batin Devia.

Minggu itu, sarapan pagi berlangsung dengan diiringi obrolan dan lelucon ringan. Kehangatan yang sangat dirindukan Devia. Devia juga beberapa kali tertawa lepas, seakan tak ada beban.

Ayah. Sosok yang rasanya telah menghilang lama dari hidup Devia. Sosok bijaksana yang bisa menentukan keputusan tepat. Sosok penjaga yang membuat Devia selalu merasa aman ketika berada di dekatnya. Sosok yang selalu menghadirkan kenyamanan dan kehangatan.

Ya, sosok itu kembali hadir di hidup Devia. Atau lebih tepatnya, mimpi buruk Devia telah berakhir. []

A/N

Baca author note di Prolog ya!

SLEEPWALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang