Aku duduk pada salah satu sofa panjang yang berjajar di ruang tamu. Tak lama, nyonya emily menghampiri dengan duduk dihadapanku. Ia menaruh teh mint disana. Katanya, teh itu cukup membantu untuk orang mual. Maka aku berterima kasih pada wanita itu dan meneguk teh itu sedikit demi sedikit. Aku senang dengan perangainya yang pengertian, dia sangat bermurah hati. Dan yang lebih membuatku menghormatinya, ketika ia menawarkan kebaikan lain yang membuatku benar-benar berterima kasih.
"Aku yakin kau sangat kelelahan dan ingin segera merasakan kasurmu. Nah, Chris, aku tak ingin membuatnya berlama-lama. Aku ada penawaran khusus lagi untukmu saat ini,"
"Penawaran khusus lagi?" senyumanku mengembang lebar. Siapa yang tidak mau penawaran khusus? Dengan demikian, aku bisa cepat-cepat membeli mobil baru. Ini sebuah keberuntungan ganda!
"Apa itu?" tanyaku setenang mungkin meski saat ini aku ingin meloncat bahagia.
"Bila kau membayar sewa untuk satu tahun ini, aku akan memberimu diskon lima puluh persen. Bagaimana? Tawaran yang menguntungkan bukan?"
Batinku langsung menyetujui ucapan nyonya Emily. Namun, sesuatu yang aneh mengganjal di diriku. Apa benar ini hanya sebuah keuntungan? Bagaimana bila dia menipuku? Bagaimana bila ternyata apartemen itu tak sebagus dengan tampilannya. Misalnya, atapnya bocor atau lain sebagainya?
"Aku sedang butuh uang untuk saat ini, kuharap kau mau membantu," seakan menjawab pertanyaan yang mengganjal itu.
"Baiklah, aku setuju. Tawaran yang begitu bijak nyonya Emily," nyonya Emily langsung sumringah.
"Tentu, sangat bijak Chris,"
Kami berjabat tangan dengan masing-masing senyuman yang mengembang. Aku selalu suka kesepakatan yang saling menguntungkan seperti saat ini. Setelah membayar uang sewa itu selama satu tahun dengan tunai, aku pamit padanya. Satu-satunya pikiranku saat ini adalah mobil baru. Yah, aku bisa langsung membeli mobil baru senin depan. Biaya satu tahun apartemen disini sama seperti aku membayar biaya sewa tiga bulan di apartemen pusat kota. Meskipun berada di pusat kota, tapi aku harus menghemat keuanganku untuk membeli barang-barang yang kuinginkan.
Lain halnya dengan sekarang. Seolah telah merdeka dari penjajahan nominal mata uang.
Nyonya Emily mengantarku hingga depan rumahnya. Jajaran apartemennya berada tepat di depan rumahnya sehingga ia bisa dengan mudah memantau apa saja peristiwa yang terjadi pada orang-orang yang menyewa disana. Disana, tak ada lagi bau busuk yang menyengat. Disana juga tak ada lagi suami nyonya Emily yang menyedok bangkai kucing ke dalam kantung plastik. Semuanya telah bersih, sebersih tatanan desa yang tak membiarkan sedikitpun pemandangan desa ini menjadi jelek.
"Nyonya Emily, boleh aku tanya sesuatu?"
Wanita itu mengangguk penuh keramahan. "Silahkan,"
"Mengapa desa ini disebut desa mati?"
"Pertanyaan yang mudah namun sulit untuk dijawab. Baiklah Chris, kau menanyakan ini lebih awal dari yang kuduga. Hmm, biar ku tebak. Mungkin karena kau akan melihat kucing-kucing mati disekitaran rumahku?" kalimat yang seharusnya di jawab itu justru berubah menjadi suatu kalimat tanya tak yakin. Tak lama, tawaan nyonya Emily menggelegar diikuti dengan tawaanku.
"Candaan yang menghibur nyonya Emily,"
Maka dengan demikian, aku masuk ke dalam mobil dan memarkirkan mobil itu di depan jajaran apartemen. Dari dalam mobil aku menoleh, tak menemukan lagi nyonya Emily berdiri di ambang pintu. Pintu rumah itu telah tertutup rapat karena aku yakin dia sedang menghitung uangnya saat ini.
Saat aku membuka pintu apartemenku, pintu lain terbuka dan menampakkan sesosok pria blonde tersenyum kepadaku.
"Hi," sapanya, berusaha menghampiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cauchemar (Mimpi Buruk)
Mystery / ThrillerYang Chris tahu, dia hanyalah pria beruntung yang mendapat apartemen bagus dengan harga miring. Meskipun tempat itu berada jauh dari pusat kota dan universitasnya, setidaknya Chris bisa menabung untuk membeli mobil baru. Namun, beberapa hari tinggal...