Une

395 26 2
                                    

Dua hari yang lalu, aku mendapat telpon bila apartemen yang ingin ku sewa mendapat diskon khusus untuk pembayaran di minggu pertama. Tanpa pikir panjang, aku segera menyetujui hal itu dan menyepakati beberapa hal yang kuanggap menguntungkan. Siapa yang menolak bila apartemen mewah dengan harga terjangkau memperoleh diskon lagi? Aku merasa dewi fortuna berada di pihakku. Untuk ukuran apartemen di pinggir kota yang terlihat mewah, tempat itu begitu mustahil untuk ditemukan. Apalagi, saat pemilik itu memberitahuku bila lokasi apartemen itu berada di desa. Rasanya aku berpikir dua kali bila pemilik apartemen itu tidak menipuku, karena bagaimana pun juga apartemen itu sangat bagus, melebihi apartemen lamaku di pusat kota.

Tempatnya di pinggiran kota, butuh dua jam dari pusat kota untuk tiba disana. Sepertinya itulah satu-satunya kendala untuk tempat yang murah. Namun aku bisa mengatasi masalah itu bila memaksa diriku lebih disiplin perihal waktu.

Mereka menyebut itu 'desa mati', kata orang-orang saat sesekali aku berhenti menanyakan lokasi apartemenku. Salah satu dari mereka menatapku dengan tajam, mulai memandangku dari bawah hingga atas seakan menilai kepribadianku. Aku selalu tak suka pandangan itu, membuat diriku seperti di lecehkan dan di rendahkan. Maka, aku mengabaikan pandangan lelaki tua itu dan mengucapkan terima kasih pada temannya yang berbaik hati memberitahuku lokasi tersebut.

Sesudahnya aku pergi dari jalanan rusak yang jarang di lalui kendaraan itu, saat kembali mengendarai mobil bobrokku aku kembali memikirkan ucapan bapak tua tadi. Mengenai kawasan yang disebut 'desa mati'. Imajinasiku mulai bermain bebas, aku berfikir tempat itu seperti perumahan hantu yang dipenuhi dengan rumah-rumah bergaya victoria dengan pohon-pohon tak terawat di halamannya. Atau hanya ada ada beberapa rumah yang terpisah oleh tanah-tanah kosong sehingga tempat itu disebut 'desa mati' imajinasiku berhenti tatkala sesuatu yang menyeramkan terlintas dipikiranku. Apakah tempat itu dipenuhi orang-orang kriminal yang sering membunuh?

Aku bergidik ngeri seketika. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Rasa takutku menyelusup dari balik kulit. Aku duduk tak tenang di bangku pengemudi. Sesekali aku melihat ke kaca spion atau ke samping jalanan, menatap jalanan sepi yang kalau saja tiba-tiba ada sekelompok preman yang mencoba mengintaiku dan membunuhku demi mobil bobrok yang tak seberapa ini.

Aku ketakutan karena imajinasiku yang memburu. Seperti tak ada tempat aman yang dapat menolongku dari imajinasi sialan ini selain tempat ramai.

Mobil yang kukendarai terus melaju pelan melewati jalanan rusak, dipinggir-pinggir jalan terdapat pepohonan yang berdesakan hingga tak menutup kemungkinan bila aku dapat melihat sepasang mata yang mengintip dari cela dedaunan.

Hingga tibalah aku pada sebuah gerbang yang dikatakan sebagai lokasi tempat tinggalku. Gerbang itu bertuliskan 'desa mati' dengan tulisan terbalik pada 'desa'nya.

"Jadi ini yang dimaksud 'desa mati'? Hahaha Tidak seperti yang kupikirkan. Rupanya desa mati adalah nama dari tempat ini."

Aku bernafas lega karena kenyataan yang melenceng jauh dari imajinasiku. Aku memang seorang yang penakut dari dulu, dan imajinasiku selalu menyusahkan dikala ketakutanku menyeruak. Teman-teman sekolahku memanggilku 'Chris si penakut' namun hal itu tak berpengaruh lagi ketika aku memasuki tahun pertama kuliah karena tak ada satupun teman sekolahku di universitas yang sama.

Mobil itu terus melaju masuk ke dalam gerbang. Pandanganku menelusuri setiap tempat. Tidak buruk walau namanya terdengar menyeramkan. Tempat ini jauh dari kata 'mati' malah, tempat ini terbilang asri, dan indah dengan tatanan desa yang rapi. Jajaran apartemen berbaris rapi dengan gaya yang lebih bagus seperti apartemenku sebelumnya di pusat kota.

Decak kagum tak bisa terbantahkan, desa ini lebih mirip dengan kota. Pertumbuhannya lebih cepat, dan tidak pantas di bilang desa. Aku bersyukur menemukan tempat setepat ini.

Meskipun jaraknya jauh dari universitasku setidaknya aku bisa menghemat biaya apartemen untuk bisa membeli mobil baru. Aku seperti mendapat jackpot, berkali-kali aku berkata pada diri sendiri bila aku sangat beruntung. Terlebih lagi, aku akan segera mengganti mobil bobrok ini dengan yang lebih bagus.

Aku menyiulkan nada tak jelas yang ku ciptakan secara asal sembari membelokkan mobil ke kanan, seperti yang di katakan pemilik apartemen itu.

"Bila kau telah memasuki gerbangnya, berbeloklah ke kanan dan lewati enam rumah. Nah, disana-rumah bercat putih dengan halaman luas berpagar kayu, kau akan mudah menemukan rumahku."

Ucapan riang nyonya paruh baya itu terdengar berulang-ulang di telingaku. Entah karena dia terlalu senang akan mendapat uangku atau aku yang terlalu senang mendapat harga murah ditempat yang bagus, namun suara itu terus terngiang ditelingaku.

Hal lain yang membuatku takjub saat melewati rumah-rumah penduduk, segala rumah dikawasan ini terbilang bagus. Tak ada rumah-rumah jelek ataupun sesuatu yang membuat desa ini terlihat jelek, semuanya sempurna. Bahkan, tempat ini mirip komplek perumahan. Jalanannya mulus dan sepi, namun tak membuat desa ini terlihat 'mati' seperti namanya.

Orang itu benar, dalam waktu singkat aku dapat menemukan rumahnya dengan mudah. Setelah memarkirkan mobil di depan rumah, aku keluar dari sana. Saat kakiku menapak di jalanan, aku mengendus.

Semerbak bau busuk menyengat ke dalam rongga hidungku, ketika aku terus berjalan menuju pagar, bau itu semakin menyengat dan terasa berbekas di penciumanku. aku mengerutkan hidung, mencoba menahan bau busuk yang semakin lama semakin membuat perutku mual.

Aku hampir saja muntah saat melihat seseorang menyedok bangkai kucing ke dalam kantung plastik. Saat pria itu menyedok bangkai itu, tulang belulang binatang menyedihkan itu terlepas dan berjatuhan ke tanah. Begitu lembek dan bau. Dengan menahan aroma busuk itu, si pria tua yang kuyakini adalah suami nyonya paruh naya itu kembali menyedok tulang belulang itu ke dalam kantung plastik.

Bukan main betapa baunya bangkai itu, apalagi bentuknya yang tidak beraturan dan menjijikkan membuatku benar-benar ingin muntah sekarang.

"Christian Walters?" sebuah suara berhasil menyelamatkanku dari peristiwa menjijikkan itu. Aku segera menoleh, melihat seseorang yang telah berdiri di belakangku.

Wanita itu tersenyum hangat sambil mengulurkan tangannya

"Emily Sawitus,"

Sedikit tergagap, aku menerima uluran itu. "Kau sudah tau namaku, jadi kurasa aku tak perlu menyebutkan namaku lagi."

"Oh, ya. Tentu saja, Christian."

"Chris saja, aku biasa dipanggil chris."

Wanita itu masih mempertahankan senyumannya meski kami sudah tidak bersalaman lagi. Sedikit menengok pada suaminya yang sedang membuang bangkai itu, si wanita itu kembali menatapku.

"Ada kucing sakit yang sering berkeliaran disekitar sini, dan kemarin, aku baru mengetahui bila kucing itu telah mati disana," ujarnya sambil menunjuk kenarah suaminya.

"Maaf karena telah melihat peristiwa menjijikkan itu,"

"Tentu, tidak apa nyonya. Kau tidak perlu merasa sungkan,"

Senyuman wanita itu benar-benar ramah. "Kau lebih sopan dari yang kupikirkan. Baiklah, mari kita berbicara di dalam," ia menjulurkan tamgannya seraya mengizinkanku berjalan lebih dulu. Aku tersenyum dan berjalan mengimbanginya hingga ke dalam rumah.

Cauchemar (Mimpi Buruk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang